Oleh Sabilul Najah
Generasi Z adalah kelompok yang lahir antara akhir 1990-an hingga awal 2010-an. Mereka dikenal sebagai generasi digital, kreatif, kritis, dan cepat beradaptasi dengan teknologi. Namun, di balik semua itu, mereka juga tengah mencari makna hidup, identitas, dan arah yang jelas. Hal ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi pendidikan Islam untuk bisa hadir dan menyentuh hati mereka dengan cara yang relevan.
Generasi Z tidak lagi nyaman dengan metode belajar yang monoton atau bersifat satu arah. Ceramah panjang dan hafalan yang kaku seringkali membuat mereka kehilangan minat. Mereka lebih menyukai pembelajaran yang interaktif, visual, dan kontekstual. Misalnya, melalui video singkat, infografis, animasi, atau kegiatan praktik yang nyata. Mereka ingin merasakan pengalaman langsung dari ajaran Islam, bukan sekadar mengetahui teori semata.
Selain itu, generasi ini sangat peka terhadap keteladanan. Mereka menghargai sosok yang konsisten antara ucapan dan tindakan, dan cenderung menjauh dari figur yang terlihat hanya menggurui. Guru, orang tua, dan pendidik Islam harus hadir sebagai teladan yang nyata: konsisten, terbuka berdialog, dan mau mendengarkan. Keteladanan ini jauh lebih efektif untuk membentuk karakter mereka dibandingkan sekadar memberikan nasihat berulang-ulang.
Generasi Z juga membutuhkan pemahaman mendalam tentang “mengapa” dalam setiap ajaran Islam. Mereka ingin tahu manfaat shalat bagi ketenangan jiwa, mengapa kejujuran dan empati penting dalam kehidupan sehari-hari, atau bagaimana nilai-nilai Qur’ani dapat membantu menghadapi tekanan sosial media. Dengan mengaitkan ajaran Islam pada realitas kehidupan mereka, pendidikan Islam menjadi lebih hidup, relevan, dan mudah diterima.
Ruang dialog juga menjadi sangat penting. Banyak anak muda merasa takut bertanya soal agama karena takut dihakimi. Padahal, generasi ini memiliki banyak pertanyaan kritis mengenai iman, moral, dan kehidupan modern. Pendidikan Islam harus menciptakan ruang aman bagi mereka untuk bertanya dan berdiskusi. Ketika mereka merasa dihargai, mereka akan lebih terbuka dan mudah menyerap pesan-pesan Islam.
Tak kalah penting, teknologi menjadi jembatan utama untuk menjangkau generasi Z. Smartphone bukan sekadar alat, tetapi dunia kedua bagi mereka. Dakwah dan pembelajaran Islam yang hadir di platform digital—seperti TikTok, YouTube, podcast, maupun kelas online interaktif—dapat menyampaikan pesan dengan bahasa yang dekat dengan dunia mereka. Yang penting, konten harus autentik, kreatif, dan penuh empati, bukan sekadar mengikuti tren atau menggurui.
Generasi Z juga menghadapi tekanan mental yang berbeda dibanding generasi sebelumnya: kecemasan, perbandingan sosial, dan ekspektasi tinggi dari lingkungan. Pendidikan Islam yang hadir dengan empati, bukan intimidasi, dapat menjadi sumber dukungan emosional. Islam harus dipersembahkan sebagai agama yang menenangkan, membimbing, dan memberi rasa aman, sehingga mereka merasa dekat dan nyaman dengan nilai-nilainya.
Menyentuh hati generasi Z bukan hal yang instan, tetapi sangat mungkin dilakukan jika pendidikan Islam mampu berbicara dengan cara yang mereka pahami: interaktif, kreatif, relevan, dan penuh empati. Generasi ini bukan generasi yang menjauh dari agama, melainkan generasi yang menunggu bahasa yang tepat untuk membuat mereka jatuh cinta pada nilai-nilai Islam. Jika berhasil, pendidikan Islam tidak hanya akan membentuk generasi yang berilmu dan berakhlak, tetapi juga generasi yang siap membawa perubahan positif bagi masyarakat dan umat di masa depan.
Biodata Penulis:
Sabilul Najah saat ini aktif sebagai mahasiswa di UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.