Resonansi Jiwa
Ada getaran lembut saat mata itu bertemu
di ujung senja yang kita asuh dengan rasa
Di meja masih ada sisa kopi,
remah pisang keju
yang tak lagi banyak bicara—
seperti percakapan dua pasang mata
Aku yang terdampar lama di dasar cangkir,
akankah ada kehangatan menyiram lagi
di sisa kopi ini?
Kita saling diam,
namun diam itu justru paling bercerita—
seperti dua cangkir yang sama-sama
menahan hangat terakhirnya.
Mungkin engkau juga,
di sudut matamu kulihat
banyak kisah-kisah
yang tak kalah perih dariku.
Ah, senja semakin memancing rasaku;
resonansi yang kau cipta
menumbuhkan sesuatu yang tak bernama.
Jika ini kebenaran
yang kita asuh dari tatapan,
masih adakah keberanian kita
mengawali sesuatu
dari reruntuhan?
Babakan Ciparay, 5 November 2025
Analisis Puisi:
Puisi “Resonansi Jiwa” karya Rizal De Loesie memiliki tema tentang perasaan yang tumbuh dalam keheningan dan sisa kenangan. Penyair menggambarkan bagaimana dua jiwa yang pernah atau sedang terhubung, saling berbicara melalui tatapan, tanpa perlu kata-kata.
Tema ini mengandung dimensi romantis sekaligus melankolis, di mana cinta, rindu, dan luka masa lalu berpadu dalam satu ruang batin yang sunyi namun bergetar lembut. “Resonansi” di sini melambangkan getaran emosional dua hati yang saling merasakan, meski tanpa keberanian untuk mengucap atau memulai sesuatu yang baru.
Puisi ini bercerita tentang pertemuan dua orang yang memiliki hubungan batin kuat, tetapi terhalang oleh masa lalu atau situasi yang tak memungkinkan. Mereka duduk berhadapan, ditemani sisa kopi dan remah pisang keju — simbol sisa kenangan dan kehangatan yang mulai pudar.
Penyair menulis, “Aku yang terdampar lama di dasar cangkir,” sebagai bentuk metafora tentang perasaan yang tertinggal dan tak tersampaikan. Ada harapan kecil yang masih hidup — pertanyaan apakah kehangatan itu akan kembali atau hanya tinggal kenangan.
Keduanya saling diam, tapi keheningan itu justru penuh makna. Diam menjadi bentuk komunikasi paling jujur antara dua hati yang sama-sama pernah terluka. Hingga di akhir puisi, muncul pertanyaan reflektif: “Masih adakah keberanian kita mengawali sesuatu dari reruntuhan?” — yang menandakan keraguan antara melanjutkan rasa atau melepaskan sepenuhnya.
Makna tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini adalah tentang cinta yang belum usai dan keberanian untuk menghadapi masa lalu. Penyair ingin menunjukkan bahwa hubungan manusia tidak selalu berakhir karena kebencian, tetapi kadang karena ketakutan untuk memulai lagi setelah hancur.
Ada pesan tentang resonansi emosional — bahwa perasaan bisa tetap terhubung meski tanpa kata, bahwa diam pun bisa bercerita lebih dalam daripada dialog panjang.
Makna lainnya adalah tentang kerentanan jiwa manusia di hadapan kenangan. Dua orang yang saling memahami tapi ragu untuk melangkah menggambarkan dilema universal: antara ingin mempertahankan hangatnya cinta atau menerima dinginnya kenyataan.
Dengan kata lain, puisi ini berbicara tentang kerinduan yang menolak mati, tetapi juga kesadaran bahwa waktu dan luka telah mengubah segalanya.
Suasana dalam puisi
Suasana dalam puisi “Resonansi Jiwa” terasa hening, lembut, dan melankolis. Penyair menggunakan nuansa senja, kopi, dan diam untuk membangun atmosfer tenang namun sarat emosi.
Senja menjadi simbol waktu peralihan — antara terang dan gelap, antara dulu dan kini — sejalan dengan perasaan tokoh yang berada di batas antara cinta dan kehilangan.
Keheningan yang digambarkan bukan kosong, melainkan penuh resonansi batin. Suasana ini mengajak pembaca merenung, menelusuri kedalaman rasa yang sering hadir tanpa kata.
Amanat / Pesan yang disampaikan
Amanat yang tersirat dari puisi ini adalah bahwa tidak semua perasaan harus diucapkan, tetapi harus diakui keberadaannya. Kadang keheningan menjadi bentuk komunikasi yang paling jujur.
Penyair juga menyampaikan pesan tentang keberanian untuk memulai kembali. Meski masa lalu meninggalkan luka, masih ada kemungkinan membangun sesuatu yang baru dari “reruntuhan.”
Selain itu, puisi ini mengingatkan pembaca untuk menghargai keindahan dalam kesunyian, bahwa cinta sejati tidak selalu berbentuk kepemilikan, melainkan getaran lembut yang saling memahami tanpa perlu banyak kata.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji visual dan perasa (imaji taktil dan emosional) yang membuat suasananya hidup:
- Imaji visual: “Di meja masih ada sisa kopi, remah pisang keju” — menggambarkan detail nyata yang membawa pembaca ke ruang pertemuan sederhana namun penuh makna.
- Imaji taktil: “Aku yang terdampar lama di dasar cangkir” — menimbulkan sensasi kehangatan yang tersisa dan perasaan terjebak dalam kenangan.
- Imaji emosional: “Kita saling diam, namun diam itu justru paling bercerita.” — menghadirkan rasa sunyi yang dalam, menggugah emosi pembaca untuk ikut merasakan resonansi perasaan dua tokoh dalam puisi.
Melalui imaji sederhana namun tajam ini, penyair berhasil menghadirkan suasana yang intim dan reflektif, seolah pembaca sedang duduk di meja yang sama, menyaksikan percakapan diam itu berlangsung.
Majas
Beberapa majas yang memperindah puisi “Resonansi Jiwa” antara lain:
Majas metafora
- “Aku yang terdampar lama di dasar cangkir” → melambangkan seseorang yang tenggelam dalam kenangan atau perasaan masa lalu.
- “Resonansi yang kau cipta menumbuhkan sesuatu yang tak bernama” → menggambarkan perasaan halus yang tumbuh tanpa definisi, hasil dari getaran emosional di antara dua jiwa.
Majas personifikasi
- “Senja yang kita asuh dengan rasa” → senja diperlakukan seolah sesuatu yang bisa diasuh, menandakan keintiman dan kehangatan waktu.
Majas simile (perbandingan eksplisit)
- “Seperti dua cangkir yang sama-sama menahan hangat terakhirnya” → membandingkan dua manusia dengan dua cangkir kopi yang sama-sama mulai dingin, simbol perasaan yang menunggu kepastian.
Majas simbolik
- Cangkir dan kopi menjadi simbol dari rasa, kehangatan, dan kenangan. Sisa kopi yang tinggal sedikit melambangkan sisa hubungan yang belum tuntas, masih ada hangat, tapi tidak seperti dulu.
Penggunaan majas ini membuat puisi terasa hidup dan lembut, menonjolkan keindahan bahasa yang berpadu dengan kedalaman makna.
Puisi “Resonansi Jiwa” karya Rizal De Loesie merupakan refleksi mendalam tentang cinta yang tertinggal dalam keheningan. Penyair menghadirkan suasana pertemuan dua hati yang masih saling memahami, namun terpenjara oleh masa lalu dan keraguan.
Puisi ini menyentuh sisi lembut manusia — bahwa di balik setiap diam, mungkin ada cerita panjang; di balik setiap tatapan, mungkin ada resonansi jiwa yang tak bisa diabaikan.
Karya: Rizal De Loesie
Biodata Rizal De Loesie:
- Rizal De Loesie (nama pena dari Drs. Yufrizal, M.M) adalah seorang ASN Pemerintah Kota Bandung. Penulis puisi, cerpen dan artikel pendidikan. Telah menerbitkan beberapa buku puisi solo dan puisi antologi bersama, serta cerita pendek.