Selama bertahun-tahun, sejarah sastra Indonesia modern seolah-olah memiliki titik tolak tunggal yang tak terbantahkan: terbitnya karya-karya dari Balai Pustaka. Novel-novel seperti Azab dan Sengsara oleh Merari Siregar atau Siti Nurbaya oleh Marah Rusli dianggap sebagai halaman pembuka resmi sejarah sastra modern kita. Narasi yang terbentuk menyatakan bahwa sastra Indonesia modern dimulai dengan tema utama seputar pertentangan antara angkatan muda dan angkatan tua, khususnya dalam persoalan adat dan kawin paksa. Balai Pustaka, sebagai lembaga bentukan pemerintah kolonial Hindia Belanda, bertindak sebagai pembina dan pengarah, menentukan kriteria isi dan bahasa. Karya yang tidak memenuhi standar ini terutama yang dianggap membahayakan kebijakan pemerintah langsung dicap sebagai "bacaan liar" dan tidak diakui dalam peta sejarah sastra Indonesia.
Namun, pandangan yang "sempit" dan terbatas ini mulai digugat oleh penemuan kembali sebuah "harta karun" yang terpendam, yaitu Sastra Peranakan Tionghoa.
Menggugat Hegemoni dan Memperluas Cakrawala
Pertanyaan besarnya adalah: Mengapa gerakan nasional Indonesia yang sedang memuncak, serta peristiwa-peristiwa besar yang menggemparkan masyarakat kolonial saat itu, seolah-olah tidak tergarap dalam karya-karya yang diakui Balai Pustaka? Jawabannya terletak pada "sastra liar" tersebut.
Berkat ketekunan para peneliti, baik dari dalam maupun luar negeri seperti Pramoedya Ananta Toer dan Claudine Salmon, kekayaan "harta karun" sastra Indonesia yang terabaikan ini mulai terangkat ke permukaan. Orang terkejut menyadari betapa luas dan beragamnya isi karya-karya ini, yang ternyata sudah mulai diciptakan jauh sebelum Balai Pustaka muncul. Sastra Peranakan Tionghoa, yang Pramoedya Ananta Toer golongkan sebagai "sastra assimilatif", bukan hanya bermutu baik, tetapi juga lebih luas dalam mencerminkan hakikat masyarakat kolonial dan semangat kebangkitan nasional Indonesia.
Professor Dr. A. Teeuw bahkan berpendapat bahwa Sastra Peranakan Tionghoa merupakan mata rantai yang pokok dari rantai perkembangan sastra menuju sastra Indonesia sekarang. Pandangan ini menuntut kita untuk lebih ilmiah dan objektif dalam meneliti sejarah sastra Indonesia modern. Sastra jenis ini bukan hanya ditulis dalam Bahasa Melayu Umum, tetapi juga lahir di tengah masyarakat Indonesia dan merefleksikan realitas kehidupan sosial-politik pada masanya.
Realisme yang Gesit dan Berani
Salah satu ciri khas Sastra Peranakan Tionghoa adalah sifatnya yang realistis dan tidak terpisah dari kehidupan masyarakat. Banyak karya yang secara gamblang mencantumkan kalimat, "Satoe tjerita yang soenggoe-soenggoe soedah terdjadi di..." di bawah judulnya. Tradisi ini membuat para pengarang Peranakan lebih gesit dan berani dalam menimba bahan kreasi dari peristiwa-peristiwa aktual yang bergolak di tengah masyarakat.
Sementara Balai Pustaka "menabukan" peristiwa-peristiwa yang menggoncangkan masyarakat kolonial, seperti pemberontakan 1926, pembuangan ke Boven Digoel, dan aksi pemogokan kaum buruh, sastra Peranakan menjadikannya sumber inspirasi utama. Contohnya adalah novel kolosal Drama di Boven Digoel (1929-1932) karya Kwee Tek Hoay, sebuah roman besar yang tebalnya mencapai 718 halaman dan merangkul masalah penting seperti politik, percintaan, filsafat, keagamaan, hingga kritik bahasa.
Sumbangsih Bahasa dan Kekuatan Melayu Umum
Persoalan bahasa menjadi salah satu dalih utama pemerintah kolonial untuk menggencet dan meremehkan Sastra Peranakan Tionghoa. Balai Pustaka kukuh mempertahankan Bahasa Melayu Riau sebagai bahasa baku. Namun, para pengarang Peranakan mengkritik keras, menyatakan bahwa Melayu Riau itu adalah bahasa yang asing, tidak cocok dengan kebiasaan, dan memiliki gaya yang “samoea bersifat entjer, tida ada rasanja apa-apa” (kosong dan hambar).
Sebaliknya, Sastra Peranakan Tionghoa menggunakan Bahasa Melayu Umum yang mengutamakan kepraktisan, menjadikannya lebih lincah, luwes, dan hidup daripada bahasa baku Balai Pustaka. Kontribusi ini tidak bisa diabaikan. Bahasa yang mereka gunakan dalam perkembangannya turut menuju ke bentuk Bahasa Indonesia yang kita kenal sekarang. Dengan demikian, Sastra Peranakan Tionghoa telah memberikan sumbangannya yang nyata dalam perkembangan bahasa Indonesia.
Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa Sastra Peranakan Tionghoa adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah sastra Indonesia, bukan hanya karena mutu karyanya yang baik, tetapi juga karena peranannya dalam mendokumentasikan realitas sosial-politik kolonial yang lebih luas dan berkontribusi pada pembentukan bahasa nasional. Menelitinya secara objektif adalah kunci untuk mencapai pengertian yang lebih utuh tentang sejarah sastra Indonesia modern yang sesungguhnya.
Informasi lebih lanjut mengenai kontribusi sastra Tionghoa Peranakan dapat Anda simak di sini:
Video ini berisi diskusi mengenai naskah dan karya sastra cetak Tionghoa Peranakan di Indonesia.
Biodata Penulis:
Tara Agustina, lahir pada tanggal 14 Agustus 2005 di Solok, saat ini aktif sebagai mahasiswa, prodi Sastra Indonesia, di Universitas Andalas.