Ultimatum
Dalam hiruk-pikuk pura-pura
dalam ingar-bingar geledek banci
diriku arca
protes atas pemborosan energi
Dalam kesejukan yang kepal dunia
dalam derai keringat membutir intan
diriku api tunas yang mencari pagi.
Sumber: Rangsang Detik (1957)
Analisis Puisi:
Puisi ini mengangkat tema perlawanan batin terhadap keramaian dan kepalsuan, serta pencarian makna hidup dan energi baru. Penyair menekankan konflik antara kekacauan dunia luar dan keteguhan diri untuk tetap mencari cahaya atau harapan.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang menolak hiruk-pikuk dunia dan kepura-puraan orang-orang di sekitarnya.
- Di baris “dalam hiruk-pikuk pura-pura, dalam ingar-bingar geledek banci”, penyair menggambarkan kegaduhan sosial yang membingungkan dan melelahkan.
- Penyair menyamakan dirinya dengan arca yang protes, simbol keteguhan dan kesunyian yang menolak energi yang terbuang percuma.
- Selanjutnya, penyair menjadi “api tunas yang mencari pagi”, menggambarkan upaya mencari arah, harapan, dan pembaharuan dalam hidup.
Puisi ini menekankan perlawanan batin terhadap ketidakberesan sosial dan pencarian spiritual atau eksistensial.
Makna Tersirat
Makna tersirat puisi ini adalah keinginan untuk menyingkir dari kepalsuan dan kekacauan, serta menemukan pencerahan atau energi baru untuk memulai sesuatu yang lebih autentik. Penyair merasa terisolasi namun kuat, menolak ikut terbawa arus dunia yang memboroskan energi dan mengaburkan tujuan hidup.
Selain itu, puisi ini juga menyinggung protes terhadap ketidakseimbangan dunia modern, di mana hiruk-pikuk sosial dan tekanan eksternal dapat mengekang kebebasan dan kreativitas individu.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi ini intens, tegang, dan reflektif, bercampur antara kegaduhan luar dan keteguhan batin. Frasa seperti “hiruk-pikuk pura-pura” dan “ingar-bingar geledek banci” menciptakan atmosfer kekacauan dan tekanan.
Kontras dengan “diriku arca” dan “api tunas yang mencari pagi”, suasana menjadi tenang namun penuh gairah, menunjukkan keteguhan batin dan pencarian arah baru.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini menyampaikan pesan bahwa:
- Manusia perlu menolak kepalsuan dan kekacauan sosial agar bisa menjaga integritas dan energi diri.
- Pencarian makna dan arah hidup membutuhkan keteguhan batin, kesabaran, dan keberanian untuk bersikap berbeda dari arus utama.
- Energi yang terbuang pada kepura-puraan dan hiruk-pikuk sebaiknya dialihkan untuk pencarian tujuan yang lebih autentik dan produktif.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji visual dan simbolik:
- “Diriku arca” – imaji visual yang menunjukkan keteguhan, kesunyian, dan penolakan terhadap hiruk-pikuk.
- “Api tunas yang mencari pagi” – imaji metaforis yang melambangkan harapan, pembaharuan, dan energi hidup yang mencari arah.
- “Derai keringat membutir intan” – imaji sensorik dan simbolik, menunjukkan usaha keras dan nilai dalam perjuangan batin.
- “Hiruk-pikuk pura-pura” – imaji auditori yang melukiskan kekacauan sosial yang membingungkan.
Majas
Beberapa majas yang terlihat dalam puisi ini antara lain:
- Metafora: “diriku arca” dan “api tunas”, melambangkan keteguhan dan semangat mencari arah baru.
- Personifikasi: “api tunas yang mencari pagi”, memberi sifat aktif pada elemen alam/metafora.
- Hiperbola: “derai keringat membutir intan”, menekankan nilai dan usaha yang besar dalam pencarian makna hidup.
- Simbolisme: Arca melambangkan keteguhan; api tunas melambangkan harapan; hiruk-pikuk sosial melambangkan tekanan dunia modern.
Puisi “Ultimatum” karya Adi Sidharta menampilkan konflik batin antara diri yang teguh dan dunia yang kacau. Dengan bahasa yang padat dan simbolik, penyair menekankan perlunya perlawanan terhadap kepalsuan, pencarian makna, dan pembaharuan diri.
Puisi ini mengajak pembaca merenungi pentingnya keteguhan batin, harapan, dan energi produktif di tengah hiruk-pikuk sosial yang melelahkan, sekaligus menunjukkan bahwa perjuangan batin dan pencarian arah hidup adalah proses yang bernilai dan indah.
Karya: Adi Sidharta
Biodata Adi Sidharta:
- Adi Sidharta (biasa disingkat A.S. Dharta) lahir pada tanggal 7 Maret 1924 di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat.
- Adi Sidharta meninggal dunia pada tanggal 7 Februari 2007 (pada usia 82 tahun) di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat.
- Adi Sidharta memiliki banyak nama pena, antara lain Kelana Asmara, Klara Akustia, Yogaswara, Barmaraputra, Rodji, dan masih banyak lagi.
