Bumi Kita
Bumi adalah perahu keramat bernyawa mustajab doa:
lampaui hebat perahu Nuh dahulu kala
mengarungi luas samudra alam semesta berbilang kala:
jelajahi palka demi palka secepat gerak cahaya
berpenghuni semua makhluk yang ikhlas bersama:
nabatah, satwa, dan manusia karya sang mahacipta
Bumi adalah perahu mungil bersaripati kamil surga:
serasa debu di antara lintasan bermilyar benda
mengelilingi lapang lautan alam raya bertahun cahaya:
edari ruang demi ruang secekat buraq mustafa
berpenumpang para makhluk yang dibimbing waspada:
nabatah, satwa, dan manusia milik sang mahabaka
Ketika puja sastra dan doa disulih ragu pikir dan prakira manusia
ketika riuh upacara syukuri bumi disalin giat kerja singkapi dunia
kezaliman dan kebodohan pun memberangus diri manusia:
ia mencincang bumi, alpa rawat selembut firman ilahi
rakus dan tamak pun menjajah pikiran, hati, dan jiwa manusia:
ia menganiaya bumi, lupa belas kasih semerdu ayat suci
Maka manusia lena peran utama pemelihara jagat raya:
jadi lanun yang rampas perahu keramat milik sang mahamulia
jadi bajak laut yang hancurkan perahu mungil di alam semesta
jadi penyamun yang binasakan nabatah dan satwa tiada dosa
Bumi pun terhuyung di ambang kehancuran nyata. Hai kau yang lupa….
[terlantun hiruk cemas sesiapa rasai ketakteraturan jagat raya
bergaung lolong lara sesiapa digulung ketakseimbangan buana
bergema jerit gentar sesiapa dilibas ketakselarasan alam semesta
sedang perahu bumi kian karam, tengkurap serupa seekor kura-kura]
Hai kau yang lalai, sedang mencari apa – kenapa dirayakan ingkar dan durhaka?
Malang, 2005/2012
Sumber: Arung Diri (2013)
Analisis Puisi:
Puisi “Bumi Kita” karya Djoko Saryono merupakan karya yang penuh refleksi ekologis, spiritual, sekaligus filosofis. Dengan gaya bahasa yang kuat, simbolik, dan berlapis, puisi ini menghadirkan renungan mendalam tentang posisi manusia di tengah alam semesta—sebagai makhluk yang semestinya menjadi penjaga dan perawat bumi, namun justru menjadi penyebab kerusakannya.
Puisi ini menegaskan bahwa bumi bukan sekadar tempat tinggal, melainkan “perahu keramat”, simbol kehidupan bersama yang harus dijaga dengan cinta dan kesadaran.
Tema
Tema utama dalam puisi ini adalah hubungan antara manusia dan alam, serta tanggung jawab manusia terhadap kelestarian bumi. Penyair menempatkan bumi sebagai entitas suci dan hidup—“perahu keramat bernyawa”—yang diciptakan Tuhan untuk menjadi tempat berlabuh semua makhluk. Namun, seiring berjalannya waktu, manusia menjadi tamak dan lalai, menyebabkan bumi menderita dan menuju kehancuran.
Tema ini sekaligus menjadi kritik sosial dan moral terhadap perilaku manusia modern yang kehilangan rasa hormat terhadap alam.
Puisi ini bercerita tentang perjalanan bumi sebagai perahu kehidupan yang membawa seluruh makhluk ciptaan Tuhan, dari tumbuhan (nabatah), hewan (satwa), hingga manusia.
Awalnya, bumi digambarkan sebagai perahu suci yang “bernakhoda doa” dan “berpenumpang semua makhluk yang ikhlas bersama.” Namun, keadaan itu berubah ketika manusia menggantikan doa dengan “ragu pikir dan prakira”—sebuah simbol dari kesombongan intelektual dan kerakusan modernitas.
Akibatnya, manusia tidak lagi menjadi penjaga bumi, melainkan perusak. Ia “mencincang bumi” dan “menganiaya bumi,” hingga akhirnya bumi “terhuyung di ambang kehancuran.”
Puisi ini ditutup dengan seruan penuh peringatan: manusia telah “lupa” dan “lalai,” padahal mereka seharusnya menjaga, bukan merusak.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik terhadap sikap manusia yang sombong, rakus, dan kehilangan kesadaran spiritual terhadap alam. Djoko Saryono tidak hanya menggambarkan kerusakan lingkungan secara fisik, tetapi juga kerusakan moral dan batin manusia.
Ketika manusia mengganti “puja sastra dan doa” dengan “ragu pikir dan prakira,” ia sedang berbicara tentang perubahan nilai: dari spiritualitas menuju materialisme, dari kebijaksanaan menuju keserakahan.
Puisi ini juga menyiratkan pesan teologis, bahwa bumi adalah ciptaan Tuhan yang suci, dan manusia memiliki peran moral sebagai khalifah—pemelihara, bukan penguasa. Bumi yang “tengkurap serupa kura-kura” menggambarkan ketidakseimbangan kosmos akibat ulah manusia.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini tegang, muram, sekaligus reflektif. Di awal, suasana terasa agung dan penuh kekaguman terhadap keajaiban bumi; penyair menggunakan citra religius dan metafisik. Namun, perlahan suasana berubah menjadi kelam dan penuh kecemasan ketika digambarkan manusia yang lalai dan tamak, hingga bumi “terhuyung di ambang kehancuran nyata.”
Pada bagian akhir, suasana menjadi menggugah dan mengandung seruan moral — sebuah peringatan keras bagi manusia yang terus melupakan tanggung jawabnya.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat utama puisi ini adalah ajakan untuk menyadari kembali peran manusia sebagai penjaga dan pemelihara bumi. Penyair ingin menegaskan bahwa bumi bukan milik manusia semata, tetapi milik seluruh makhluk ciptaan Tuhan. Jika manusia terus bertindak rakus dan lalai, kehancuran bumi juga berarti kehancuran manusia itu sendiri.
Pesan lainnya adalah seruan moral untuk kembali pada keseimbangan spiritual dan etika ekologis. Bumi hanya dapat lestari jika manusia mengelolanya dengan rasa cinta, bukan keserakahan.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji alam dan spiritualitas kosmik. Beberapa imaji yang menonjol antara lain:
- “Bumi adalah perahu keramat bernyawa mustajab doa” – menghadirkan imaji spiritual dan simbolik, seolah bumi adalah makhluk hidup yang diselimuti kekuatan doa.
- “Mengelilingi lapang lautan alam raya bertahun cahaya” – menciptakan imaji visual tentang perjalanan kosmik bumi di antara bintang-bintang.
- “Bumi pun terhuyung di ambang kehancuran nyata” – membangkitkan imaji tragis tentang bumi yang sedang sekarat.
- “Perahu bumi kian karam, tengkurap serupa seekor kura-kura” – imaji visual dan metaforis yang sangat kuat, menggambarkan bumi yang kehilangan keseimbangannya.
Imaji dalam puisi ini mengajak pembaca merenungi hubungan antara keindahan dan bahaya, antara kesucian dan kehancuran.
Majas
Puisi ini menggunakan berbagai majas untuk memperkaya makna dan memperdalam pesan ekologisnya:
- Metafora – Bumi digambarkan sebagai “perahu keramat” dan “perahu mungil bersaripati surga”, melambangkan bumi sebagai wadah kehidupan yang sakral.
- Personifikasi – Bumi diberi sifat manusia, “terhuyung di ambang kehancuran,” seolah ia bisa merasakan penderitaan akibat perbuatan manusia.
- Hiperbola – Penggambaran bumi yang “mengelilingi lapang lautan alam raya bertahun cahaya” memperkuat kesan agung dan luasnya ciptaan Tuhan.
- Simbolisme – “Perahu Nuh” menjadi simbol penyelamatan, sedangkan “lanun dan bajak laut” melambangkan manusia perusak alam.
- Repetisi – Pengulangan frasa seperti “Bumi adalah perahu…” menegaskan pesan inti tentang kesucian dan keagungan bumi.
Puisi “Bumi Kita” karya Djoko Saryono merupakan karya ekologis dan spiritual yang mendalam. Melalui gaya bahasa simbolik dan berlapis, penyair menyampaikan refleksi filosofis tentang hubungan manusia dengan alam semesta. Tema utamanya menegaskan bahwa bumi adalah titipan Tuhan, bukan milik manusia semata.
Dengan memadukan imaji kosmik, majas metaforis, dan pesan moral yang tajam, Djoko Saryono mengingatkan kita: ketika manusia lupa bersyukur dan berhenti berdoa untuk bumi, maka bumi akan berhenti memberi kehidupan.
Puisi ini adalah panggilan untuk sadar — bahwa menjaga bumi berarti menjaga diri sendiri, dan merawat alam berarti menjaga masa depan umat manusia.
Karya: Djoko Saryono
Biodata Djoko Saryono:
- Prof. Dr. Djoko Saryono lahir pada tanggal 27 Maret 1962 di kota Madiun.