Tergolek Lemah
Pada siang yang panas
Mendadak sunyi, meski lalu lalang kendaraan silih berganti
Aku berendam di genangan riam
Dalam nafas menderu,
pandangan menggelayar nanar,
luka memar
Sayup-sayup suara rengek bocah balita mengiris miris
Keringat mengucur deras dari balik baju lusuh
Sejenak, mengurai perih
Di linangan yang tak pernah tuntas
oleh kepapaan lagi fakir
bocah tergolek lemah
sayup-sayup erangan semakin lirih
dalam lelap yang lelah
seseorang mengangkatnya, dibaringkan di singgasana
Bumiayu, 15/05/2018
Sumber: Surat dari Samudra (2018)
Analisis Puisi:
Puisi “Tergolek Lemah” karya Mahbub Junaedi merupakan salah satu karya yang menggugah nurani. Dengan bahasa sederhana namun penuh daya pukau, penyair berhasil menampilkan potret kemanusiaan yang getir—sebuah realitas sosial yang kerap hadir di sekitar kita, namun sering luput dari empati. Lewat diksi yang lembut dan suasana yang mengiris, puisi ini mengajak pembaca untuk berhenti sejenak dan merenungkan makna di balik penderitaan kaum kecil yang terpinggirkan.
Tema
Puisi ini mengusung tema kemanusiaan dan penderitaan sosial. Mahbub Junaedi menggambarkan nasib seorang anak kecil yang menderita dalam kondisi kemiskinan. Tema ini menyoroti ketimpangan sosial dan kerapuhan hidup manusia di tengah dunia yang ramai dan panas—baik secara fisik maupun batin. Melalui sosok “bocah tergolek lemah”, penyair menghadirkan simbol penderitaan yang universal, mencerminkan suara mereka yang tidak bersuara.
Puisi ini bercerita tentang seorang anak kecil (balita) yang tergeletak lemah di tengah panasnya siang, di antara hiruk-pikuk lalu lintas dan kesibukan dunia. Si aku lirik, mungkin seorang pejalan atau saksi bisu, menyaksikan dengan getir bagaimana bocah itu menanggung kepapaan hidup—keringat, luka, dan lelah yang tak tertahankan.
Meskipun di sekitar masih ramai kendaraan yang melintas, suasana terasa “mendadak sunyi” karena kepedihan yang begitu dalam menyelimuti momen itu. Pada bagian akhir, seseorang tampak mengangkat sang bocah dan membaringkannya di “singgasana”—sebuah simbol yang ambigu, bisa dimaknai sebagai tempat istirahat terakhir (kematian), atau sekadar perhentian sementara dari penderitaan duniawi.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik sosial terhadap ketidakpekaan masyarakat terhadap penderitaan orang miskin, terutama anak-anak yang menjadi korban keadaan. Dunia yang sibuk dan panas menggambarkan kehidupan modern yang keras, di mana manusia sering kehilangan rasa empati dan kehangatan.
Selain itu, puisi ini juga menyiratkan keputusasaan dan kepasrahan hidup, di mana “tergolek lemah” bukan hanya kondisi fisik, tetapi juga kondisi sosial dan spiritual manusia yang tidak lagi mampu melawan nasib. “Singgasana” di akhir puisi menjadi metafora ambivalen: bisa bermakna kematian yang memuliakan (karena terbebas dari penderitaan), atau sekadar harapan akan kasih yang datang terlambat.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini sunyi, pilu, dan getir. Meski disebutkan “lalu lalang kendaraan silih berganti”, penyair menggambarkan suasana yang justru “mendadak sunyi” — sebuah keheningan batin yang timbul ketika penderitaan menyentuh nurani. Suara “rengek bocah balita” dan “keringat dari balik baju lusuh” menambah nuansa sedih dan tragis. Di bagian akhir, suasana itu memuncak dalam keheningan penuh duka: “sayup-sayup erangan semakin lirih dalam lelap yang lelah.”
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat puisi “Tergolek Lemah” adalah ajakan untuk membuka mata hati terhadap penderitaan manusia di sekitar kita. Mahbub Junaedi mengingatkan bahwa di tengah kemajuan dan kesibukan dunia, masih ada manusia yang hidup dalam kesengsaraan. Puisi ini mengajak pembaca untuk kembali menumbuhkan empati, peduli, dan berbuat sesuatu terhadap penderitaan sosial.
Selain itu, ada juga pesan spiritual tersirat bahwa hidup adalah perjalanan menuju kepasrahan, dan penderitaan bukan sekadar kesakitan fisik, melainkan ujian kemanusiaan yang menuntut belas kasih dari sesama.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji visual dan auditif. Imaji visual terlihat dalam baris seperti “keringat mengucur deras dari balik baju lusuh” dan “bocah tergolek lemah” — keduanya menggambarkan pemandangan nyata yang sangat menyentuh. Imaji auditif muncul dalam “sayup-sayup suara rengek bocah balita mengiris miris” dan “erangan semakin lirih”, yang memperkuat kesan emosional dan menghadirkan suasana seolah pembaca benar-benar mendengar suara penderitaan itu.
Gabungan imaji visual dan auditif menjadikan puisi ini hidup dan bergetar, seolah penderitaan bocah itu nyata di depan mata.
Majas
Beberapa majas (gaya bahasa) yang digunakan Mahbub Junaedi dalam puisi ini antara lain:
- Metafora – misalnya dalam frasa “dibaringkan di singgasana”, yang tidak sekadar berarti tempat tidur, tetapi melambangkan tempat mulia atau akhir dari penderitaan.
- Personifikasi – “pandangan menggelayar nanar” menggambarkan pandangan yang seolah memiliki perasaan sendiri, menunjukkan keletihan batin.
- Hiperbola – “suara rengek bocah balita mengiris miris” adalah bentuk penguatan emosi, mempertegas betapa tajamnya rasa pilu yang dirasakan si aku lirik.
- Repetisi – pengulangan kata seperti “sayup-sayup” menambah kesan mendalam dan ritmis, membangun nuansa lirih yang menekan emosi pembaca.
Puisi “Tergolek Lemah” karya Mahbub Junaedi adalah potret lirih dari realitas sosial yang sering kita abaikan. Di balik kata-kata yang lembut, tersimpan jeritan kemanusiaan yang getir: tentang kemiskinan, kepasrahan, dan harapan yang hampir padam.
Melalui tema penderitaan sosial, penyair tidak sekadar menulis tentang nasib seorang bocah, tetapi juga menulis tentang kita semua — tentang bagaimana dunia yang bising bisa terasa sunyi ketika nurani kita mati rasa. Dengan imaji yang kuat dan majas yang menyayat, puisi ini menjadi cermin untuk melihat kembali kemanusiaan yang mungkin telah lama tergolek lemah dalam diri kita.
Karya: Mahbub Junaedi
Biodata Mahbub Junaedi:
- Mahbub Junaedi lahir pada tanggal 23 November, di Brebes, Jawa Tengah.
