Oleh Nizam Alfarizi
Indonesia sedang memasuki babak penting dalam perjalanannya sebagai sebuah bangsa. Tahun 2045 menjadi tonggak yang terus digaungkan pemerintah sebagai Indonesia Emas, yaitu kondisi ketika negara ini diharapkan tumbuh menjadi negara maju, berdaulat, dan sejahtera. Namun, cita-cita tersebut bukan hanya proyek elit politik; ia merupakan tanggung jawab bersama seluruh rakyat Indonesia, khususnya generasi muda yang akan menjadi motor pembangunan pada tahun 2045 nanti. Di tengah dinamika tersebut, keberadaan gerakan kepemudaan seperti Gempita (Gerakan Milenial Pencinta Tanah Air) menjadi isu yang menarik untuk dibahas. Bagi saya, Gempita mencerminkan semangat bahwa pemuda tidak hanya lahir untuk menjadi penonton sejarah, tetapi pencipta masa depan bangsanya sendiri.
Indonesia saat ini berada dalam kondisi bonus demografi, di mana jumlah penduduk usia produktif jauh lebih besar dibandingkan kelompok usia lainnya. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), lebih dari 52% penduduk Indonesia adalah generasi milenial dan Gen-Z. Ini artinya, masa depan bangsa berada di tangan kita. Namun ironi masih terjadi: banyak pemuda yang merasa urusan bangsa bukanlah bagian dari hidup mereka. Saya menyaksikan sendiri di lingkungan kampus saya, diskusi soal negara sering kali ditinggalkan begitu saja, seolah tidak memberi manfaat langsung. Generasi saya lebih akrab dengan konten hiburan ketimbang isu kebangsaan. Jika tren ini dibiarkan, bonus demografi dapat berubah menjadi beban demografi.
Dalam konteks tersebut, langkah Gempita untuk mengajak pemuda terlibat dalam pembangunan sosial layak diapresiasi. Mereka menghadirkan berbagai program edukasi tentang keluarga, gizi, hingga isu stunting yang masih menjadi masalah besar. Data Kementerian Kesehatan pada tahun 2024 mencatat bahwa angka stunting nasional masih berada di sekitar 21%. Bagaimana mungkin Indonesia dapat mencapai status negara maju jika generasi penerusnya tidak tumbuh sehat dan cerdas? Upaya Gempita menunjukkan bahwa patriotisme bukan hanya soal simbol, tetapi menyentuh persoalan mendasar masyarakat.
Selain itu, Gempita juga mendorong pemuda kembali melihat potensi strategis bangsa seperti ketahanan pangan dan pertanian modern. Sektor ini sering dianggap “kurang keren” bagi sebagian anak muda yang lebih memilih dunia digital atau gaya hidup kota. Padahal, Indonesia memiliki sumber daya alam yang luar biasa. Jika pemuda mau bergelut di sektor ini dengan inovasi dan teknologi, saya percaya kesejahteraan rakyat dapat meningkat signifikan. Di sini, semangat Gempita terasa relevan dan futuristik.
Namun demikian, saya tetap memandang gerakan seperti Gempita tidak lepas dari kritik. Pertama, risiko politisasi sangat mungkin terjadi. Pemuda kerap menjadi sasaran empuk bagi kepentingan politik tertentu. Jika tidak berhati-hati, gerakan ini bisa berubah menjadi alat kekuasaan, bukan wadah perjuangan pemuda. Pemuda harus tetap menjadi kekuatan moral bangsa, bukan sekadar “komoditas elektoral”. Kedua, konsistensi gerakan perlu diperhatikan. Banyak organisasi pemuda muncul besar pada awalnya, tetapi perlahan menghilang setelah momentum tertentu. Gempita harus membuktikan bahwa mereka bukan hanya fenomena sesaat.
Meski tantangannya tidak sedikit, peluang juga sangat besar. Era digital memungkinkan gerakan pemuda berkembang lebih cepat dan inklusif. Kita bisa melihat bagaimana gerakan solidaritas nasional seperti #PrayForCianjur pada 2022 lalu menyatukan jutaan orang dalam aksi kemanusiaan. Artinya, teknologi bisa menjadi alat untuk memperkuat rasa persatuan dan kepedulian sosial. Seperti yang pernah dikatakan Presiden Soekarno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai persatuan dalam perbedaan.” Generasi muda memiliki kesempatan untuk menerjemahkan pesan ini ke dalam dunia digital, di mana batas geografis tidak lagi menjadi hambatan.
Saya pribadi memiliki harapan yang besar terhadap peran pemuda dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045. Namun harapan itu tidak akan berarti apa-apa jika pemuda terus terjebak dalam sikap masa bodoh atau visi jangka pendek. Bung Hatta pernah mengingatkan bahwa “Persatuan tidak akan tumbuh tanpa keadilan dan saling menghormati.” Nilai itu harus tertanam dalam perilaku pemuda hari ini baik di dunia nyata maupun dunia maya. Pemuda harus berani mengkritik, tetapi juga mampu berkontribusi. Tidak ada perubahan yang lahir dari hanya mengeluh dan menyalahkan pihak lain.
Saya membayangkan Gempita sebagai simbol gerakan pemuda yang peduli, cerdas, dan berintegritas. Namun di balik nama organisasi itu, makna yang lebih dalam adalah semangat generasi. Indonesia tidak akan otomatis menjadi negara maju hanya karena kalender bergerak menuju 2045. Semua itu membutuhkan kerja keras, inovasi, dan kolaborasi. Pemuda harus berdiri paling depan dalam perjuangan ini menciptakan lapangan kerja, mendorong pemerataan pendidikan, menjaga identitas bangsa, hingga memanfaatkan teknologi untuk kemajuan sosial.
Saya percaya bahwa masa depan bukan sesuatu yang ditunggu, melainkan sesuatu yang dibangun. Indonesia Emas 2045 bukan hadiah, tapi hasil dari keberanian pemuda hari ini. Jika Gempita mampu menjaga independensi, memperkuat inovasi, dan mengakar hingga ke masyarakat kecil, maka gerakan ini akan menjadi salah satu tonggak penting sejarah Indonesia modern. Kita, para pemuda, tidak boleh ragu untuk mengambil bagian. Karena sesungguhnya, 2045 adalah milik kita dan kita adalah arsitek masa depan bangsa.
Biodata Penulis:
Nizam Alfarizi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta