Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Ratap Ibutua (Karya Mansur Samin)

Puisi “Ratap Ibutua” karya Mansur Samin mengingatkan kita bahwa di balik setiap konflik politik atau perang, ada air mata ibu yang tak pernah kering.
Ratap Ibutua

Sebelum tidur di tumalam
ibu tunggu kalian di halaman
yang diantar orang
dua jenazah sebuah keranda panjang

Kalian tinggalkan ibu seorang
menghadapi sisa ini kehidupan
oceh siapa lagi di gubuk kita
selain rasa sunyi seharian mengembara?

Musim pukat yang bakal tiba
berduyun orang ke laut dan ke sawah
ibu bayangkan kalian ada di sana
pulang sore, seorang menutup jendela
yang lain menyalai ikan untuk makan malam kita

Betapa damai kalian sepanjang tahun
nelayan dan peladang keduanya rukun
akan jadi apa kesendirian ibu
jika ingat kematian kalian tempohari
sisulung menembak adiknya sendiri

Ketika surat penghargaan tiba
ibu tak dapat membaca
tapi di dalaman ada terasa:
Alangkah mudah pemuda berkorban
untuk membela kekuasaan seseorang

Tak dapat ibu ikut musim menyabit ini
lumbung dan jaring sudah lama terkunci
kerja ibu sekarang seharian
ke tetangga bertandang
sering tanya, kapan selesai ini perang?

Sumber: Dendang Kabut Senja (1985)

Analisis Puisi:

Puisi “Ratap Ibutua” karya Mansur Samin adalah salah satu karya yang kuat dalam menggambarkan penderitaan seorang ibu yang kehilangan anak-anaknya akibat perang dan kekerasan. Melalui bahasa yang sederhana namun sarat makna, penyair mengajak pembaca untuk merasakan luka terdalam yang ditanggung oleh seorang ibu di tengah situasi sosial yang penuh darah dan kehilangan. Puisi ini tidak sekadar kisah pribadi, tetapi juga refleksi kemanusiaan universal tentang duka, perang, dan ketidakadilan.

Tema

Tema utama puisi “Ratap Ibutua” adalah kesedihan dan kepedihan seorang ibu akibat kehilangan anak-anaknya karena perang dan kekuasaan. Penyair menghadirkan tema ini dengan begitu menyayat hati melalui suara seorang ibu tua yang sendirian, menanggung kesepian setelah dua anaknya meninggal dalam konflik. Dalam lapisan lebih dalam, puisi ini juga memuat tema anti-perang dan kritik terhadap kekuasaan yang sering menjadikan rakyat kecil sebagai korban.

Puisi ini bercerita tentang seorang ibu tua yang meratapi kematian dua anaknya, yang satu menembak adiknya sendiri akibat situasi perang. Ia kini hidup sebatang kara di gubuk sederhana, dikelilingi kenangan masa lalu yang damai ketika anak-anaknya masih hidup dan bekerja sebagai nelayan serta peladang.

Puisi ini menggambarkan perjalanan batin sang ibu dari harapan menuju kehilangan, dari kehidupan yang tenteram menuju kesunyian dan ketidakpastian. Momen tragis ketika “sisulung menembak adiknya sendiri” menjadi simbol betapa perang dapat memecah kasih keluarga, menghancurkan nurani, dan merusak kemanusiaan.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi “Ratap Ibutua” adalah kritik mendalam terhadap kekerasan dan perang yang lahir dari ambisi kekuasaan.

Penyair menyoroti betapa mudahnya manusia, terutama kaum muda, terseret dalam ideologi dan propaganda yang membuat mereka saling membunuh atas nama negara atau pemimpin. Dalam larik “Alangkah mudah pemuda berkorban / untuk membela kekuasaan seseorang”, Mansur Samin dengan tajam menyinggung ironi moral bahwa pengorbanan yang disebut “heroik” sesungguhnya hanya memperpanjang derita rakyat biasa.

Selain itu, puisi ini juga menyiratkan penderitaan kaum ibu sebagai korban tersembunyi dari perang. Mereka bukan hanya kehilangan anak, tetapi juga kehilangan makna hidup, kebersamaan, dan sumber penghidupan. Ibu dalam puisi ini bukan sekadar sosok individu, tetapi simbol dari “ibu pertiwi” — negeri yang berduka karena anak-anaknya saling membunuh.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi ini kelam, pilu, dan penuh duka mendalam. Sejak awal, suasana duka terasa pada bait pembuka: “Sebelum tidur di tumalam / ibu tunggu kalian di halaman / yang diantar orang / dua jenazah sebuah keranda panjang.” Imaji ini menimbulkan rasa getir dan kehilangan. Sepanjang puisi, suasana sepi dan kesedihan semakin tebal, terutama ketika ibu membayangkan kehidupan damai yang telah hilang, dan akhirnya menutup puisi dengan nada pasrah namun penuh kegetiran: “Sering tanya, kapan selesai ini perang?”

Suasana ini tidak hanya menggambarkan kesedihan personal, tetapi juga penderitaan kolektif masyarakat yang terjebak dalam kekacauan tanpa akhir.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat puisi “Ratap Ibutua” adalah pesan tentang pentingnya perdamaian dan nilai kemanusiaan di atas segala bentuk kekuasaan dan peperangan. Penyair ingin menyampaikan bahwa tidak ada kemenangan sejati dalam perang—yang ada hanyalah penderitaan. Orang-orang yang disebut “pahlawan” justru meninggalkan luka bagi mereka yang ditinggalkan.

Pesan moralnya juga menyoroti bahaya fanatisme dan politik kekuasaan yang membuat manusia kehilangan kasih sayang dan nurani. Melalui suara seorang ibu, penyair menegaskan bahwa kekuasaan sejati bukanlah menundukkan orang lain dengan senjata, melainkan menjaga kehidupan agar tak ada lagi darah yang tumpah.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji visual, emosional, dan bahkan imaji kenangan.
  • Imaji visual tampak pada larik “dua jenazah sebuah keranda panjang”, yang menggambarkan pemandangan kematian secara langsung.
  • Imaji emosional muncul ketika ibu membayangkan masa lalu: “pulang sore, seorang menutup jendela / yang lain menyalai ikan untuk makan malam kita”, menggugah perasaan rindu dan kehilangan.
  • Imaji waktu hadir dalam kenangan yang terus membayangi ibu—antara masa damai dan masa perang—menciptakan kontras yang tajam.
Imaji-imaji ini memperkuat kesan tragis dan membuat pembaca dapat ikut merasakan luka batin yang dalam.

Majas

Mansur Samin menggunakan beberapa majas (gaya bahasa) untuk memperdalam nuansa puisi:
  • Personifikasi – tampak dalam larik “rasa sunyi seharian mengembara”, di mana kesunyian digambarkan seolah memiliki kemampuan untuk berjalan dan berkelana.
  • Metafora – “ibu” dalam puisi ini dapat dimaknai sebagai simbol dari ibu bangsa atau tanah air yang ditinggalkan anak-anaknya karena perang.
  • Ironi – muncul pada larik “Alangkah mudah pemuda berkorban / untuk membela kekuasaan seseorang”, yang secara halus mengecam absurditas pengorbanan yang tidak berlandaskan kemanusiaan.
  • Repetisi – penggunaan pengulangan kata “ibu” di beberapa bagian menegaskan sentralitas sosok ini sebagai sumber kasih, duka, dan suara moral yang paling jujur.
Puisi “Ratap Ibutua” karya Mansur Samin adalah sebuah ratapan kemanusiaan yang menembus batas waktu dan tempat. Dengan bahasa yang lembut namun menghunjam, penyair menggambarkan penderitaan seorang ibu yang kehilangan segalanya karena perang. Ia tidak berteriak, tidak marah, tetapi keluhannya menggema dalam keheningan—sebuah protes sunyi terhadap dunia yang dikuasai oleh kekerasan dan keserakahan.

Melalui puisi ini, Mansur Samin mengingatkan kita bahwa di balik setiap konflik politik atau perang, ada air mata ibu yang tak pernah kering. Tema, makna tersirat, dan amanatnya berpadu dalam satu pesan universal: bahwa kemanusiaan sejati lahir dari kasih, bukan dari darah.

Puisi ini menjadi pengingat bahwa selama perang masih berlangsung, selalu akan ada seorang ibu di ujung senja yang bertanya dengan lirih, “Kapan selesai ini perang?”

Puisi Mansur Samin
Puisi: Ratap Ibutua
Karya: Mansur Samin

Biodata Mansur Samin:
  • Mansur Samin mempunyai nama lengkap Haji Mansur Samin Siregar;
  • Mansur Samin lahir di Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara pada tanggal 29 April 1930;
  • Mansur Samin meninggal dunia di Jakarta, 31 Mei 2003;
  • Mansur Samin adalah anak keenam dari dua belas bersaudara dari pasangan Haji Muhammad Samin Siregar dan Hajjah Nurhayati Nasution;
  • Mansur Samin adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.