Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Pengaduan Jalak (Karya A. Muttaqin)

Puisi “Pengaduan Jalak” karya A. Muttaqin bercerita tentang seekor jalak yang mengadukan keresahan kepada kiai gagak mengenai perilaku burung ...
Pengaduan Jalak

Burung zindik berbisik kepada jangkrik:
Jangan berisik, besok kau bakal diuntal
cendet cedal yang terpental dari alas asal.

Tapi jangkrik tetaplah jangkrik.

Kepada burung zindik tersebut
beliau bilang bahwa dirinya penganut syekh perkutut,
burung salik yang hanya makan ketan dan jewawut.

(Dari syekh perkutut jangkrik mendapat amanat
merapal larik mistik krik, krik, krik 3.000 kali
di malam Senin dan 7.000 kali di malam Jumat.)

Tidak. Beliau tak percaya pada beo,
burung zindik dan tengik itu, yang amat giat
menghujat dengan ayat-ayat hutan

dan diocehkan seperti benih kebencian.

Demikian aduan jalak kepada kiai gagak,
burung hitam sepuh, yang paham
seluk beluk kelam dan kematian.

2016

Catatan:
Puisi alegoris ini diilhami "Musyawarah Burung" karya Fariduddin Attar, penyair sufi asal Persia di abad ke-12.

Analisis Puisi:

Puisi “Pengaduan Jalak” karya A. Muttaqin adalah karya alegoris yang mengandung lapisan makna spiritual dan sosial. Mengambil inspirasi dari karya sufi “Musyawarah Burung” karya Fariduddin Attar, puisi ini menggunakan simbol-simbol hewan—khususnya burung dan jangkrik—untuk membicarakan persoalan iman, kemunafikan, dan pencarian kebenaran sejati.

Tema

Tema utama puisi ini adalah pencarian spiritual di tengah kebingungan moral dan keagamaan. Penyair menyoroti pertentangan antara kesalehan yang murni dan kemunafikan yang bersembunyi di balik simbol-simbol religius.

Puisi ini bercerita tentang seekor jalak yang mengadukan keresahan kepada kiai gagak mengenai perilaku burung-burung lain, terutama burung zindik dan beo yang penuh kesombongan spiritual. Dalam kisah alegoris ini, jangkrik menjadi simbol ketulusan dan kesederhanaan spiritual, sementara burung zindik dan beo melambangkan kemunafikan, kefanatikan, serta kebanggaan pada pengetahuan tanpa pengamalan.

Makna Tersirat

Makna tersirat puisi ini menggambarkan konflik antara spiritualitas sejati dan kepalsuan agama yang tampak di permukaan. Jangkrik yang sederhana melambangkan manusia yang beribadah dengan hati tulus, tanpa banyak bicara, sementara burung-burung lain mencerminkan mereka yang gemar menghakimi dan menonjolkan diri lewat retorika “suci” atau “ayat-ayat hutan.”

A. Muttaqin menyindir bagaimana banyak orang menuduh “zindik” (sesat) orang lain, padahal sesungguhnya mereka sendiri terperangkap dalam kesombongan rohani.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi ini satiris namun reflektif, menggabungkan nada lucu dengan sindiran tajam. Di balik percakapan antarburung, pembaca dapat merasakan suasana kegetiran dunia spiritual yang penuh perdebatan, di mana kebenaran sering dikaburkan oleh ego dan kepentingan diri.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat puisi ini adalah pentingnya menjaga ketulusan dalam beragama dan berhati-hati terhadap kesombongan rohani. Penyair menekankan bahwa iman sejati tidak diukur dari seberapa banyak seseorang berbicara tentang Tuhan, melainkan dari kesederhanaan hati dalam beribadah dan menghormati sesama. Jalak yang mengadu kepada kiai gagak menggambarkan manusia yang mencari kebijaksanaan sejati di tengah kekacauan moral.

Imaji

Puisi ini menghadirkan imaji alam dan dunia burung yang sarat simbol, seperti:
  • “Burung zindik berbisik kepada jangkrik” menggambarkan intrik keagamaan.
  • “Syekh perkutut yang hanya makan ketan dan jewawut” melukiskan kesederhanaan hidup spiritual.
  • “Beo yang giat menghujat dengan ayat-ayat hutan” menyindir mereka yang fasih berbicara tapi miskin penghayatan.

Majas

Beberapa majas yang dominan antara lain:
  • Alegori, karena seluruh puisi merupakan perumpamaan tentang kehidupan spiritual manusia.
  • Personifikasi, ketika hewan berbicara dan berperilaku seperti manusia.
  • Sarkasme dan ironi, tampak dalam sindiran terhadap burung-burung “alim” yang justru menebar kebencian.
  • Metafora, misalnya “ayat-ayat hutan” yang menggambarkan kata-kata kosong tanpa makna rohani.
Puisi “Pengaduan Jalak” adalah puisi alegoris yang menggabungkan kebijaksanaan sufistik dengan kritik sosial yang halus. A. Muttaqin berhasil menyampaikan pesan tentang ketulusan iman dan bahaya kesombongan spiritual melalui kisah simbolik yang cerdas, menggugah, dan penuh makna.

A. Muttaqin
Puisi: Pengaduan Jalak
Karya: A. Muttaqin

Biodata A. Muttaqin:
  • A. Muttaqin lahir pada tanggal 11 Maret 1983 di Gresik, Jawa Timur.
© Sepenuhnya. All rights reserved.