Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Urat Pohon (Karya Tjahjono Widarmanto)

Puisi “Urat Pohon” karya Tjahjono Widarmanto bercerita tentang ajakan untuk bercermin pada urat pohon, yang dianggap sebagai "kitab terbuka" ...
Urat Pohon

berkacalah pada urat pohon
saat segala ranting dan daun
meninggalkan dahan
getah-getah akar yang dijemput kematian

urat-urat pohon adalah kitab yang terbuka
meriwayatkan hidup kita lahir dari rahim tanah
tumbuh dengan buah yang rimbun
namanya: usia!

semuanya menuju ke tanah
cahaya matahari seterang apapun tak sanggup menerangi
pelan-pelan segalanya terkubur diam
wajah-wajah tengadah tanpa nafas
mencari warna di uban rambutnya
lantas menyerahkannya pada malam

Sumber: Perbincangan Terakhir dengan Tuan Guru (2018)

Analisis Puisi:

Puisi “Urat Pohon” karya Tjahjono Widarmanto adalah puisi kontemplatif yang menghadirkan renungan tentang kehidupan, umur, dan kefanaan manusia melalui simbol-simbol alam. Dengan menjadikan pohon sebagai cermin kehidupan, penyair mengajak pembaca menengok perjalanan manusia dari lahir hingga kembali ke tanah. Meskipun sederhana secara struktur, puisi ini menyimpan kedalaman makna yang filosofis.

Tema

Puisi ini mengangkat tema tentang kefanaan hidup dan perjalanan manusia dari awal hingga akhir. Pohon menjadi metafora yang menuturkan bahwa kehidupan memiliki siklus yang pasti: tumbuh, menua, dan kembali ke asalnya. Tema lainnya yang muncul adalah:
  • Renungan tentang usia dan kematian;
  • Hubungan manusia dengan alam sebagai asal mula eksistensi;
  • Kesadaran akan keterbatasan hidup.
Puisi ini bercerita tentang ajakan untuk bercermin pada urat pohon, yang dianggap sebagai "kitab terbuka" kehidupan. Pohon—dari akar, ranting, hingga daun—melambangkan kehidupan manusia yang juga lahir dari rahim tanah, tumbuh dengan usia sebagai buahnya, lalu kembali ke tanah saat kematian menjemput.

Penyair menggambarkan bagaimana segala sesuatu akan kembali meredup, bahkan cahaya matahari tidak mampu mencegah proses alami menuju kesenyapan. Di akhir puisinya, tampak gambaran manusia yang mencari makna pada rambut yang memutih, sebelum akhirnya menyerah pada malam sebagai simbol akhir perjalanan.

Makna Tersirat

Beberapa makna tersirat yang terkandung dalam puisi ini antara lain:
  1. Hidup adalah proses yang tak bisa melawan kodrat. Seperti pohon, manusia tidak bisa menolak penuaan dan kematian.
  2. Alam adalah cermin kehidupan. Urat pohon menjadi simbol bahwa segala kisah manusia sudah tersurat dalam ritme alam.
  3. Kematian bukan akhir, tetapi kembali pulang. Larik “semuanya menuju ke tanah” menegaskan bahwa tanah adalah asal dan tujuan akhir.
  4. Usia adalah buah perjalanan. Bukan sekadar angka, usia adalah pertumbuhan spiritual dan pengalaman hidup.
  5. Malam adalah metafora dari kematian. Manusia menyerahkan diri kepada malam ketika tak mampu lagi melawan perjalanan waktu.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang hadir adalah suasana tenang, muram, dan reflektif.
  • Ada kesunyian yang lembut, seperti hening di hutan.
  • Tersirat suasana kontemplatif, mengajak pembaca menundukkan kepala dan menimbang hakikat hidup.
Pada bagian akhir, suasana berubah lebih gelap dan meluruh, menggambarkan kepasrahan manusia pada proses usia dan kematian.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Puisi ini memberikan beberapa amanat penting:
  1. Hargai setiap fase kehidupan karena semuanya sementara.
  2. Belajarlah dari alam tentang keteguhan, kesabaran, dan penerimaan.
  3. Kematian bukan sesuatu yang menakutkan, tetapi proses alami yang harus diterima.
  4. Usia adalah anugerah yang harus dirayakan, bukan disesali.
  5. Kita harus sadar bahwa hidup akan terus berjalan menuju akhir, sehingga makna hidup harus ditemukan selagi waktu masih ada.

Imaji dalam Puisi

Imaji yang muncul dalam puisi ini kuat dan simbolis:
  • “berkacalah pada urat pohon”. Imaji visual yang menghadirkan gambaran akar-akar pohon sebagai sesuatu yang dapat direnungi.
  • “ranting dan daun meninggalkan dahan”. Imaji musim gugur yang melambangkan penuaan dan kehilangan.
  • “rahim tanah”. Imaji metaforis tentang asal-usul kehidupan.
  • “wajah-wajah tengadah tanpa nafas”. Imaji kematian yang tenang dan menggetarkan sekaligus.
  • “mencari warna di uban rambutnya”. Imaji penuaan yang natural namun menyentuh.

Majas dalam Puisi

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini:
  • Metafora: Pohon sebagai simbol kehidupan manusia; “usia sebagai buah” juga merupakan metafora yang kuat.
  • Personifikasi: “urat pohon adalah kitab yang terbuka” memberi sifat manusiawi pada pohon.
  • Simbolisme: Tanah, malam, daun gugur, dan uban menjadi simbol pertumbuhan, kefanaan, dan kematian.
  • Hiperbola: Cahaya matahari “tak sanggup menerangi” bukan berarti literal, tetapi simbol bahwa kematian tak bisa dihentikan.
Puisi “Urat Pohon” karya Tjahjono Widarmanto adalah karya reflektif yang menggunakan simbol alam untuk menggambarkan perjalanan hidup manusia. Dengan tema kefanaan dan kedekatan manusia dengan alam, puisi ini bercerita tentang siklus kehidupan yang pasti berakhir di tanah. Lewat makna tersirat yang dalam, suasana kontemplatif, imaji alam yang kuat, serta majas simbolis yang indah, puisi ini mengajak pembaca merayakan hidup sambil menerima kenyataan bahwa setiap usia pada akhirnya menyerahkan diri kepada malam.

Tjahjono Widarmanto
Puisi: Urat Pohon
Karya: Tjahjono Widarmanto

Biodata Tjahjono Widarmanto:
  • Tjahjono Widarmanto lahir pada tanggal 18 April 1969 di Ngawi, Jawa Timur, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.