Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Di Atas Trotoar (Karya Andy Sri Wahyudi)

Puisi “Di Atas Trotoar” karya Andy Sri Wahyudi bercerita tentang seseorang yang sedang bergulat dengan perasaan terhadap sosok “kamu”. Ada upaya ...
Di Atas Trotoar

Anjing!
Sepi terlalu ramai diriuh jahanam senyummu

Aku lelaki kecil, datang membawa gerimis
Hendak memelukmu sekilat petir saja

Baiklah, kan kubuatkan perahu-perahu kecil
Dan kulabuh pada sungai tubuhmu petang ini
Biarkan ia menyusuri malam dan
Membakar ingatan-ingatan!

Jogja, 2007

Sumber: Ibu, Aku Minta Dibelikan Mushola (2012)

Analisis Puisi:

Puisi “Di Atas Trotoar” karya Andy Sri Wahyudi adalah sebuah puisi pendek namun padat, yang bekerja terutama melalui kejutan diksi, kegetiran emosi, dan benturan antara kesepian dengan kerinduan untuk membangun kedekatan. Dengan gaya bahasa yang intens dan imaji metaforis yang tajam, puisi ini memunculkan dunia batin seorang aku lirik yang berhadapan dengan sosok “kamu” yang memantik ingatan, keresahan, sekaligus keinginan untuk mendekat.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kerinduan yang getir dalam kesendirian, yang dibalut oleh konflik batin antara kedekatan dan luka. Puisi ini memperlihatkan bagaimana seseorang mencoba mendekati sosok yang mungkin jauh secara emosional, dengan latar perasaan yang tidak stabil—antara murka, rindu, dan harapan.

Puisi ini bercerita tentang seorang aku lirik yang sedang bergulat dengan perasaan terhadap sosok “kamu”. Ada upaya untuk mendekat, memeluk, bahkan memberi sesuatu yang indah (digambarkan lewat “perahu-perahu kecil”), tetapi semuanya berlangsung di tengah suasana batin yang kacau.

Hubungan antara keduanya tampak tak seimbang: ada cinta atau rindu dari satu pihak, tetapi juga ada luka atau kekecewaan yang membuat suasana hubungan itu menjadi tegang.

Makna Tersirat

Secara tersirat, puisi ini memunculkan gagasan tentang:
  1. Cinta yang tidak tersampaikan atau tak diterima dengan baik.
  2. Kesepian yang membludak, digambarkan dengan ironi pada baris “Sepi terlalu ramai”.
  3. Keinginan untuk melupakan kenangan pahit, tetapi kenangan itu justru kerap “membakar” kembali perasaan sang aku lirik.
  4. Kerentanan emosional, tampak dari metafora “perahu-perahu kecil” dan “sungai tubuhmu” yang menunjukkan usaha lembut untuk mendekati seseorang yang mungkin tak sepenuhnya terbuka.
Dengan demikian, makna tersiratnya adalah pergulatan antara keinginan untuk menyembuhkan diri dengan luka yang justru makin menyala ketika berhadapan dengan sosok yang dikasihi.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah gelisah, getir, dan sekaligus penuh kerinduan. Kalimat pembuka yang meletup (“Anjing!”) menghadirkan emosi meledak, tetapi segera ditimpa perasaan lembut dan rapuh: “Aku lelaki kecil / datang membawa gerimis”. Perpaduan ini menciptakan atmosfer emosional yang kompleks—antara marah dan ingin dekat, antara sepi dan harap.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Secara implisit, puisi ini memberi pesan bahwa:
  1. Perasaan manusia tidak pernah sederhana, terutama ketika menyangkut hubungan personal.
  2. Kerinduan bisa menjadi beban, tetapi juga bisa menjadi penggerak untuk terus mencoba menyentuh hati seseorang.
  3. Ingatan masa lalu harus dihadapi, bukan hanya disimpan atau dihindari, karena justru dengan “membakar”-nya seseorang bisa menemukan kejelasan perasaan.

Imaji

Puisi ini sangat kuat pada imaji, terutama:

Imaji cuaca dan alam:
  • “datang membawa gerimis”
  • “sekilat petir saja”
Imaji ini menghadirkan suasana sendu namun juga intens.

Imaji tubuh dan ruang:
  • “sungai tubuhmu”
Imaji ini memberi kesan kedekatan fisik yang diolah menjadi metafora perjalanan perasaan.

Imaji gerak:
  • “perahu-perahu kecil / … menyusuri malam”
Imaji yang menggambarkan harapan kecil yang mengalir perlahan menuju kemungkinan pemahaman atau penerimaan.

Imaji api dan ingatan:
  • “Membakar ingatan-ingatan”
Imaji ini menunjukkan intensitas emosi yang menghanguskan.

Majas

Dalam puisi ini muncul beberapa majas yang dominan:

Metafora
  • “perahu-perahu kecil” sebagai simbol harapan atau pesan perasaan.
  • “sungai tubuhmu” sebagai metafora kedekatan emosional dan fisik.
Paradoks
  • “Sepi terlalu ramai” menunjukkan pertentangan suasana batin.
Personifikasi
  • “perahu-perahu kecil… Membakar ingatan-ingatan!”, seolah benda mati bisa bergerak dan mempengaruhi perasaan.
Hiperbola
  • “Hendak memelukmu sekilat petir saja”, menekankan keinginan mendekat yang begitu cepat atau kuat.
Interjeksi
  • “Anjing!” sebagai ledakan emosi sang aku lirik.
Puisi “Di Atas Trotoar” karya Andy Sri Wahyudi memperlihatkan betapa kompleksnya emosi manusia ketika berhadapan dengan sosok penting dalam hidupnya. Dengan tema tentang kerinduan getir dan pergulatan batin, puisi ini menghadirkan imaji yang kuat, majas yang efektif, serta suasana yang penuh gejolak. Intensitas bahasa dan metafora yang digunakan penyair membuat puisi ini terasa hidup, berlapis, dan mengundang pembacanya untuk ikut merasakan gelombang emosi yang dialami aku lirik.

Andy Sri Wahyudi
Puisi: Di Atas Trotoar
Karya: Andy Sri Wahyudi

Biodata Andy Sri Wahyudi:
  • Andy Sri Wahyudi lahir pada 13 Desember 1980 di kampung Mijen, Minggiran, Yogyakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.