Yogya, Selamat Pagi
Kusapa sepi: sebuah pagi
pertama kali. dingin
udara membekukan
tiang dan dinding-dinding kota
tua. Sementara kesibukan pun berangkat
mengirim berpasang roda membuka
kehidupan. Di bawah angin
manusia kembali berperan
di dunia yang sempit. Aku sendiri
menekur di sudut masih menanti
sebelum pagi memberangkatkan
diriku sendiri. Nadi telah kembali
mulai mendenyutkan darah kembara
Adakah keasingan yang sekonyong tiba
mengantarkan nasib dan menjemput
sebagian diri yang segera terdampar
ke tempat jauh
Selamat pagi Yogya, di atas kembangan jari
salam bagimu. Atau kembali buatku sendiri
Ada sebagian hatiku yang lepas dari duniamu
Dan pergi. Boleh jadi nanti
Ada rindu pulang tak bakal kembali lagi
Sumber: Tugu (Dewan Kesenian Yogya, 1986)
Analisis Puisi:
Puisi “Yogya, Selamat Pagi” karya Ragil Suwarna Pragolapati merupakan salah satu karya yang menggambarkan pertemuan antara kenangan, perjalanan batin, dan rasa keterasingan dalam sebuah kota yang penuh sejarah dan makna emosional — Yogyakarta. Dengan diksi yang sederhana namun reflektif, penyair menghadirkan suasana pagi di kota itu sebagai simbol awal dan akhir dari sebuah perjalanan jiwa.
Tema
Tema utama puisi “Yogya, Selamat Pagi” adalah perasaan rindu dan keterasingan dalam perjalanan hidup. Penyair seolah berbicara kepada Yogyakarta — bukan hanya sebagai tempat geografis, melainkan juga sebagai ruang kenangan dan spiritualitas. Ia menyapa pagi di kota itu dengan nada sendu, seperti seseorang yang baru tiba atau baru akan beranjak pergi dari tempat yang memiliki makna mendalam baginya. Tema ini juga dapat dimaknai sebagai pencarian jati diri di tengah perubahan dan kefanaan hidup.
Puisi ini bercerita tentang seorang tokoh liris yang menyapa pagi di Yogyakarta dengan perasaan hening, asing, dan penuh perenungan. Ia menggambarkan suasana kota yang mulai hidup kembali di pagi hari — kesibukan, roda kehidupan, dan manusia yang bergegas. Namun, di tengah semua itu, penyair merasa terasing dan menunggu sesuatu yang belum jelas: “Aku sendiri menekur di sudut masih menanti / sebelum pagi memberangkatkan diriku sendiri.” Kutipan ini menunjukkan bahwa penyair tidak sekadar menggambarkan suasana kota, melainkan juga menggambarkan suasana batinnya sendiri: sepi, penuh kenangan, dan mungkin kehilangan.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah pencarian makna keberadaan di tengah dunia yang terus bergerak. Penyair menyadari bahwa waktu dan kehidupan terus berjalan — manusia berperan, kota hidup, roda berputar — sementara dirinya seolah tertinggal dalam diam dan perenungan.
Baris terakhir “Boleh jadi nanti / Ada rindu pulang tak bakal kembali lagi” memberi makna mendalam: kerinduan terhadap masa lalu atau tempat yang dicintai bisa jadi tidak akan pernah menemukan bentuknya lagi. Ada kesadaran tentang kefanaan, tentang perubahan yang tak bisa dielakkan, dan tentang kerinduan yang hanya bisa hidup dalam kenangan.
Suasana dalam puisi
Suasana yang terasa dalam puisi ini adalah sepi, melankolis, dan kontemplatif. Meski judulnya “Selamat Pagi” — biasanya diasosiasikan dengan semangat dan kebaruan — justru yang hadir di sini adalah suasana tenang dan dingin. Penyair menggambarkan udara yang membekukan, kesibukan yang terasa jauh, dan dirinya yang “menekur di sudut.”
Suasana ini mempertegas perasaan keterasingan dan refleksi diri: pagi menjadi simbol awal kehidupan, tetapi bagi penyair, juga bisa menjadi pengingat tentang sesuatu yang harus ditinggalkan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat dari puisi “Yogya, Selamat Pagi” adalah pentingnya menerima perubahan hidup dan memahami bahwa setiap perpisahan adalah bagian dari perjalanan manusia. Kota, kenangan, dan masa lalu akan terus hidup dalam diri, meski seseorang harus melangkah ke tempat yang baru.
Penyair mengajarkan bahwa dalam kesunyian dan keterasingan, seseorang dapat menemukan makna yang lebih dalam tentang dirinya sendiri dan dunia di sekitarnya.
Imaji
Puisi ini kuat dalam menghadirkan imaji visual dan suasana. Misalnya:
- “dingin udara membekukan tiang dan dinding-dinding kota tua” → imaji visual dan peraba yang menggambarkan suasana pagi yang dingin dan beku.
- “kesibukan pun berangkat mengirim berpasang roda membuka kehidupan” → imaji gerak dan pendengaran, memperlihatkan kehidupan kota yang kembali berputar.
- “Aku sendiri menekur di sudut masih menanti” → imaji visual dan emosional, menghadirkan sosok yang merenung dalam kesendirian.
- “di atas kembangan jari salam bagimu” → imaji simbolik yang lembut dan puitis, seolah penyair memberikan salam dengan penuh kehangatan namun juga jarak.
Imaji-imaji ini memperkaya makna puisi dan menghidupkan suasana batin penyair dalam lanskap kota yang nyata.
Majas
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
- Personifikasi – “kesibukan pun berangkat mengirim berpasang roda membuka kehidupan” memberi kehidupan pada benda mati (roda, kesibukan) seolah memiliki kehendak.
- Metafora – “Ada sebagian hatiku yang lepas dari duniamu” menjadi perumpamaan atas perpisahan batin atau kehilangan sesuatu yang berharga.
- Hiperbola – “dingin udara membekukan tiang dan dinding-dinding kota tua” melebih-lebihkan efek dingin untuk menggambarkan suasana beku dan murung.
- Eufemisme – “Ada rindu pulang tak bakal kembali lagi” menjadi cara halus untuk mengungkapkan kehilangan atau kepergian yang permanen.
Puisi “Yogya, Selamat Pagi” karya Ragil Suwarna Pragolapati adalah refleksi pertemuan antara kenangan, perpisahan, dan keterasingan. Melalui diksi yang sederhana namun berlapis makna, penyair menggambarkan Yogyakarta sebagai ruang batin yang menyimpan rindu dan perjalanan spiritual seorang manusia. Tema tentang kerinduan, perjalanan hidup, dan kesadaran akan perubahan menjadi inti dari sajak ini. Imaji, suasana, dan majas yang digunakan berhasil membangun suasana hening sekaligus menggetarkan.
Puisi ini seakan mengajarkan bahwa setiap “selamat pagi” juga menyimpan kemungkinan perpisahan — sebab hidup, sebagaimana perjalanan di Yogyakarta pagi itu, selalu bergerak antara datang dan pergi, antara rindu dan lupa.
Karya: Ragil Suwarna Pragolapati
Biodata Ragil Suwarna Pragolapati:
- Ragil Suwarna Pragolapati lahir di Pati, pada tanggal 22 Januari 1948.
- Ragil Suwarna Pragolapati dinyatakan menghilang di Parangtritis, Yogyakarta, pada tanggal 15 Oktober 1990.
- Ragil Suwarna Pragolapati menghilang saat pergi bersemadi ke Gunung Semar. Dalam perjalanan pulang dari kaki Gunung Semar menuju Gua Langse (beliau berjalan di belakang murid-muridnya) tiba-tiba menghilang. Awalnya murid-muridnya menganggap hal tersebut sebagai kejadian biasa karena orang sakti lumrah bisa menghilang. Namun, setelah tiga hari tiga malam tidak kunjung pulang dan dicari ke mana-mana tidak diketemukan. Tidak jelas keberadaannya sampai sekarang, apakah beliau masih hidup atau sudah meninggal.
- Dikutip dari Leksikon Susastra Indonesia (2000), pada masa awal Orde Baru, Ragil Suwarna Pragolapati pernah ditahan tanpa proses pengadilan karena melakukan demonstrasi.
- Ragil Suwarna Pragolapati sering terlibat dalam aksi protes. Berikut beberapa aksi yang pernah diikuti: Menggugat Mashuri, S.H., Menteri PK, 1968. Memprotes Pemda Yogya, kasus Judi, 1968. Menggugat manipulasi dan korupsi, 1970-1971. Aksi memprotes Golkarisasi, 1970-1972. Memprotes Taman Mini Indonesia Indah (TMII), 1971-1972. Aksi menggugat SPP, 1971-1972. Aksi menolak televisi warna, 1971-1973. Aksi menolak komoditas Jepang, 1971-1974. Protes breidel pers 1977-1978.
