Sorot Merah Putih
kepada Tuan tolong pantau lahan kami
sebentar lagi dijarah para penukar janji
tak ada kata permisi atau transaksi
Pancasila terbungkus rayuan pejabat
jurus ampuh menaklukkan rakyat
sudah bertahun-tahun tanpa eksekusi
dalam angan terjepit
harapan menjerit
kebijakan, memporak-porandakan rasa sakit
Dilema negeriku
yang turun-temurun
membawa segudang luka berdalih pencapaian bangsa
sorot media menjadi saksi
aku masih dipenjarakan sunyi
Purwakarta, 14 November 2025
Analisis Puisi:
Puisi “Sorot Merah Putih” karya Dzakwan Ali merupakan kritik sosial yang kuat terhadap realitas ketidakadilan, penyalahgunaan kekuasaan, dan ironi nasionalisme yang tidak lagi berpihak pada rakyat kecil. Melalui bahasa yang lugas namun sarat simbol, penyair membawa pembaca masuk ke dalam potret sebuah negeri yang idealnya menjunjung nilai Pancasila, tetapi dalam praktiknya justru dipenuhi luka, konflik kepentingan, dan rakyat yang terpinggirkan.
Puisi ini bukan hanya keluh-kesah, melainkan rekaman batin mereka yang hidup dalam cengkraman janji kosong dan kebijakan yang melukai. Ada kepedihan, tetapi juga keberanian untuk menyuarakan ketimpangan.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kritik sosial dan kegagalan negara dalam melindungi rakyatnya, terutama terkait perampasan tanah, janji politik yang diingkari, dan rusaknya nilai Pancasila. Tema tambahan meliputi ketidakadilan struktural, penindasan, dan suara rakyat kecil yang terabaikan.
Puisi ini bercerita tentang keresahan seorang rakyat kecil yang tanahnya hendak dijarah oleh pihak berkuasa atau oleh kelompok yang memanfaatkan kedekatan dengan pejabat. Mereka merampas tanpa “permisi” dan tanpa “transaksi”, sebuah simbol bahwa hukum dan keadilan tidak lagi menjadi pedoman.
Pihak yang seharusnya menjunjung Pancasila justru membungkusnya sebagai alat untuk merayu, menguasai, dan menaklukkan rakyat. Akibatnya, harapan yang telah lama digantung menjadi semakin terjepit. Kebijakan negara, alih-alih menolong, justru memperparah rasa sakit.
Pada akhirnya, rakyat hanya bisa melihat media memotret kerusakan, sementara dirinya tetap “dipenjarakan sunyi”—tidak terdengar, tidak diperhatikan, tidak dilindungi.
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini sangat kaya:
- Pancasila kehilangan fungsi moralnya. Ketika penyair menulis “Pancasila terbungkus rayuan pejabat”, itu menunjukkan betapa nilai luhur bangsa diperalat demi kepentingan kekuasaan. Pancasila tidak lagi hidup dalam perbuatan, hanya menjadi slogan.
- Tanah rakyat adalah simbol martabat. Perampasan tanah bukan sekadar konflik agraria; itu adalah penindasan terhadap identitas, ruang hidup, dan harga diri rakyat kecil.
- Kebijakan negara sering justru menambah penderitaan. Ada ironi pahit ketika kebijakan yang hadir untuk menyejahterakan—justru “memporak-porandakan rasa sakit”.
- Luka bangsa bersifat turun-temurun. Penyair menyinggung bahwa dilema negeri ini bukan hanya persoalan hari ini, tetapi telah diwariskan dari generasi ke generasi.
- Media hanya menyaksikan, tapi perubahan tak terjadi. “Sorot media menjadi saksi” mengisyaratkan bahwa publik tahu, kamera tahu, jurnalis tahu—tetapi keadilan tetap tidak bergerak.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi ini adalah gelap, getir, penuh kekecewaan, dan sarat protes batin. Ada rasa frustasi yang dalam, tetapi juga keberanian untuk bersuara. Nada puisinya keras namun jujur, mencerminkan rasa lelah seorang warga yang telah terlalu lama dirugikan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Beberapa amanat yang dapat ditangkap dari puisi ini:
- Pemerintah harus kembali pada nilai sejati Pancasila. Bukan sebagai alat retorika, tetapi sebagai dasar moral untuk melindungi rakyat.
- Tanah rakyat adalah hak yang harus dijaga, bukan dirampas.
- Janji politik dan kebijakan harus berpihak pada keadilan, bukan pada segelintir pemilik kepentingan.
- Media boleh menjadi saksi, tetapi perubahan membutuhkan keberanian kolektif.
- Rakyat kecil perlu didengarkan karena suara mereka adalah bagian dari suara bangsa.
Imaji
Puisi ini menggunakan imaji yang kuat dan mudah membangkitkan emosi:
- Imaji agraria: “pantau lahan kami”, “dijarah”, “tak ada permisi”. Menggambarkan konflik tanah secara visual dan konkret.
- Imaji politik: “rayuan pejabat”, “penukar janji”. Membentuk gambaran nyata tentang manipulasi kekuasaan.
- Imaji penderitaan: “harapan menjerit”, “aku masih dipenjarakan sunyi”. Menekankan luka psikologis dan batin rakyat kecil.
- Imaji bangsa: “Sorot Merah Putih”. Menunjukkan bahwa ironi ini berada di dalam konteks kebangsaan, bukan masalah personal.
Majas
Beberapa majas yang muncul dalam puisi ini antara lain:
Personifikasi
- “harapan menjerit”
- “kebijakan memporak-porandakan rasa sakit”
Memberi sifat manusia pada hal abstrak untuk menegaskan penderitaan.
Metafora
- “Sorot Merah Putih” sebagai representasi kondisi bangsa.
- “dipenjarakan sunyi” menggambarkan ketidakberdayaan dan invisibilitas rakyat.
Hiperbola
- “segudang luka” untuk menekankan betapa banyak penderitaan yang menumpuk.
Ironi
- Tokoh meminta “pantau lahan kami” pada “Tuan”, padahal justru “Tuan” yang memungkinkan penjarahan terjadi.
Puisi “Sorot Merah Putih” adalah potret getir tentang ketidakadilan yang terjadi di bawah cahaya bendera nasional. Dzakwan Ali menyampaikan kritik tajam melalui bahasa sederhana yang memotong langsung ke inti persoalan: bahwa rakyat kecil terus kehilangan ruang hidup sementara janji pembangunan terus dijadikan selimut penawar.
Melalui puisi ini, pembaca diajak untuk melihat ulang realitas bangsa dan menyadari bahwa kebangsaan sejati bukan terletak pada simbol, tetapi pada keadilan dan keberpihakan terhadap yang lemah.
Karya: Dzakwan Ali
Biodata Dzakwan Ali:
- Dzakwan Ali adalah penggagas komunitas Santri Menulis dan pendiri Latar Karya Temulawak. Ia pernah menjabat sebagai Duta Baca Kabupaten Indramayu 2023 serta terpilih sebagai Pemuda Pelopor bidang Seni dan Budaya Indramayu 2024–2025. Aktif sebagai pembaca puisi di berbagai acara, karya-karyanya bisa dijumpai di berbagai media, baik offline maupun online.
- Ia telah menerbitkan sejumlah buku, di antaranya Sejuta Rasa Cinta (J Maestro, Bandung, 2019), Berakit-rakit untuk Bangkit (Bookis, Medan, 2020), Sang Pengabdi (Boepedia, Bogor, 2020), dan Menapaki Jejak-Mu (Gapura Pustaka, Sumenep, 2021).
- Penyair bisa disapa di Instagram @pengedaraksara