Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Di Mandi Angin (Karya Esha Tegar Putra)

Puisi “Di Mandi Angin” karya Esha Tegar Putra mengajak pembaca merenungi: apakah kita benar-benar berjalan maju, atau sebenarnya perlahan mundur ke ..
Di Mandi Angin

Kita mungkin sedang bergerak ke masa lalu
seperti kota dengan suara diredam ini
jam gadang menggantung dengan lonceng berhenti berdentang
orang-orang berlari mundur
menembus dinding ruko, pintu surau, meja rumah makan
kursi kedai kopi, menembus setiap benda di hadapan mereka
dan menghisap suara
meminggirkan kata-kata.

Sebuah kota dengan jalanan terus susut
rel kereta setengah abad dihimpit rumah-rumah bertingkat
pasar menjual segala obat cara memandirkan diri
lereng dengan tanah runtuh tiap sebentar
dan di sini, di tiap lima menit, kesepian berderit.

Kita mungkin benar sedang bergerak ke masa lalu
seperti kota di ketinggian
di mana dingin seakan dibuat beku
kota di mana kepergian adalah pintu menuju pulang
dan pulang adalah cara lain menuju hilang.

Di sini, masa lalu, seakan hari baru
kita akan terus dimandikan angin dimandikan dingin
serasa terus ingin: ke yang dulu, ke yang seperti itu…

2016

Analisis Puisi:

Puisi “Di Mandi Angin” memiliki tema utama tentang kerinduan dan refleksi terhadap perubahan waktu serta kehilangan identitas ruang. Kota yang digambarkan dalam puisi ini bukan hanya ruang geografis, tetapi juga simbol dari kenangan, sejarah, dan keutuhan masa lalu yang kini kian pudar oleh modernitas. Esha Tegar Putra menggunakan kota sebagai metafora perjalanan waktu — tempat di mana masa lalu dan masa kini saling bertabrakan, menciptakan rasa nostalgia yang dingin dan asing.

Tema ini juga menyentuh sisi eksistensial manusia: bagaimana waktu, perubahan, dan kemajuan dapat menjauhkan seseorang dari akar kehidupannya. Dengan nuansa sendu dan kontemplatif, penyair menghadirkan semacam kesadaran bahwa masa lalu yang hangat dan bermakna sering kali terkubur dalam hiruk pikuk pembangunan yang membisu.

Puisi ini bercerita tentang seorang penyair yang merenungkan keadaan kotanya yang seakan berjalan mundur ke masa lalu, baik secara fisik maupun spiritual. Dalam larik pembuka “Kita mungkin sedang bergerak ke masa lalu / seperti kota dengan suara diredam ini”, penyair menciptakan citra bahwa kota itu tidak lagi hidup. Suara dan aktivitas seolah dibungkam, lonceng jam gadang berhenti berdentang, dan orang-orang “berlari mundur” — simbol dari kehilangan arah dan waktu yang seakan berbalik.

Bagian berikutnya menggambarkan kota yang semakin menyusut, rel kereta tua yang dihimpit bangunan-bangunan baru, tanah yang runtuh, dan kesepian yang datang setiap lima menit. Semua itu memperkuat gambaran bahwa kemajuan tidak selalu berarti kehidupan; kadang justru menghadirkan kehampaan.

Larik “kota di mana kepergian adalah pintu menuju pulang / dan pulang adalah cara lain menuju hilang” menunjukkan paradoks eksistensial: pulang tidak lagi bermakna kembali, melainkan justru kehilangan. Kota dan waktu telah berubah begitu jauh sehingga rumah pun tidak lagi terasa sebagai rumah.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah kritik halus terhadap perubahan sosial dan kehilangan makna akibat modernisasi. Kota yang dulu penuh kehidupan kini menjadi dingin, penuh bangunan tetapi kehilangan jiwa. Esha Tegar Putra seolah ingin menyampaikan bahwa manusia modern sedang bergerak mundur — bukan karena waktu berbalik, melainkan karena jiwa dan kesadaran kita yang mundur ke masa lalu, mencari sesuatu yang telah hilang.

Makna tersirat lainnya adalah kerinduan terhadap masa lalu yang lebih manusiawi. Dalam puisi ini, masa lalu tidak dilihat sebagai sesuatu yang kolot, melainkan tempat di mana kehidupan terasa lebih hangat dan bermakna. Kini, meski teknologi dan pembangunan maju, manusia justru merasa “dimandikan angin” — sejuk, tapi kesepian; bersih, tapi hampa.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah melankolis, dingin, dan reflektif. Ada kesan kesunyian yang kental, seperti kota yang diredam suaranya, berhenti dalam waktu. Gaya bahasanya menciptakan nuansa sendu dan misterius — seakan pembaca diajak berjalan pelan di kota yang pernah hidup, kini menjadi bayangan masa lalu.

Kata-kata seperti “suara diredam,” “dingin seakan dibuat beku,” dan “kesepian berderit” menciptakan atmosfer yang beku dan hening. Puisi ini memantulkan perasaan kehilangan yang tidak histeris, melainkan tenang dan dalam — seperti seseorang yang pasrah diterpa angin masa lalu.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat dari puisi ini adalah pentingnya mengingat dan menghargai masa lalu sebagai bagian dari identitas diri dan ruang hidup, serta kesadaran bahwa perubahan tanpa makna dapat membawa manusia menuju kehampaan. Penyair mengingatkan bahwa kemajuan yang melupakan akar budaya dan nilai kemanusiaan bisa membuat kita “kehilangan arah,” bahkan membuat “pulang” terasa seperti “hilang.”

Pesan lainnya, Esha Tegar Putra mengajak pembaca untuk merenungi arti kepergian, waktu, dan kenangan — bahwa tidak semua yang maju itu hidup, dan tidak semua yang lama itu mati. Ada nilai yang tetap abadi dalam kenangan, meski dunia terus berubah.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji visual dan auditif.

Imaji visual tampak kuat dalam deskripsi kota:
  • “jam gadang menggantung dengan lonceng berhenti berdentang” — gambaran visual yang kuat tentang waktu yang terhenti.
  • “orang-orang berlari mundur / menembus dinding ruko, pintu surau, meja rumah makan” — menciptakan imaji surreal tentang gerakan waktu yang terbalik.
  • “rel kereta setengah abad dihimpit rumah-rumah bertingkat” — memperlihatkan kontras antara masa lalu (rel tua) dan masa kini (bangunan modern).
Sementara imaji auditif muncul dalam:
  • “suara diredam,” “lonceng berhenti berdentang,” dan “kesepian berderit” — menekankan suasana hening dan dingin, di mana bunyi menjadi lambang kehidupan yang sirna.

Majas

Puisi ini memanfaatkan berbagai majas (gaya bahasa) untuk memperkuat efek puitis dan makna simbolisnya:

Majas Personifikasi:
  • “jam gadang menggantung dengan lonceng berhenti berdentang” — jam digambarkan seperti makhluk hidup yang berhenti bekerja.
  • “kesepian berderit” — kesepian diberi sifat manusiawi, bisa bersuara dan bergerak.
Majas Metafora:
  • “kota di mana kepergian adalah pintu menuju pulang / dan pulang adalah cara lain menuju hilang” — metafora kompleks tentang kehilangan makna rumah dan identitas.
  • “dimandikan angin” — bukan sekadar diterpa angin, tetapi simbol dari proses penyucian kenangan dan perasaan dingin eksistensial.
Majas Repetisi:
  • Kata “kita mungkin (...) sedang bergerak ke masa lalu” diulang untuk menegaskan inti perenungan sang penyair dan menguatkan nuansa nostalgia.
Majas Paradoks:
  • Terlihat jelas dalam “kepergian adalah pintu menuju pulang” — dua hal berlawanan yang justru menjadi satu makna baru.
Puisi “Di Mandi Angin” karya Esha Tegar Putra adalah potret puitis tentang kota yang kehilangan dirinya, waktu yang berputar mundur, dan manusia yang terjebak dalam nostalgia. Tema tentang kerinduan terhadap masa lalu dan kehampaan modernitas menjadi inti dari permenungan penyair. Melalui imaji kuat, suasana dingin, dan majas yang padat makna, puisi ini mengajak pembaca merenungi: apakah kita benar-benar berjalan maju, atau sebenarnya perlahan mundur ke masa lalu yang belum selesai?

Esha Tegar Putra berhasil menciptakan karya yang tidak hanya estetis, tetapi juga filosofis — sebuah perenungan tentang kota, waktu, dan manusia yang dimandikan oleh angin kenangan.

Esha Tegar Putra
Puisi: Di Mandi Angin
Karya: Esha Tegar Putra

Biodata Esha Tegar Putra:
  • Esha Tegar Putra lahir pada tanggal 29 April 1985 di Saniang Baka, Kabupaten Solok, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.