Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Seekor Sufi (Karya Sides Sudyarto D. S.)

Puisi “Seekor Sufi” karya Sides Sudyarto D. S. bercerita tentang seseorang yang didatangi makhluk simbolis bernama “Sufi”, yang muncul dari pahanya—
Seekor Sufi

Seekor binatang yang menamakan dirinya Sufi,
Terbit dari ketiak pahaku yang sebelah kiri.
Ia memaki namaku yang menghardik siang malam:
Bukankah aku kebijaksanaan yang bertahta dalam diam?

Ragaku tersenyum. Otakku marah oleh hawa panas.
Tetapi hatiku teduh, rasaku lembut bertutur ramah:
Kau memang nenek moyang kebijaksanaan
Tetapi bumi yang becek darah tidak memerlukan kebisuan.

Sufi itu meminta lagi, berteduh di pahaku:
Biarkan aku tetap menghuni ragamu. Untukmu sendiri
Aku ingin mengusirnya segera. Tetapi jiwaku berkata:
Boleh.
Tetapi tiada tempat lagi untuk nilai-nilai yang bisu.

Sumber: Sajak-Sajak Tiang Gantungan (2002)

Analisis Puisi:

Puisi “Seekor Sufi” karya Sides Sudyarto D. S. merupakan salah satu teks puitik yang kaya simbol, menggabungkan unsur sufistik, pergulatan batin, dan kritik sosial. Puisi ini menghadirkan figur “seekor binatang” yang mengaku sebagai Sufi—sebuah personifikasi kebijaksanaan yang lahir dari tubuh manusia, lalu menantang nilai-nilai moral yang pasif di tengah dunia yang rumit.

Tema

Tema utama puisi ini adalah pergulatan batin antara kebijaksanaan spiritual dan tuntutan realitas sosial. Ada benturan antara nilai sufistik yang cenderung diam, pasif, dan kontemplatif dengan kenyataan dunia yang “becek darah”, dunia penuh kekerasan, ketidakadilan, dan problem manusia modern.

Tema tambahan yang juga hadir:
  • Benturan antara idealisme dan tindakan nyata
  • Pertentangan antara jiwa, raga, dan akal
  • Pencarian nilai hidup yang lebih relevan bagi kemanusiaan
Puisi ini bercerita tentang seorang aku lirik yang didatangi makhluk simbolis bernama “Sufi”, yang muncul dari pahanya—menandakan kedekatan, keintiman, bahkan kelahiran dari dirinya. Makhluk itu mengklaim sebagai kebijaksanaan diam, yang merasa layak menjadi penuntun moral.

Namun sang aku lirik menyadari bahwa kebijaksanaan yang pasif saja tidak cukup menghadapi dunia yang keras. Ia menghadapi dilema: apakah harus membiarkan nilai-nilai “Sufi yang pasif” tinggal dalam dirinya atau menolaknya karena dunia membutuhkan aksi, bukan sekadar diam.

Makna Tersirat

Makna tersirat puisi ini cukup dalam dan penuh sindiran:
  1. Kritik terhadap kebijaksanaan yang hanya diam. Sufi sebagai simbol kebijaksanaan tradisional sering diasosiasikan sebagai sosok yang berdiam diri, penuh kontemplasi. Namun realitas sosial yang “becek darah” menuntut aksi, perlawanan, atau setidaknya keberpihakan moral yang tidak hanya bersifat pasif.
  2. Konflik internal manusia modern. Puisi ini menggambarkan manusia yang terpecah: raga tersenyum (menerima kehadiran Sufi), otak marah (merasa tak logis atau tak relevan), dan hati teduh (menerima dengan kelembutan). Konflik antara akal, tubuh, dan hati ditampilkan secara halus, memperlihatkan kompleksitas cara manusia memaknai kebijaksanaan.
  3. Refleksi tentang relevansi nilai lama. Puisi ini seolah bertanya: “Apakah nilai-nilai lama yang pasif masih relevan di dunia yang memerlukan keberanian, suara, dan tindakan?”
  4. Kebijaksanaan harus aktif. Sang aku lirik mengatakan “tidak ada tempat lagi untuk nilai-nilai yang bisu.” Ini menegaskan bahwa kebijaksanaan harus bersuara, harus menolak ketidakadilan, harus hidup dan bergerak, bukan hanya merenung.

Suasana dalam puisi

Suasana puisi dirasakan sebagai:
  • surreal (karena ada binatang sufi yang lahir dari paha)
  • tegang (konflik antara jiwa dan makhluk simbolis)
  • introspektif (renungan mendalam tentang nilai hidup)
  • menggugat (kritik halus terhadap sikap pasif)
Suasana berubah-ubah antara kehangatan hati, kemarahan pikiran, dan ketegangan moral yang penuh pertanyaan.

Amanat / Pesan yang disampaikan

Jika ditarik amanatnya, puisi ini menyampaikan pesan bahwa:
  • Kebijaksanaan tidak boleh diam. Dalam dunia yang brutal dan penuh ketidakadilan, kebijaksanaan yang hanya merenung tanpa tindakan menjadi tidak relevan.
  • Nilai-nilai lama harus dievaluasi. Kita perlu menguji kembali apakah nilai yang diwariskan masih layak dipertahankan atau perlu diperbarui.
  • Konflik batin adalah bagian dari proses kedewasaan. Aku lirik menerima Sufi, tetapi juga mengkritiknya. Ini menunjukkan bahwa manusia harus matang dalam memilah nilai yang membentuk jiwanya.
  • Hati tetap menjadi ruang moral paling menentukan. Keputusan penting diambil oleh “jiwa”, bukan raga atau otak. Hati adalah pusat kebijaksanaan yang hidup.

Imaji dalam puisi

Beberapa imaji menonjol dalam puisi:
  • “Seekor binatang yang menamakan dirinya Sufi” Imaji grotesk sekaligus filosofis.
  • “Terbit dari ketiak pahaku yang sebelah kiri” Imaji biologis, intim, dan simbolis (kelahiran dari tubuh sendiri).
  • “Bumi yang becek darah” Imaji kuat tentang kekerasan dan realitas tragis dunia.
Imaji-imaji ini memperkuat dimensi simbolis sekaligus dramatik puisi.

Majas dalam puisi

Beberapa majas yang menonjol:

Personifikasi
  • Binatang yang “menamakan dirinya Sufi”
  • Hati yang bertutur ramah
Metafora
  • Sufi sebagai lambang kebijaksanaan tradisional
  • “Bumi yang becek darah” sebagai metafora dunia yang penuh kekerasan
Paradoks
  • Raga tersenyum, otak marah, hati teduh — tiga kondisi emosional yang kontras dalam satu diri.
Simbolisme
  • Seluruh puisi sarat simbol, terutama Sufi sebagai simbol kebijaksanaan yang harus dikritisi.
Puisi “Seekor Sufi” adalah puisi yang tajam dan penuh kritik. Sides Sudyarto D. S. mampu menyusun gambaran yang ganjil namun kuat untuk menunjukkan betapa manusia modern sering terjebak antara kebijaksanaan pasif dan kebutuhan untuk bertindak dalam dunia yang keras. Melalui perpaduan imaji surreal, majas simbolik, dan percakapan batin yang intens, puisi ini menjadi refleksi mendalam tentang nilai apa yang benar-benar harus kita pertahankan di tengah realitas.

Puisi Seekor Sufi
Puisi: Seekor Sufi
Karya: Sides Sudyarto D. S.

Biodata Sides Sudyarto D. S.:
  • Sudiharto lahir di Tegal, Jawa Tengah, pada tanggal 14 Juli 1942.
  • Sudiharto meninggal dunia di Jakarta, pada tanggal 14 Oktober 2012.
  • Sudiharto menggunakan nama pena Sides Sudyarto D. S. (Sides = Seniman Desa. huruf D = nama ibu, yaitu Djaiyah. huruf S = nama ayah, yaitu Soedarno).
© Sepenuhnya. All rights reserved.