Bukan Gerbang untuk Keluar-Masuk
Jangan paksa hatiku
menyamai arah langkahmu.
Di dalam diri kita tumbuh dua musim
yang tak pernah sepakat pada matahari yang mana.
Aku bukan celah kayu
yang bisa kau dorong lalu kau tinggalkan.
Aku berdarah, aku rapuh,
dan perasaanku punya batas yang enggan kau lihat.
Kau hilang ke lorong-lorong yang tak kau sebut,
menggantungkan tanya tanpa penjelasan.
Kepergianmu seperti hujan yang sengaja
dipanggil untuk merusak dinding rumah ini.
Aku menunggu rerupa kasih,
yang datang justru bayangan luka.
Janji yang kau lontarkan seperti kaca retak
tak pernah benar-benar kembali utuh.
Aku tetap bukan jalan keluar
yang bisa kau bolak-balik sesuka rindu dan bosanmu.
Aku hanya ingin dihargai
sebagai diri yang berdiri penuh rasa, bukan benda.
Dan kini aku melihat jelas:
dulu atau kini, langkahmu masih sama.
Sementara aku perlahan mengerti
bahwa hidup tak boleh terus dipagut kecewa.
Analisis Puisi:
Puisi “Bukan Gerbang untuk Keluar-Masuk” merupakan karya yang menyuarakan pergulatan batin seseorang yang merasa tidak dihargai dalam sebuah hubungan. Melalui diksi yang emosional, metaforis, dan sarat imaji luka, penyair menggambarkan situasi di mana hati manusia diperlakukan seperti tempat persinggahan—datang dan pergi sesuka kehendak pihak lain. Puisi ini kaya akan ekspresi perasaan, penegasan identitas diri, serta kesadaran untuk melepaskan kekecewaan.
Tema
Puisi ini mengangkat tema tentang harga diri, luka emosional, dan kesadaran untuk menghentikan hubungan yang tidak sehat. Ada pergulatan antara harapan dan realitas, antara cinta dan ketidakhormatan, antara bertahan dan merelakan.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang merasa diperlakukan secara tidak adil oleh pasangannya—seseorang yang pergi dan datang sesuka hati, tanpa mempertimbangkan perasaan. “Aku” liris berusaha menyampaikan bahwa dirinya bukan gerbang yang bisa dipakai bolak-balik untuk keluar dan masuk. Hatinya rapuh, memiliki batas, dan tidak ingin terus menjadi korban dari ketidakpastian serta keacuhan.
Makna Tersirat
Beberapa makna tersirat dalam puisi ini antara lain:
- Setiap orang memiliki batas perasaan, dan batas itu harus dihormati.
- Hubungan yang tidak seimbang akan selalu menimbulkan luka, bukan kenyamanan.
- Tidak ada cinta yang pantas dipertahankan jika hanya memberikan kekecewaan.
- Kesadaran diri adalah langkah pertama untuk sembuh, terlihat dari pengakuan “hidup tak boleh terus dipagut kecewa”.
- Cinta bukan ruang transit, melainkan ruang yang penuh pengertian dan penghormatan.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini cenderung gelap, sendu, dan penuh ketegangan emosi. Ada rasa marah, kecewa, terluka, namun juga perlahan muncul ketegasan dan keberanian untuk berdiri sendiri. Suasana tersebut berubah dari rapuh menjadi kuat di bagian akhir, mencerminkan proses penyembuhan batin.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Beberapa amanat yang dapat dipahami dari puisi ini adalah:
- Jangan biarkan diri terus tersakiti dalam hubungan yang tidak menghargai perasaan.
- Setiap manusia berharga dan layak diperlakukan dengan hormat, bukan sebagai jalan keluar-masuk emosi orang lain.
- Belajarlah untuk berhenti ketika sebuah hubungan hanya menambah luka.
- Menghargai diri sendiri adalah bentuk keberanian terbesar.
- Kekecewaan bukan tempat tinggal, melainkan isyarat untuk bergerak.
Imaji
Puisi ini mengandung banyak imaji yang kuat, terutama imaji visual dan emosional:
- “Dua musim yang tak pernah sepakat” → imaji ketidakharmonisan dua hati.
- “Kau hilang ke lorong-lorong yang tak kau sebut” → gambaran seseorang yang misterius dan tidak jujur.
- “Hujan yang sengaja dipanggil untuk merusak dinding rumah ini” → imaji destruktif yang melambangkan tindakan yang merusak hubungan.
- “Kaca retak” → simbol janji yang tak mungkin pulih seperti sedia kala.
- “Rerupa kasih” dan “bayangan luka” → imaji kontras antara harapan dan kenyataan.
Imaji-imaji ini memperkuat suasana emosional yang kompleks dan penuh luka.
Majas
Puisi ini menggunakan berbagai majas yang memperkaya arti dan nada emosionalnya:
Metafora
- “Aku bukan celah kayu” → menggambarkan bahwa dirinya bukan objek yang bisa didorong seenaknya.
- “Aku bukan jalan keluar” → dirinya bukan tempat pelarian emosional orang lain.
- “Dua musim dalam diri” → perbedaan karakter atau perasaan yang tak menyatu.
Personifikasi
- “Kepergianmu seperti hujan yang sengaja dipanggil” → kepergian dibuat seolah memiliki niat jahat.
- “Kaca retak… tak pernah benar-benar kembali utuh” → kaca dipersonifikasikan sebagai janji yang hidup dan berubah.
Simile (perbandingan)
- “Seperti hujan”, “seperti kaca retak” → memperkuat kesan visual dan emosional.
Puisi “Bukan Gerbang untuk Keluar-Masuk” adalah karya yang kuat secara emosional dan penuh kesadaran diri. Dengan bahasa yang tegas namun puitis, Aprianus Gregorian Bahtera menghadirkan monolog batin seseorang yang akhirnya memahami bahwa harga diri tidak boleh dikorbankan demi cinta yang tidak sehat. Puisi ini mengajak pembaca untuk berani mengambil sikap, menghargai diri sendiri, dan melepaskan segala bentuk hubungan yang hanya menumbuhkan luka.