Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Ruas Peristiwa (Karya Joshua Igho)

Puisi “Ruas Peristiwa” karya Joshua Igho mengajarkan kita bahwa hidup adalah rangkaian peristiwa yang harus diterima dengan penuh kesadaran —
Ruas Peristiwa

Jangan coba meringkas peristiwaku
engkau tak berhak atas itu
karena aku ingin menancapkan
ruas-ruasnya pada setiap kelokan jalan
yang pernah menggelincirkanku,
melinangkan air mataku,
di sedih-sukaku.

Kau hanya bagian terakhir
dari seluruh peristiwa
meski kini kaukuasai sepenuh hidupku
maka jangan kaurantai keinginanku
jika sewaktu-waktu
aku memetik senja yang sedih
dan masuk ke lorong sunyiku.

Tetap bertahtalah kau, di waktuku kini
sebab engkau, mahkota yang datang
saat aku sudah tak punya mimpi.

2014

Analisis Puisi:

Puisi “Ruas Peristiwa” karya Joshua Igho merupakan karya yang penuh refleksi dan perenungan batin. Penyair seolah menuturkan kisah tentang perjalanan hidup yang telah ditempuh dengan segala luka, tawa, dan kenangan yang membentuk dirinya. Melalui pilihan kata yang lembut namun kuat, puisi ini menyentuh sisi eksistensial manusia — tentang hak untuk memiliki dan mengingat masa lalu, tentang cinta yang datang di waktu yang terlambat, dan tentang pergulatan antara kebebasan diri dengan ikatan perasaan.

Tema

Tema utama puisi “Ruas Peristiwa” adalah perjalanan hidup dan pergulatan batin seseorang dalam menghadapi masa lalu serta kehadiran cinta di waktu yang rapuh. Penyair menegaskan bahwa setiap peristiwa, baik suka maupun duka, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri seseorang. Ia menolak ketika ada orang lain yang mencoba “meringkas” atau menyederhanakan pengalaman hidupnya, sebab setiap ruas pengalaman memiliki maknanya sendiri.

Tema ini juga menyentuh persoalan kemandirian jiwa dan kebebasan batin, di mana sang aku liris ingin mempertahankan hak atas ingatan dan luka-lukanya tanpa dikendalikan oleh kehadiran orang lain, sekalipun orang itu sangat berarti baginya.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang menegaskan haknya untuk mempertahankan seluruh kenangan dan pengalaman hidupnya, meskipun kini ia memiliki seseorang yang menguasai hatinya.
Aku liris berkata:

“Jangan coba meringkas peristiwaku
engkau tak berhak atas itu”

Kata-kata ini menunjukkan semangat untuk melindungi integritas diri, bahwa tidak ada satu pun orang yang boleh menilai atau menyederhanakan kisah hidupnya. Ia ingin menancapkan “ruas-ruas peristiwa” di setiap jalan yang pernah membuatnya jatuh dan menangis.

Bagian berikutnya menampilkan suasana yang lebih personal dan melankolis. Muncul sosok “kau” — seseorang yang kini hadir dalam hidup sang aku liris. Namun, kehadiran sosok itu tidak sepenuhnya membebaskan, karena ada rasa takut kehilangan kebebasan diri.

“maka jangan kaurantai keinginanku
jika sewaktu-waktu
aku memetik senja yang sedih
dan masuk ke lorong sunyiku.”

Baris-baris tersebut menunjukkan bahwa sang aku liris masih membutuhkan ruang sunyi untuk dirinya sendiri. Meskipun ia mencintai, ia tetap ingin bebas mengenang masa lalu, bahkan menyesapi kesedihan tanpa dikekang.

Bagian penutup memberi nada pasrah sekaligus penghargaan:

“Tetap bertahtalah kau, di waktuku kini
sebab engkau, mahkota yang datang
saat aku sudah tak punya mimpi.”

Di sini, cinta digambarkan sebagai hadiah yang datang di akhir perjalanan, ketika harapan nyaris padam. Sosok “kau” menjadi lambang penerimaan dan penenang, bukan awal dari petualangan baru.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah tentang kebebasan individu dalam mencintai dan mengenang. Penyair ingin mengatakan bahwa dalam cinta, seseorang tetap berhak memiliki masa lalu dan ruang batin yang tidak boleh dihapuskan. Tidak ada cinta yang boleh memenjarakan kebebasan personal seseorang.

Baris “engkau tak berhak atas itu” dan “jangan kaurantai keinginanku” mencerminkan sikap pemberontakan lembut terhadap dominasi emosional. Aku liris mengakui cinta, tetapi juga menegaskan bahwa dirinya terbentuk dari banyak peristiwa — dari luka, tangis, dan kegagalan — yang semuanya sah untuk diingat.

Selain itu, puisi ini juga menyiratkan perenungan eksistensial tentang waktu dan kehilangan. Sosok “kau” yang datang di akhir disebut sebagai “mahkota yang datang saat aku sudah tak punya mimpi”, menunjukkan bahwa cinta di sini hadir bukan untuk membangun masa depan, melainkan sebagai penghiburan terakhir bagi jiwa yang lelah.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah melankolis, reflektif, dan tenang. Ada rasa kesedihan yang lembut namun penuh penerimaan. Penyair tidak menjerit, tidak meratap, tetapi berbicara dengan nada damai tentang luka dan cinta.

Gaya tutur yang lembut memperkuat kesan kontemplatif — seolah penyair sedang berbicara kepada seseorang yang sangat dekat, dengan suara lirih di tengah senja. Suasana ini membawa pembaca masuk ke dunia batin yang penuh kenangan, sepi, dan kedewasaan emosional.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang disampaikan puisi ini adalah bahwa setiap manusia berhak menjaga dan menghormati peristiwa hidupnya sendiri, termasuk luka-lukanya. Tidak ada seorang pun yang berhak menghapus, menafsir, atau menguasai seluruh bagian dari diri orang lain, bahkan dalam hubungan cinta sekalipun.

Puisi ini juga menyampaikan bahwa cinta sejati bukanlah pengekangan, melainkan penerimaan. Sosok “kau” harus tetap bertahta di hati, tetapi tidak boleh merantai kebebasan seseorang untuk tetap menjadi dirinya sendiri.

Pesan lain yang tersirat adalah pentingnya berdamai dengan masa lalu. Luka dan kegagalan bukan sesuatu yang harus dihapus, melainkan dirangkul sebagai bagian dari perjalanan menuju kebijaksanaan hidup.

Imaji

Joshua Igho menggunakan imaji yang sangat kuat dan puitis untuk membangun makna emosional dalam puisi ini.
  • “Ruas-ruasnya pada setiap kelokan jalan” menghadirkan imaji visual perjalanan panjang kehidupan, penuh liku dan cobaan.
  • “memetik senja yang sedih dan masuk ke lorong sunyiku” melahirkan imaji suasana — menghadirkan gambaran seseorang yang memilih menepi, memasuki kesunyian batin.
  • “mahkota yang datang saat aku sudah tak punya mimpi” adalah imaji simbolik yang sangat kuat: menggambarkan cinta yang datang sebagai penghormatan terakhir pada jiwa yang nyaris kehilangan harapan.
Imaji dalam puisi ini bukan sekadar visual, tetapi juga emosional. Ia memancarkan rasa kehilangan, kelelahan, dan ketenangan dalam satu tarikan napas.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi “Ruas Peristiwa” memperkuat nilai estetika dan kedalaman maknanya:

Metafora
  • “Ruas-ruasnya pada setiap kelokan jalan” adalah metafora dari kenangan dan pengalaman hidup.
  • “Mahkota yang datang saat aku sudah tak punya mimpi” adalah metafora dari cinta yang menjadi penghibur di masa senja kehidupan.
Personifikasi
  • “Jangan coba meringkas peristiwaku” memberikan sifat manusiawi pada “peristiwa”, seolah ia sesuatu yang hidup dan tak boleh diperlakukan sembarangan.
Hiperbola
  • “Engkau kuasai sepenuh hidupku” adalah bentuk hiperbola yang menekankan betapa besar pengaruh sosok “kau” dalam hidup aku liris.
Simbolisme
  • “Senja” dan “lorong sunyi” menjadi simbol dari masa tua, kehilangan semangat, atau perenungan menjelang akhir perjalanan hidup.
Puisi “Ruas Peristiwa” karya Joshua Igho adalah sebuah refleksi mendalam tentang perjalanan hidup, cinta, dan kebebasan batin. Penyair menolak untuk membiarkan orang lain menyederhanakan kisah hidupnya karena setiap peristiwa memiliki nilai tersendiri. Puisi mengajarkan kita bahwa hidup adalah rangkaian peristiwa yang harus diterima dengan penuh kesadaran — karena dari luka, kenangan, dan cinta yang datang terlambat, kita belajar menjadi manusia yang utuh.

"Puisi Joshua Igho"
Puisi: Ruas Peristiwa
Karya: Joshua Igho
© Sepenuhnya. All rights reserved.