Mimpi Buruk
Pekik mengusik sunyi
Pilu dan gundah menyayat menusuk sukma
Kini waktu terasa hamba
Dan hari seperti mati
Aku tak percaya
Namun semuanya nyata
Ragaku tak berdaya
Mata jadi saksi
Fakta telah bicara
Apalah daya
Jiwa seperti terpaksa
Aku menangis
Karena tak percaya melihat semua itu
Aku marah tapi malah percuma
Hingga waktu berbalik
Aku sadar kalau hidup hanya sementara
Analisis Puisi:
Puisi “Mimpi Buruk” karya Lalik Kongkar merupakan cerminan kesedihan mendalam yang muncul dari kenyataan pahit hidup. Dengan diksi yang sederhana namun emosional, penyair menghadirkan pengalaman batin seseorang yang terguncang oleh kejadian tak terduga — sesuatu yang terasa seperti mimpi, tetapi justru merupakan kenyataan yang paling menyakitkan.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kesedihan dan keterkejutan terhadap kenyataan pahit kehidupan. Lalik Kongkar menggunakan judul “Mimpi Buruk” sebagai simbol dari pengalaman hidup yang menakutkan, menyedihkan, dan sulit diterima. Meski disebut mimpi, peristiwa dalam puisi justru nyata, sehingga menghadirkan benturan antara harapan dan kenyataan yang tragis.
Tema ini mencerminkan kondisi psikologis seseorang yang berhadapan dengan kehilangan, penderitaan, atau kenyataan yang menghancurkan keyakinannya terhadap hidup.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang sedang menghadapi peristiwa tragis yang sulit diterima oleh hati dan pikirannya. Ia merasa seperti berada dalam mimpi yang menakutkan, namun semua itu ternyata benar-benar terjadi.
Baris pertama, “Pekik mengusik sunyi”, langsung membuka suasana dengan gambaran suara jeritan atau tangisan yang memecah keheningan. Suara itu menjadi pertanda bencana batin yang dialami penyair. Selanjutnya, “Pilu dan gundah menyayat menusuk sukma” memperlihatkan betapa dalam luka emosional yang dirasakan.
Seiring berjalannya puisi, penyair menampilkan perasaan tidak percaya, lalu kesadaran yang datang perlahan — bahwa semuanya benar-benar terjadi, dan hidup ternyata rapuh. Di akhir puisi, penyair menutup dengan kesadaran universal: “Aku sadar kalau hidup hanya sementara.”
Dengan demikian, puisi ini menggambarkan perjalanan emosional dari penolakan terhadap kenyataan menuju penerimaan, meski dengan air mata dan kesadaran pahit.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah kesadaran manusia akan kefanaan hidup dan ketidakberdayaan di hadapan takdir. Melalui kata-kata seperti “ragaku tak berdaya” dan “jiwa seperti terpaksa”, penyair mengungkapkan betapa lemahnya manusia dalam menghadapi kenyataan yang tak diinginkan.
Ada pula makna spiritual yang mendalam: manusia sering kali tidak siap menerima kenyataan pahit, tetapi justru dari penderitaan itu muncul kesadaran bahwa hidup hanyalah sementara. Mimpi buruk dalam puisi bukan hanya gambaran peristiwa sedih, tetapi juga metafora perjalanan batin menuju pemahaman tentang arti kehidupan dan kematian.
Selain itu, puisi ini juga mengandung pesan eksistensial — bahwa penderitaan merupakan bagian tak terelakkan dari hidup. Ia menguji keyakinan dan membuat manusia lebih sadar akan batas dirinya.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini gelap, mencekam, dan penuh kesedihan. Kata-kata seperti “pekik,” “pilu,” “gundah,” “ragaku tak berdaya,” dan “aku menangis” menciptakan atmosfer duka yang pekat. Pembaca seolah ikut merasakan kekacauan batin tokoh lirik — antara tidak percaya dan pasrah, antara marah dan lemah.
Namun di akhir puisi, suasana tersebut perlahan berubah menjadi suasana pasrah dan reflektif. Ada pergeseran dari ledakan emosi menuju kesadaran yang tenang: bahwa segala penderitaan membawa kita pada pemahaman bahwa hidup tidak abadi.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat yang disampaikan dalam puisi “Mimpi Buruk” adalah bahwa setiap manusia akan mengalami penderitaan dan kehilangan, namun semua itu harus diterima sebagai bagian dari kehidupan. Penyair ingin mengingatkan bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai keinginan, dan dalam setiap kesedihan terkandung pelajaran tentang arti keberadaan. Saat semua terasa seperti mimpi buruk, manusia diajak untuk menyadari bahwa waktu dan hidup bersifat sementara, dan yang kekal hanyalah kesadaran akan makna itu sendiri.
Pesan lainnya adalah tentang kerendahan hati di hadapan takdir. Tidak ada yang bisa melawan kenyataan hidup, tetapi penerimaan yang tulus dapat mengubah penderitaan menjadi kebijaksanaan.
Imaji
Puisi ini sarat dengan imaji pendengaran, perasaan, dan penglihatan yang memperkuat suasana duka:
- “Pekik mengusik sunyi” → imaji pendengaran, menciptakan kesan terkejut dan mencekam.
- “Pilu dan gundah menyayat menusuk sukma” → imaji perasaan yang menggambarkan rasa sakit batin mendalam.
- “Ragaku tak berdaya, mata jadi saksi” → imaji penglihatan dan tubuh, menandakan keterkejutan dan ketidakberdayaan manusia.
- “Aku menangis” → imaji emosi yang jujur, menampilkan kesedihan yang manusiawi.
Imaji-imaji tersebut membawa pembaca masuk ke dalam pengalaman batin tokoh lirik, seolah turut menyaksikan tragedi yang sedang terjadi.
Majas
Lalik Kongkar menggunakan beberapa majas (gaya bahasa) yang memperindah sekaligus memperkuat makna emosional puisi:
- Personifikasi – “Pilu dan gundah menyayat menusuk sukma” memberi sifat aktif pada perasaan, seolah mereka bisa melukai.
- Metafora – “Kini waktu terasa hamba” memaknai waktu sebagai sosok yang lemah dan tak berdaya, menggambarkan kehampaan hidup.
- Hiperbola – “Fakta telah bicara” digunakan untuk menekankan bahwa kenyataan sudah tak bisa dibantah, seberapa pun pahitnya.
- Repetisi – Pengulangan kata “aku” di beberapa baris memperkuat kesan introspektif dan tekanan batin.
- Simbolisme – “Mimpi buruk” menjadi simbol penderitaan, kehilangan, atau tragedi yang mengguncang jiwa.
Puisi “Mimpi Buruk” karya Lalik Kongkar adalah potret batin manusia yang terkejut dan terpukul oleh kenyataan hidup yang pahit. Dengan gaya bahasa yang lugas dan emosional, penyair menggambarkan proses batin dari keterkejutan, kesedihan, hingga penerimaan.
Tema kesedihan dan kefanaan hidup dibangun melalui imaji kuat dan majas yang mempertegas rasa kehilangan. Suasana muram yang mendominasi perlahan bergeser menuju perenungan spiritual tentang hidup yang sementara.
Puisi ini menyampaikan bahwa hidup, seindah apa pun, tetap akan diakhiri oleh kenyataan bahwa segalanya bersifat sementara. Dalam “mimpi buruk” yang dialami manusia, justru tersimpan pelajaran berharga tentang bagaimana menerima dan memahami arti kehidupan itu sendiri.
Karya: Lalik Kongkar
Biodata Lalik Kongkar:
- Lalik Kongkar. Pemerhati Pembangunan Desa, Minat Kajian Politik, Filsafat dan Sastra.
