Sontek
Ada monyet menyontek
kepala ke kiri ke kanan ke atas
ketika teman mengingatkan
mata melirik bahkan mendelik
Ada monyet-monyet menyontek
menggaruk-garuk tangan menggaruk
satu dagu
dua kepala
tiga dada
itu tanda, a, b, atau c.
ketika jawaban belum didapat
keempat menggaruk pantat
Siswa seperti monyet
dia ingin loncat, lompat bahkan merapat
mencakar dan mencecar
ketika teman tak berkawan
ketika sobat tak bersahabat
Siswa menyontek seperti monyet
hatinya berbulu
bulunya berduri
Sumber: Surat dari Samudra (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018)
Analisis Puisi:
Puisi “Sontek” karya Gatot Supriyanto merupakan salah satu puisi anak dalam antologi Surat dari Samudra (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Meski ditujukan untuk pembaca anak-anak, puisi ini memiliki kekuatan simbolik yang menarik dan mengandung kritik sosial yang tajam. Dengan bahasa yang ringan, lucu, dan penuh permainan bunyi, Gatot Supriyanto menghadirkan refleksi tentang perilaku tidak jujur di dunia pendidikan melalui kiasan yang sederhana: menyontek.
Tema
Tema utama dalam puisi ini adalah kejujuran dan perilaku menyontek di lingkungan sekolah. Puisi ini mengangkat fenomena umum di kalangan siswa yang sering kali dianggap sepele—menyontek saat ujian. Namun, penyair tidak sekadar menggambarkan perilaku tersebut; ia juga mengaitkannya dengan sifat-sifat binatang, terutama monyet, untuk memberikan efek sindiran yang tajam namun tetap menghibur.
Dengan menampilkan monyet sebagai metafora bagi siswa yang menyontek, Gatot Supriyanto sebenarnya sedang menyentil perilaku manusia yang tidak jujur dan kehilangan rasa malu. Melalui bahasa yang sederhana, ia mengajak anak-anak (dan juga orang dewasa) untuk menyadari bahwa kejujuran adalah nilai penting dalam belajar dan kehidupan.
Puisi ini bercerita tentang perilaku seorang siswa yang menyontek saat ujian. Pada awalnya, puisi menggambarkan seekor monyet yang menoleh ke kiri, ke kanan, bahkan ke atas—seolah sedang mencari jawaban dari sekelilingnya. Kemudian, perilaku tersebut berkembang menjadi gambaran lucu: monyet-monyet menyontek sambil menggaruk-garuk tangan, dagu, kepala, dan dada sebagai tanda kode jawaban seperti a, b, atau c.
Akhirnya, penyair menyamakan siswa dengan monyet, menggambarkan bahwa tindakan menyontek membuat manusia kehilangan kemanusiaannya. Ia menulis:
“Siswa menyontek seperti monyet / hatinya berbulu / bulunya berduri.”
Kiasan ini menunjukkan bahwa kebiasaan buruk seperti menyontek bukan hanya perilaku salah, tetapi juga mengotori hati dan nurani.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi “Sontek” adalah kritik terhadap perilaku tidak jujur dan kehilangan nilai moral di dunia pendidikan. Dengan menggunakan tokoh monyet sebagai simbol, penyair ingin menyampaikan bahwa menyontek adalah tindakan yang memalukan dan membuat manusia turun derajatnya menjadi seperti hewan yang hanya mengikuti naluri.
Selain itu, makna lain yang bisa ditarik adalah ajakan untuk berani jujur dan percaya diri pada kemampuan sendiri. Dalam konteks anak-anak, pesan ini sangat relevan karena pendidikan bukan hanya soal hasil nilai, tetapi juga pembentukan karakter. Gatot Supriyanto seolah ingin menanamkan kesadaran sejak dini bahwa integritas jauh lebih penting daripada sekadar angka di kertas ujian.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini terkesan lucu, jenaka, dan menyindir, tetapi di balik kelucuan itu tersimpan kritik yang serius. Gaya bahasa yang ringan dan irama yang mengalir membuatnya cocok dibaca anak-anak, sementara orang dewasa bisa menangkap makna satir di baliknya.
Pembaca mungkin akan tertawa saat membaca bait tentang monyet-monyet yang menggaruk-garuk tubuh sebagai kode jawaban. Namun setelahnya, muncul kesadaran bahwa perilaku yang digambarkan itu sebenarnya mencerminkan kenyataan di sekolah. Puisi ini berhasil menghadirkan suasana ganda: humor yang mendidik dan sindiran yang menyentuh.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat utama puisi ini adalah pentingnya kejujuran dan sportivitas dalam belajar. Penyair ingin mengingatkan bahwa menyontek tidak hanya mencederai nilai kejujuran, tetapi juga menurunkan harga diri seseorang. Ia mengajarkan bahwa belajar dengan jujur lebih berharga daripada mendapatkan nilai tinggi dengan cara curang.
Selain itu, ada pula pesan agar siswa tidak meniru perilaku buruk orang lain, bahkan jika hal itu dianggap “biasa” di lingkungan sekitar. Dengan begitu, puisi ini mengandung nilai moral yang kuat dan relevan bagi dunia pendidikan: menjadi manusia berarti berani jujur, bukan sekadar pandai.
Imaji
Gatot Supriyanto menggunakan imaji visual dan gerak (kinestetik) yang sangat kuat dalam puisi ini. Misalnya:
- “kepala ke kiri ke kanan ke atas”
- “menggaruk-garuk tangan menggaruk satu dagu dua kepala tiga dada”
Kutipan-kutipan tersebut membentuk bayangan lucu di benak pembaca tentang monyet (atau siswa) yang sibuk menggaruk dan menoleh ke segala arah saat ujian berlangsung. Imaji ini membuat puisi terasa hidup dan mengundang senyum, sekaligus memperkuat efek sindiran yang ingin disampaikan penyair.
Selain itu, pengulangan kata dan pola gerak juga menciptakan ritme khas yang mudah diingat oleh anak-anak, menjadikan puisi ini efektif sebagai sarana pendidikan moral melalui kesenangan berbahasa.
Majas
Dalam puisi “Sontek”, Gatot Supriyanto menggunakan beberapa majas perbandingan dan sindiran. Beberapa di antaranya adalah:
- Majas perumpamaan (simile): “Siswa menyontek seperti monyet.” Perbandingan ini menegaskan perilaku menyontek sebagai sesuatu yang tidak rasional, bahkan menyerupai kebiasaan binatang.
- Majas personifikasi: “matanya melirik bahkan mendelik.”
- Memberikan sifat manusiawi pada monyet untuk menonjolkan kesan lucu sekaligus menghidupkan suasana.
- Majas repetisi: Pengulangan kata “menggaruk” dan “monyet” berfungsi menciptakan ritme yang kuat serta memperkuat kesan jenaka.
Dengan kombinasi majas-majas ini, penyair berhasil menulis puisi yang komunikatif, mudah diingat, namun tetap sarat makna.
Puisi “Sontek” karya Gatot Supriyanto tampak sederhana, namun di balik kelucuan dan ritme yang ringan, tersembunyi kritik sosial tentang kejujuran di dunia pendidikan. Tema kejujuran, makna tersirat tentang moralitas, serta imaji yang kuat menjadikan puisi ini bukan sekadar hiburan bagi anak-anak, tetapi juga pelajaran etika yang penting bagi siapa pun yang membacanya.
Melalui perumpamaan siswa dan monyet, Gatot Supriyanto dengan cerdas mengajak pembaca untuk tertawa sekaligus merenung—bahwa kejujuran adalah nilai yang harus dijaga, bahkan sejak di bangku sekolah.
Karya: Gatot Supriyanto
Biodata Gatot Supriyanto:
- Gatot Supriyanto lahir pada tanggal 8 Oktober 1962 di Pontianak.