Oleh Khoirunnisa Auliya Rosyidah
Tekanan akademik sering kali membuat remaja kehilangan ruang untuk bernapas, hingga ibadah yang dulu menenangkan berubah menjadi rutinitas yang terabaikan. Dengan ruang untuk mengekspresikan perasaan, pendampingan yang hangat, serta pemahaman bahwa ibadah adalah sumber ketenangan, remaja dapat kembali menemukan keseimbangan spiritual di tengah padatnya tuntutan belajar.
Penurunan semangat beribadah pada remaja tidak muncul begitu saja. Ada proses panjang di baliknya, terutama ketika siswa harus menghadapi beban akademik yang terus meningkat. Remaja berada dalam fase perkembangan yang penuh tuntutan, dan sebagaimana dijelaskan oleh Erikson (1968), masa ini sebagai periode pencarian jati diri yang sangat memerlukan stabilitas emosi dan arah hidup. Ketika tuntutan belajar semakin banyak, perhatian siswa sering kali tersedot sepenuhnya ke urusan sekolah sehingga aspek spiritual perlahan terpinggirkan.
Dalam banyak proses pendampingan, salah satu hal penting yang membantu siswa keluar dari situasi ini adalah kesempatan untuk menyampaikan apa yang mereka rasakan. Banyak siswa memendam tekanan karena merasa harus kuat, padahal ketika mereka diberi ruang untuk berbicara tanpa takut dihakimi, beban yang mereka bawa menjadi jauh lebih ringan. Mendengar mereka bercerita sering kali membuat saya menyadari betapa besar kebutuhan remaja untuk mendapatkan tempat yang aman secara emosional.
Ibadah biasanya kembali dijalani secara konsisten ketika dipahami sebagai sumber ketenangan. Zohar dan Marshall (2000) menjelaskan bahwa spiritualitas akan hidup ketika seseorang menemukan makna dalam aktivitasnya. Ketika siswa diberi pemahaman bahwa ibadah adalah waktu untuk menenangkan diri, bukan sekadar tugas tambahan, mereka biasanya perlahan mulai kembali merasakan kedekatan spiritual yang sebelumnya hilang.
Pemulihan semangat ibadah pun tidak memerlukan target yang besar. Langkah kecil yang dilakukan secara konsisten jauh lebih efektif. Mengajak siswa untuk menjaga satu rutinitas ibadah setiap hari sering menjadi pintu masuk menuju kebiasaan yang lebih stabil. Ketika hati mulai tenang, kebiasaan ibadah lainnya mengikuti dengan lebih mudah.
Lingkungan tempat siswa beraktivitas juga berpengaruh besar terhadap kestabilan spiritual mereka. Kehadiran guru yang suportif, teman yang tidak menambah tekanan kompetitif, dan suasana belajar yang manusiawi memberi ruang bagi siswa untuk menjaga keseimbangan hidup. Tanpa dukungan ini, tekanan akademik mudah sekali merusak motivasi mereka dalam menjalankan ibadah.
Upaya menumbuhkan kembali semangat beribadah pada remaja tidak dapat dilakukan dengan paksaan. Yang dibutuhkan adalah pendampingan yang membuat mereka merasa dimengerti, disertai bantuan untuk menemukan kembali ketenangan batinnya. Ketika ketenangan itu hadir, semangat beribadah akan tumbuh sebagai kebutuhan hati, bukan karena tekanan dari luar.
Biodata Penulis:
Khoirunnisa Auliya Rosyidah saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Sebelas Maret, Program Studi Bimbingan dan Konseling.