Oleh Laylatuz Zahra Ramadhani
Di Wonosobo, budaya tidak selalu lahir dari istana atau ruang pertunjukan. Ada kalanya ia tumbuh dari sawah, dari dingin pagi, dan dari kebutuhan paling sederhana manusia untuk bertahan hidup. Bundengan adalah salah satunya sebuah alat yang awalnya diciptakan sebagai pelindung tubuh petani, namun perlahan menjelma menjadi identitas seni dan budaya Wonosobo. Bundengan bukan sekadar alat musik. Ia adalah bukti bahwa kreativitas masyarakat lokal mampu mengubah fungsi sehari-hari menjadi ekspresi seni yang bernilai tinggi.
Berawal dari Tudung Petani
Secara tradisional, bundengan dikenal sebagai tudung atau pelindung kepala yang digunakan petani dan penggembala bebek untuk melindungi diri dari hujan dan udara dingin khas dataran tinggi Wonosobo. Bentuknya menyerupai setengah kubah, terbuat dari anyaman bambu, ringan, dan mudah dibawa ke sawah.
| Sumber: penghubung.jatengprov.go.id |
Namun, di balik fungsi praktis itu, masyarakat Wonosobo menemukan potensi lain. Di bagian dalam bundengan dipasang beberapa senar dan bilah bambu tipis. Ketika dipetik atau diketuk, alat sederhana ini mampu menghasilkan bunyi yang khas perpaduan antara ritme perkusi dan melodi tradisional. Dari sinilah bundengan perlahan berubah, dari benda pelindung menjadi instrumen musik rakyat.
Suara Alam yang Menjadi Musik
Bunyi bundengan sering digambarkan sebagai suara alam: sederhana, jujur, dan bersahaja. Nada yang dihasilkan tidak keras, tetapi hangat dan berirama. Dalam pertunjukan tradisional, bundengan biasanya dimainkan sambil bernyanyi, membawakan tembang-tembang Jawa yang sarat makna kehidupan, kerja, dan hubungan manusia dengan alam.
Alat ini sering mengiringi cerita rakyat, sindiran sosial, hingga ungkapan rasa syukur. Tidak ada panggung megah atau tata suara rumit bundengan hidup dari kedekatannya dengan masyarakat. Justru di situlah kekuatannya: musik yang tumbuh dari keseharian, bukan dari kemewahan.
Hampir Hilang, Lalu Dihidupkan Kembali
Seiring modernisasi, bundengan sempat nyaris menghilang. Generasi muda mulai meninggalkan tradisi ini, dan alatnya jarang dimainkan. Bundengan dianggap kuno, tidak relevan, dan kalah pamor dibanding alat musik modern.
Namun, beberapa seniman dan pegiat budaya Wonosobo menolak membiarkannya lenyap. Mereka mendokumentasikan, mempelajari ulang cara pembuatannya, dan mulai memperkenalkan bundengan ke ruang-ruang baru festival budaya, pertunjukan seni, hingga panggung nasional dan internasional. Upaya ini membuahkan hasil. Bundengan kembali dikenal, bahkan menjadi salah satu ikon budaya Wonosobo yang unik dan tidak dimiliki daerah lain.
Identitas Budaya yang Terus Berkembang
Hari ini, bundengan tidak lagi sekadar simbol masa lalu. Ia terus berkembang mengikuti zaman. Beberapa musisi muda mulai memadukan bundengan dengan alat musik modern, menciptakan komposisi baru tanpa menghilangkan akar tradisinya.
Di sisi lain, bundengan juga menjadi media edukasi budaya. Ia diperkenalkan kepada pelajar sebagai bagian dari identitas lokal, mengajarkan bahwa budaya bukan sesuatu yang statis, melainkan hidup dan bisa beradaptasi. Bundengan mengajarkan satu hal penting, tradisi tidak harus ditinggalkan untuk menjadi modern.
Lebih dari Sekadar Alat Musik
Bundengan Wonosobo adalah cerminan kearifan lokal. Ia lahir dari kebutuhan, tumbuh dari kreativitas, dan bertahan karena kepedulian. Dari sawah hingga panggung pertunjukan, bundengan menempuh perjalanan panjang yang sarat makna.
Di tengah dunia yang semakin seragam, bundengan mengingatkan bahwa identitas lokal adalah kekayaan. Ia tidak perlu besar atau megah cukup jujur pada asal-usulnya. Dan di Wonosobo, suara bundengan terus bergema, mengabarkan bahwa budaya masih hidup, selama ada yang mau mendengarkan.
Biodata Penulis:
Laylatuz Zahra Ramadhani saat ini aktif sebagai mahasiswi di Universitas Sebelas Maret.