Analisis Puisi:
Puisi “Kutaraja” karya Sulaiman Juned merupakan karya reflektif dan historis yang menggali ingatan kolektif masyarakat Aceh terhadap masa lalu kerajaan mereka. Dengan gaya puitik yang padat dan simbolik, penyair menghadirkan dialog batin antara masa silam dan masa kini—antara kebesaran sejarah dan kegelisahan spiritual manusia modern yang mencoba memahami jejaknya sendiri.
Tema
Tema utama puisi ini adalah pencarian makna sejarah dan identitas budaya. Sulaiman Juned menyoroti betapa sulitnya generasi kini memahami kisah para raja dan warisan masa lalu Aceh yang agung. Tema ini tidak sekadar historis, tetapi juga filosofis: tentang jarak antara kejayaan dan keterasingan, antara kemegahan masa lalu dan keterpurukan batin di masa kini.
Puisi ini bercerita tentang kegelisahan penyair dalam memahami jejak sejarah dan spiritualitas Kutaraja (nama lama Banda Aceh). Baris “Tak mampu memahami kisah para raja, tertanam batu berlumut” menggambarkan bagaimana sejarah yang dulu megah kini tertutup waktu—seperti batu yang dilapisi lumut, menjadi simbol keheningan dan lupa.
“Jiwa tergerus riak Krueng Aceh” memperlihatkan keterhubungan antara manusia dengan alam dan sejarah; sungai (Krueng Aceh) menjadi saksi bisu dari arus zaman yang menggerus jiwa dan kenangan.
Pada bagian selanjutnya, penyair mencoba membangun kembali jembatan spiritual lewat simbol cinta: “Aku kirimkan matahari dan rembulan ke kamar cinta”, seolah mengatakan bahwa untuk memahami masa lalu, seseorang harus menggunakan hati, bukan sekadar akal.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah kerinduan terhadap nilai-nilai luhur masa lalu yang mulai pudar di zaman modern. Penyair menyiratkan bahwa kebesaran Aceh bukan hanya terletak pada kisah para rajanya, tetapi juga pada kedalaman rohani dan budaya masyarakatnya. Namun, seiring berjalannya waktu, makna itu terkubur dalam batu berlumut—dilupakan oleh generasi yang tidak lagi mampu “memahami kisah”.
Sulaiman Juned mengajak pembaca untuk merenung: bagaimana mungkin kita memahami masa depan jika kita tak mampu menafsirkan masa lalu?
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini terasa melankolis, kontemplatif, dan spiritual. Nada lirih tampak sejak awal, menggambarkan kebingungan dan kehilangan arah. Pengulangan frasa “Tak mampu memahami kisah para raja” memperkuat rasa keterasingan batin penyair di tengah runtuhan sejarah.
Namun, di akhir puisi muncul percikan spiritualitas yang hangat—“Aku kirimkan matahari dan rembulan ke kamar cinta”—sebuah metafora untuk cahaya kesadaran dan cinta yang bisa menerangi kegelapan batin.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat yang disampaikan dalam puisi ini adalah pentingnya memahami sejarah dan menjaga nilai-nilai budaya sebagai bagian dari jati diri. Sulaiman Juned mengingatkan bahwa kebesaran masa lalu bukan untuk disembah, melainkan untuk direnungkan dan dijadikan cermin kehidupan.
Selain itu, penyair juga menyampaikan pesan spiritual: hanya dengan cinta dan kesadaran batin, manusia bisa kembali menemukan hubungan sejatinya dengan sejarah dan Tuhannya.
Imaji
Puisi ini dipenuhi imaji visual dan emosional yang kuat dan khas Aceh:
- “Batu berlumut” menciptakan gambaran visual tentang peninggalan sejarah yang terlupakan, diam namun masih menyimpan cerita.
- “Riak Krueng Aceh” memunculkan imaji suara air sungai yang mengalir, menjadi metafora waktu yang terus berjalan tanpa henti.
- “Matahari dan rembulan di kamar cinta” memberikan imaji cahaya dan kehangatan, menandakan harapan, cinta, dan pencarian spiritual yang suci.
Imaji-imaji ini menghadirkan lanskap puitik yang indah antara alam, sejarah, dan perasaan manusia.
Majas
Sulaiman Juned menggunakan berbagai majas (gaya bahasa) yang memperkaya kedalaman makna puisi ini:
- Repetisi – Pengulangan baris “Tak / mampu memahami kisah para raja” menegaskan kebingungan eksistensial dan kehilangan makna sejarah.
- Metafora – “Batu berlumut” sebagai simbol dari sejarah yang tertutup waktu dan dilupakan manusia.
- Personifikasi – “Jiwa tergerus riak Krueng Aceh” menggambarkan sungai seolah memiliki kekuatan untuk mengikis jiwa manusia.
- Simbolisme – “Matahari dan rembulan di kamar cinta” melambangkan keseimbangan, harmoni, dan pencerahan spiritual.
- Interjeksi – “Ah!” di akhir puisi menandakan letupan emosi: bisa berupa kepasrahan, kesadaran, atau keputusasaan mendalam.
Majas-majas tersebut tidak hanya memperindah bunyi, tetapi juga memperdalam makna batin dari setiap citra yang diciptakan.
Puisi “Kutaraja” karya Sulaiman Juned adalah renungan lirih tentang lupa dan pencarian makna di tengah sejarah yang membisu.
Dengan bahasa sederhana namun sarat simbol, penyair mengajak pembaca menyusuri jejak Aceh yang megah sekaligus rapuh—tempat di mana batu, sungai, dan cahaya menjadi saksi perjalanan manusia memahami dirinya.
Melalui tema sejarah dan spiritualitas, makna tersirat yang mendalam, serta imaji dan majas yang kuat, puisi ini berdiri sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan budaya Aceh dan pencarian batin manusia universal: bagaimana memahami masa lalu untuk menemukan kembali cahaya di kamar cinta kehidupan.
Karya: Sulaiman Juned