Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Selalu Saja (Karya Muhammad Rois Rinaldi)

Puisi “Selalu Saja” karya Muhammad Rois Rinaldi bercerita tentang seseorang yang merenungi kebingungan dan kekosongan makna dalam hidupnya.
Selalu Saja

Ada langkah salah, lupa tujuan. Di jejak hujan
wajah-wajah tergenang lumpur,
adakah Tuhan belum usai mengukir rupa
segala amat muskil terejawantahkan dalam bahasa.

Ada dijulang-jalangkan ke langit-langit bumi.
Ada tepuk tangan, menabur kelopak bunga warna-warni
wangi sebatas hidung, pun pangkal tak pernah sampai dada.
Satu-persatu diam-diam memungut lelayunya di pojokan kamar 
: aku pemilik bunga pernah wangi.

Ada sumbang-sumbing suara menyuling keruh
kebenaran filsuf berjubah putih beringsut-ingsut
kutarik selimut di kedalaman tanya.
Sedangkan segelas susu selalu saja lupa kuminum.

Selalu saja....

Cilegon, Banten, 2012

Analisis Puisi:

Puisi “Selalu Saja” karya Muhammad Rois Rinaldi adalah karya yang menghadirkan renungan eksistensial, spiritual, sekaligus sosial. Melalui larik-lariknya yang metaforis dan padat makna, penyair mengajak pembaca merenungi tentang keterasingan manusia dalam dunia yang penuh kesalahan, kemunafikan, dan kehilangan arah.

Tema

Tema utama puisi ini adalah keterasingan eksistensial dan kehilangan makna hidup di tengah absurditas dunia. Penyair seolah memotret manusia yang berjalan di tengah hujan — simbol perjalanan hidup — namun lupa arah dan kehilangan tujuan. Dalam setiap baitnya, muncul kesan bahwa manusia modern telah tersesat dalam rutinitas, kehilangan makna spiritual, dan hidup dalam kepalsuan sosial yang menumpuk seperti lumpur.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang merenungi kebingungan dan kekosongan makna dalam hidupnya. Ia menyadari bahwa langkah-langkah yang diambil sering salah, tujuannya kabur, dan segala sesuatu tampak sia-sia. Gambaran “wajah-wajah tergenang lumpur” mengisyaratkan manusia-manusia yang hidup dalam kotoran moral dan spiritual, sedangkan “Tuhan belum usai mengukir rupa” menandakan bahwa manusia belum sempurna — terus bergulat antara dosa dan pencarian kebenaran.

Dalam bagian berikutnya, penyair menghadirkan kontras antara kemewahan simbolik dan kehampaan batin — tepuk tangan, bunga warna-warni, dan wangi yang tak sampai ke dada — semuanya menandakan kepalsuan sosial. Puisi ini kemudian berakhir dengan pengakuan reflektif: “segela susu selalu saja lupa kuminum.” Sebuah metafora tentang kebaikan dan kesucian yang selalu terlupakan, meskipun tersedia di depan mata.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik terhadap manusia yang kehilangan spiritualitas dan kejujuran di tengah modernitas yang hampa. Penyair menyampaikan pesan bahwa manusia sering kali sibuk mencari pengakuan, mengejar penampilan, dan mengulang kesalahan yang sama tanpa menyadari inti kebenaran yang sejati.

Ungkapan “selalu saja” yang diulang menjadi mantra kegagalan eksistensial — menandakan pola berulang dalam hidup manusia: selalu salah langkah, selalu lupa, selalu menyesal. Ia menggambarkan siklus manusia yang tidak belajar dari kesalahan, hidup di bawah bayang-bayang kesementaraan, dan gagal menikmati “segela susu” — simbol kedamaian dan kemurnian batin.

Puisi ini juga mengandung makna spiritual, bahwa manusia tidak akan pernah mencapai ketenangan jika terputus dari kesadaran ilahi. Ketika penyair menulis “adakah Tuhan belum usai mengukir rupa,” ia bukan sedang meragukan keberadaan Tuhan, tetapi menyoroti proses penciptaan manusia yang belum selesai — karena manusia terus bergulat dengan nafsu dan kebodohan dirinya sendiri.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini melankolis, reflektif, dan absurd. Pembaca diajak memasuki ruang batin yang tenang namun penuh kegelisahan. Setiap larik terasa seperti renungan panjang dalam keheningan malam, di mana penyair berbicara kepada dirinya sendiri dengan nada lirih dan penuh kesadaran akan ketidaksempurnaan hidup.

Terdapat pula nuansa muram dan getir, terutama pada gambaran wajah tergenang lumpur, tepuk tangan palsu, dan suara sumbang-sumbing yang menyuling keruh — semua menggambarkan dunia yang rusak secara moral dan batin. Namun di balik itu, ada sedikit harapan: bahwa kesadaran akan kesalahan adalah langkah pertama menuju pemurnian.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat yang dapat diambil dari puisi “Selalu Saja” adalah pentingnya kesadaran diri dan kejujuran batin dalam menjalani hidup. Penyair ingin mengingatkan bahwa manusia harus berani menghadapi kenyataan hidup, mengakui kesalahan, dan kembali pada sumber kebenaran sejati — bukan larut dalam kepalsuan sosial atau kenyamanan semu.

Selain itu, puisi ini mengajarkan agar manusia tidak mengulangi kesalahan yang sama (“selalu saja”), melainkan belajar dari setiap kegagalan. Ada pula pesan moral-spiritual bahwa manusia sebaiknya tidak lupa “meminum segelas susu” — simbol kebaikan dan kesucian — di tengah hiruk pikuk dunia yang menipu.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji visual dan imaji batin, antara lain:
  • “Di jejak hujan wajah-wajah tergenang lumpur” menghadirkan citra kuat tentang penderitaan dan kehinaan manusia.
  • “Menabur kelopak bunga warna-warni, wangi sebatas hidung” menciptakan gambaran indah namun semu — keindahan yang tak menyentuh jiwa.
  • “Segelas susu selalu saja lupa kuminum” membentuk imaji domestik sederhana namun sarat makna spiritual: kebaikan yang diabaikan.
Imaji-imaji tersebut tidak hanya bekerja secara estetis, tetapi juga menghidupkan pesan moral yang mendalam, memperkuat kesan kehilangan dan pencarian makna yang menjadi inti puisi ini.

Majas

Beberapa majas yang digunakan Muhammad Rois Rinaldi antara lain:
  • Metafora – “Segelas susu selalu saja lupa kuminum” merupakan metafora dari kebaikan atau kesucian yang tidak dihiraukan.
  • Personifikasi – “kebenaran filsuf berjubah putih beringsut-ingsut” memberikan sifat manusia pada kebenaran, seolah ia malu atau mundur dari keramaian dunia yang kotor.
  • Repetisi – Pengulangan frasa “Selalu saja” menciptakan ritme dan penekanan pada makna keterulangan kesalahan manusia.
  • Hiperbola – “Tuhan belum usai mengukir rupa” menggambarkan proses penciptaan manusia secara berlebihan namun bermakna simbolik.
  • Simbolisme – Bunga, hujan, susu, dan lumpur menjadi simbol kehidupan manusia: antara keindahan, kesucian, dan kenistaan.
Puisi “Selalu Saja” karya Muhammad Rois Rinaldi merupakan cerminan dari kegelisahan manusia modern yang terus mengulang kesalahan dan kehilangan arah dalam hidupnya. Melalui tema keterasingan eksistensial, imaji yang kuat, dan majas-metaforis yang mendalam, penyair menghadirkan kritik lembut terhadap dunia yang kian jauh dari nilai spiritual.

Makna tersiratnya menegaskan bahwa manusia, betapa pun cerdas dan berbudaya, tetap harus kembali pada kejujuran diri dan kesadaran akan Tuhan. Sebab, seperti kata penyair: “selalu saja” — kita lupa meminum segelas susu, lupa menyucikan hati di tengah kehidupan yang keruh.

Muhammad Rois Rinaldi
Puisi: Selalu Saja
Karya: Muhammad Rois Rinaldi

Biodata Muhammad Rois Rinaldi:
  • Muhammad Rois Rinaldi lahir pada tanggal 8 Mei 1988 di Banten, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.