Wayang Kehidupan
Kupersembahkan hari ini kepada tuan dalang kehidupan
Menjadi batu silakan
Menjadi semut silakan
Menjadi pohon silakan
Aku hanya potongan kulit yang digerakkan
Bahan mainan sandiwaramu tuan
Bapak-bapak ibu-ibu tertawakan
Pulang kembali ke penampungan
Peristiwa hari ini dibukukan
Juli, 2025
Analisis Puisi:
Puisi "Wayang Kehidupan" karya Ervan Septiady menghadirkan gambaran kuat tentang manusia sebagai sosok yang berada di bawah kendali kekuatan yang lebih besar. Penyair mengajak pembaca merenungkan hubungan antara individu, takdir, dan struktur kehidupan yang sering kali tak memberi ruang bagi manusia untuk memilih sepenuhnya.
Tema
Tema utama puisi ini adalah ketidakberdayaan manusia di hadapan “dalang kehidupan”, yaitu simbol dari takdir, nasib, atau kekuatan yang mengatur perjalanan manusia. Puisi ini juga mengangkat tema kehidupan sebagai sandiwara, di mana manusia hanya berperan sebagai potongan kulit—layaknya wayang—yang digerakkan oleh tangan-tangan kekuasaan.
Puisi ini bercerita tentang seorang manusia yang merasa dirinya hanyalah wayang dalam pertunjukan besar bernama kehidupan. Ia “dipersembahkan” kepada dalang, tunduk pada peran apa pun yang diberikan kepadanya—entah menjadi batu, semut, atau pohon. Dalam perspektif ini, manusia digambarkan tak memiliki kendali, hanya mengikuti alur yang ditentukan.
Selain itu, puisi ini menggambarkan bagaimana masyarakat (“bapak-bapak ibu-ibu”) menjadi penonton yang menertawakan peran sang tokoh, seakan kehidupan ini hanyalah hiburan kolektif. Setelah pementasan selesai, manusia kembali ke “penampungan” dan peristiwa hari itu pun hanya menjadi catatan, seakan hidup adalah rangkaian adegan yang terus bergulir tanpa akhir.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini menunjukkan kritik eksistensial terhadap peran manusia dalam sistem sosial atau struktur kehidupan:
- Manusia kerap terjebak dalam peran-peran yang ditentukan—oleh masyarakat, takdir, atau kekuasaan—tanpa mampu menolak.
- Kehidupan dilihat sebagai siklus pementasan yang melelahkan, di mana manusia bukan aktor utama, melainkan “potongan kulit” yang digerakkan pihak lain.
- Ada nuansa satir tentang bagaimana orang-orang sering menjadi penonton kehidupan orang lain, menertawakan tragedi dan peristiwa tanpa empati.
- “Pulang ke penampungan” menggambarkan rutinitas yang hampa, sementara “peristiwa hari ini dibukukan” menegaskan bahwa pengalaman manusia hanyalah arsip dalam perjalanan hidup yang panjang dan mekanis.
Makna tersirat ini menunjukkan kegelisahan manusia terhadap makna hidup, kebebasan, dan identitas.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini didominasi oleh keterasingan, pasrah, dan sedikit nada satir. Ada rasa getir ketika penyair menggambarkan dirinya sebagai objek yang digerakkan. Nuansa pahit dan sinis muncul ketika masyarakat digambarkan menertawakan, seolah hidup adalah panggung yang tak peduli pada pemerannya. Keseluruhan suasana terasa muram dan reflektif, mengajak pembaca merenung tentang posisi dirinya dalam dunia.
Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi
Amanat yang dapat dibaca dari puisi ini antara lain:
- Manusia perlu menyadari posisinya dalam kehidupan, tetapi juga perlu bertanya, apakah ia mau terus menjadi wayang atau mulai menggerakkan dirinya sendiri.
- Puisi ini mengingatkan bahwa masyarakat sering menjadi penonton, bukan pelaku perubahan. Maka manusia seharusnya lebih peka, bukan hanya menertawakan atau menjadi bahan tontonan.
- Ada ajakan untuk menilai kembali kebebasan, kendali, dan makna hidup, serta merenungkan peran yang kita jalani: apakah itu pilihan atau paksaan.
Imaji
Puisi ini menghadirkan beberapa imaji yang kuat:
- Imaji wayang: “potongan kulit yang digerakkan” memberikan visualisasi sosok wayang kulit di tangan dalang.
- Imaji transformasi: “menjadi batu … semut … pohon” memunculkan gambaran tentang peran-peran yang diberikan tanpa pilihan.
- Imaji pertunjukan: “bapak-bapak ibu-ibu tertawakan” menggambarkan penonton yang menikmati adegan.
- Imaji penampungan: memberikan kesan tempat kembali setelah pertunjukan selesai, menimbulkan nuansa dingin dan tak personal.
Majas
Puisi ini menggunakan beberapa majas:
Metafora
- “Tuan dalang kehidupan” sebagai metafora takdir atau kekuatan yang mengatur manusia.
- “Aku hanya potongan kulit yang digerakkan” sebagai metafora manusia sebagai wayang.
Personifikasi
- Kehidupan dipersonifikasikan sebagai dalang yang menentukan peran manusia.
Repetisi
- Pengulangan “silakan” menegaskan kepasrahan serta ironi terhadap berbagai peran yang dapat diberikan.
Sarkas atau Satir
- Nada menyindir masyarakat yang “tertawakan” peran sang tokoh, seakan tragedi pun dianggap hiburan.
Puisi "Wayang Kehidupan" adalah cermin yang memantulkan kegelisahan manusia tentang posisinya di dunia: apakah ia makhluk bebas atau hanya wayang yang dipermainkan takdir? Dengan tema yang kuat, imaji yang tajam, dan majas yang memperkuat makna, karya Ervan Septiady ini mengajak pembaca untuk merenungkan kembali siapa sebenarnya yang memegang kendali dalam hidup kita—kita sendiri atau “tuan dalang kehidupan”.
Karya: Ervan Septiady
Biodata Ervan Septiady:
- Ervan Septiady, lahir di Sulingan, Kalimantan Selatan. Ia merupakan lulusan dari Universitas Lambung Mangkurat, Jurusan Pendidikan Sejarah. Ervan suka membaca dan akhir-akhir ini sering menghabiskan waktu luang membaca puisi, apalagi puisinya Cak Nun.