Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Wakil Rakyat Fraksi (Karya Roman Adiwijaya)

Puisi “Wakil Rakyat Fraksi” bercerita tentang perilaku para wakil rakyat yang duduk nyaman di ruang ber-AC dan kursi kayu jati, tetapi melupakan ...

Wakil Rakyat Fraksi


Kalian duduk di ruang ber-AC
Membicarakan bukan soal kami
Tapi kepentingan pribadi

Kalian duduk di kursi kayu jati
Sampai tertidur pulas dengan tega hati
Tanpa berpikir tentang kami

Undang-undang di ketuk palu
Tanpa isinya kami tahu
Kalian setuju tanpa kami setujui

Analisis Puisi:

Puisi “Wakil Rakyat Fraksi” adalah karya satir yang menyuarakan kritik terhadap para pejabat atau anggota legislatif yang seharusnya mewakili rakyat, namun justru sibuk dengan kepentingan sendiri. Judulnya saja sudah menyampaikan sindiran tajam: kata Rakyat dicoret (strikethrough), seolah menunjukkan bahwa yang diwakili bukan lagi rakyat, melainkan “fraksi” atau kepentingan kelompok tertentu.

Dengan bahasa yang sederhana, lugas, dan langsung menohok, puisi ini menggambarkan kekecewaan dan kemarahan rakyat terhadap wakil yang tidak lagi menjalankan fungsi perwakilan.

Tema

Tema utama puisi ini adalah pengkhianatan amanah dan ketimpangan antara wakil rakyat dan rakyat itu sendiri. Tema pendampingnya meliputi:
  • Kritik sosial terhadap para pejabat yang tidak bekerja untuk kepentingan publik.
  • Ketidakadilan dan jarak yang semakin lebar antara rakyat dan wakilnya.
  • Penyalahgunaan kekuasaan dalam proses pembuatan aturan atau undang-undang.
Puisi ini bercerita tentang perilaku para wakil rakyat yang duduk nyaman di ruang ber-AC dan kursi kayu jati, tetapi melupakan mereka yang memilih dan mempercayakan amanah kepada mereka. Mereka tidur, lalai, atau memikirkan kepentingan pribadi, bukan kebutuhan rakyat.

Puncak kritik muncul ketika undang-undang diketuk palu tanpa proses yang transparan dan tanpa persetujuan rakyat. Para wakil itu “setuju tanpa kami setujui”, menegaskan ketidakterlibatan rakyat dalam keputusan yang memengaruhi hidup mereka sendiri.

Makna Tersirat

Beberapa makna tersirat dari puisi ini di antaranya:
  1. Ada ironi mendalam tentang wakil rakyat yang telah berubah peran: bukan lagi wakil rakyat, tetapi wakil fraksi, kelompok, atau kepentingan tertentu.
  2. Rakyat merasa tidak dilibatkan dan hanya menjadi penonton dalam pengambilan keputusan penting.
  3. Kemewahan fasilitas (“ruang ber-AC”, “kursi kayu jati”) kontras dengan realitas rakyat yang mungkin hidup dalam keterbatasan.
  4. “Kami” dalam puisi ini menggambarkan suara rakyat secara kolektif yang merasa dikhianati.
  5. Proses legislasi terlihat mekanis dan dangkal: yang penting mengetuk palu, tidak peduli isi dan dampaknya.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi ini penuh kekecewaan, sinisme, dan kemarahan yang tertahan. Ada rasa getir ketika penyair menyajikan perbandingan antara kenyamanan wakil rakyat dan penderitaan rakyat. Nada yang digunakan adalah nada protes yang tegas tetapi sederhana, seolah datang langsung dari suara rakyat kecil.

Amanat / Pesan

Puisi ini menyampaikan beberapa amanat moral dan sosial:
  1. Wakil rakyat seharusnya mengutamakan kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi atau fraksi.
  2. Proses pembuatan undang-undang harus transparan dan melibatkan aspirasi publik.
  3. Jabatan adalah amanah, bukan kesempatan tidur atau menikmati fasilitas mewah.
  4. Rakyat memiliki hak untuk menyuarakan kritik ketika wakilnya melenceng dari tugas.
  5. Pemimpin yang tidak mendengarkan rakyat akan kehilangan legitimasi moralnya.

Imaji

Puisi ini menghadirkan imaji sederhana namun kuat:

Imaji visual
  • “duduk di ruang ber-AC” → gambaran kenyamanan yang kontras dengan kehidupan rakyat.
  • “kursi kayu jati” → simbol kemewahan dan kekuasaan.
  • “tertidur pulas” → gambaran jelas tentang kelalaian wakil rakyat.
Imaji auditif
  • “ketuk palu” → bunyi khas proses persidangan legislatif yang seharusnya melambangkan keseriusan.
Imaji sosial
  • “setuju tanpa kami setujui” → gambaran ketidakadilan dalam pengambilan keputusan.

Majas

Beberapa majas yang muncul:
  • Ironi: Puisi ini sarat ironi: wakil rakyat justru tidak mewakili rakyat.
  • Hiperbola: “tertidur pulas dengan tega hati” → dilebih-lebihkan untuk menegaskan ketidakpedulian.
  • Metonimia: “ketuk palu” → mewakili keseluruhan proses legislasi.
  • Metafora: “Ruang ber-AC” dan “kursi kayu jati” bukan hanya benda, tetapi metafora kenyamanan kekuasaan.
Puisi “Wakil Rakyat Fraksi” karya Roman Adiwijaya adalah kritik sosial yang menggambarkan hubungan yang retak antara wakil rakyat dan rakyat. Dengan tema pengkhianatan amanah dan ketidakpedulian pejabat terhadap publik, puisi ini menghadirkan makna tersirat tentang kerusakan moral dalam kekuasaan. Imaji sederhana, majas ironi, dan penggunaan suara kolektif (“kami”) membuat puisi ini terasa kuat dan menggigit. Pesan utama yang disampaikan jelas: seorang wakil rakyat harus benar-benar menjadi wakil rakyat—bukan wakil kepentingan kelompok.

Roman Adiwijaya
Puisi: Wakil Rakyat Fraksi
Karya: Roman Adiwijaya

Biodata Roman Adiwijaya:
  • Roman Adiwijaya saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Terbuka, Prodi Ilmu Hukum.
© Sepenuhnya. All rights reserved.