Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Pengungsi (Karya Nasjah Djamin)

Puisi “Pengungsi” karya Nasjah Djamin bertema penderitaan rakyat akibat peperangan dan penindasan, serta semangat perjuangan menuju kemerdekaan.

Pengungsi

Jalan, jalan...! Berapa puluh hari sudah
Kau jalan nak Sri? Hujan panas silih berganti
Jalan panjang buruk berbatu ini masih panjang
Dari desa ke desa, di sawah dan bukit tinggi.

"Bu...... Bu! Kaki Sri sakit, bengkak. Ah, sakit!"
air mata memercik mata yang bening bersih itu
Ibu senyum getir, bapa kuat menggendong.....
"Diam, Sri, diam. Kita pergi menuju Bung Karno!"

Kota telah hancur, tapak kaki ganas kejam
Sudah menghentak-hentak di sana. Orang-orang lemah
Dan lembu-lembu sewaan jadi raja alat penindas
Kemerdekaan dan keadilan remuk diinjak-injak!

Orang-orang yang tak tahan diludah-ludah dihina
Menyingkir membawa pakaian lekat di badan,
Tinggal rumah, halaman dan segala yang dicintai.
Kaki itu hancur bengkak, di tongkat terbata-bata
Perih sengsara ikut melekat sepanjang jalan:
"Diam, Sri, diam. Kita pergi menuju Bung Karno!"

Sepanjang  siang malam terlunta-lunta
Diterik bakaran panas, kuyup direndam hujan,
Iringan kafilah ini mengalir terus, sebagai
Jemaah menuju Tanah Suci, melepas jeritan
Jiwa yang diperkosa dan isak-isak sedu sedan,
Mendongak rindu hawa yang merdeka dan adil.

Wonodadi, 28 September 1947

Sumber: Majalah Budaya (Th. III, No. 08, Agustus 1954)

Analisis Puisi:

Puisi “Pengungsi” karya Nasjah Djamin bertema penderitaan rakyat akibat peperangan dan penindasan, serta semangat perjuangan menuju kemerdekaan. Melalui kisah keluarga pengungsi, penyair menggambarkan keteguhan, kesedihan, dan harapan rakyat kecil di tengah kekacauan sosial dan politik.

Puisi ini bercerita tentang perjalanan panjang dan menyakitkan sekelompok pengungsi yang melarikan diri dari kehancuran kota akibat perang atau kekejaman penjajah. Tokoh sentralnya adalah keluarga kecil—ayah, ibu, dan anak bernama Sri—yang berjalan kaki tanpa henti menempuh perjalanan berat menuju tempat perlindungan, dengan harapan bertemu “Bung Karno,” simbol pemimpin dan kemerdekaan bangsa.

Makna tersirat

Makna tersirat puisi ini adalah bahwa kemerdekaan selalu dibayar mahal oleh penderitaan rakyat kecil. Penyair menyoroti bagaimana rakyat jelata menjadi korban utama kekerasan dan perang, namun tetap menyimpan semangat dan harapan akan kehidupan yang adil dan merdeka. “Bung Karno” di sini bukan hanya sosok tokoh, tetapi juga lambang cita-cita kemerdekaan, tempat rakyat menggantungkan harapan di tengah nestapa.

Suasana dalam puisi

Suasana yang terasa dalam puisi ini adalah piluh, getir, dan heroik. Ada rasa sedih mendalam atas penderitaan pengungsi, namun di balik itu tersimpan harapan kuat dan semangat pantang menyerah. Suasana perjuangan, harapan, dan ketabahan rakyat menjadi denyut utama dalam puisi ini.

Amanat / pesan yang disampaikan

Puisi ini menyampaikan pesan bahwa perjuangan dan penderitaan rakyat tidak boleh dilupakan dalam sejarah kemerdekaan. Rakyat kecil, dengan segala kesederhanaan dan kepedihannya, memiliki kekuatan besar dalam menjaga harapan dan semangat kebangsaan. Nasjah Djamin mengajak pembaca untuk menghargai pengorbanan mereka yang terpinggirkan namun berjiwa besar.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji visual dan emosional yang kuat:
  • “Jalan panjang buruk berbatu ini masih panjang” → imaji visual tentang perjalanan berat dan penuh penderitaan.
  • “Kaki Sri sakit, bengkak” → imaji fisik yang menggambarkan penderitaan nyata.
  • “Kota telah hancur, tapak kaki ganas kejam” → imaji kehancuran dan kekerasan.
  • “Iringan kafilah ini mengalir terus, sebagai jemaah menuju Tanah Suci” → imaji religius yang menggambarkan ketulusan dan kesucian perjuangan rakyat.

Majas

  • Metafora: “Kafilah ini mengalir terus, sebagai jemaah menuju Tanah Suci” menggambarkan perjalanan pengungsi sebagai perjalanan spiritual menuju kebebasan.
  • Personifikasi: “Tapak kaki ganas kejam” memberikan sifat manusia pada kekerasan perang, menegaskan kekejaman yang menghancurkan.
  • Repetisi: Kalimat “Diam, Sri, diam. Kita pergi menuju Bung Karno!” diulang untuk menegaskan harapan dan tujuan mereka di tengah penderitaan.
  • Hiperbola: “Kemerdekaan dan keadilan remuk diinjak-injak” memperkuat kesan betapa parahnya penindasan yang terjadi.
Puisi “Pengungsi” karya Nasjah Djamin menggambarkan drama kemanusiaan rakyat kecil di tengah perang dan penjajahan. Dengan tokoh sederhana dan bahasa yang lugas namun sarat emosi, penyair berhasil menampilkan penderitaan sekaligus keteguhan hati manusia yang mencari makna kebebasan. Tema penderitaan ini berpadu dengan simbolisme perjuangan nasional, di mana “Bung Karno” menjadi lambang harapan, kemerdekaan, dan cita-cita keadilan. Puisi ini bukan hanya kisah sejarah, tetapi juga renungan kemanusiaan tentang arti perjuangan dan pengorbanan di tengah luka bangsa.

Nasjah Djamin
Puisi: Pengungsi
Karya: Nasjah Djamin

Biodata Nasjah Djamin:
  • Nasjah Djamin lahir pada tanggal 24 September 1924 di Perbaungan, Sumatera Utara.
  • Nasjah Djamin meninggal dunia pada tanggal 4 September 1997 (pada usia 72) di Yogyakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.