Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Jejak Sastra yang Menggema dari Masa ke Masa

Sastra bukan sekadar teks, melainkan rekaman zaman. Yuk pelajari sejarah sastra Indonesia dan temukan kaitannya dengan kehidupan sosial dan budaya.

Oleh Millatu Tazkiya

Mata kuliah Sejarah Sastra Indonesia adalah sebuah program studi yang menawarkan wawasan menyeluruh mengenai evolusi sastra Indonesia dari masa lalu hingga masa kini. Studi ini tidak hanya mengurutkan uraian periode sejarah, tetapi juga menjelaskan keterkaitan mendalam antara teks sastra dan latar belakang sosial, politik, serta budaya yang ada di sekelilingnya. Melalui mata kuliah ini mahasiswa diajak untuk melihat bahwa sastra tidak hanya sekadar rangkaian tulisan melainkan bentuk gambaran perubahan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, mata kuliah ini memiliki peranan krusial dalam memperluas pandangan mahasiswa mengenai bagaimana karya sastra terbentuk, berkembang, dan kontribusinya terhadap pembentukan identitas bangsa. Sebelum memulai perkuliahan yang berlangsung selama satu semester ini, saya memiliki harapan yang cukup besar pada mata kuliah ini. Di awal semester saya membayangkan bahwa mata kuliah ini akan memberikan penjelasan yang sistematis tentang tahapan-tahapan pertumbuhan sastra di Indonesia, mulai dari masa klasik hingga masa modern. Saya juga berharap agar pengalaman belajar ini bisa menambah tentang keterkaitan antara estetika, pandangan hidup, dan gerakan sosial dalam konteks sosial. Di samping itu saya juga ingin memperluas wawasan saya tentang bagaimana pemikiran-pemikiran yang besar ini lahir dalam perjalanan sastra serta mempengaruhi cara masyarakat melihat kenyataan dan menyuarakan harapan-harapan mereka.

Jejak Sastra yang Menggema dari Masa ke Masa

Harapan tersebut semakin besar karena menganggap kelas ini sebagai peluang untuk memperluas pengetahuan serta meningkatkan apresiasi terhadap karya sastra Indonesia. Dengan pengetahuan yang lebih mendalam tentang sejarah sastra, diharapkan dapat menghubungkan dengan kemajuan literasi di Indonesia saat ini serta memahami bagaimana perjalanan panjang sastra bisa menjadi fondasi untuk menciptakan pembelajaran yang lebih berarti. Harapan lainnya adalah melalui mata kuliah ini dapat memahami bagaimana gagasan para penulis berubah seiring waktu, serta bagaimana pergeseran waktu dapat mempengaruhi gaya, bentuk, dan tema dalam sastra Indonesia. Pemahaman terhadap periode sejarah sastra selama satu semester memberikan penjelasan bahwa kemajuan sastra tidak pernah terjadi secara linier, tetapi dipengaruhi oleh ketegangan di bidang sosial, politik, dan budaya. Setiap periode memiliki karakteristik yang berbeda-beda mulai dari tokoh, gaya bahasa, serta tema yang mencerminkan pada masanya. Pada tahap sastra pra-kemerdekaan yang berkembang sebelum tahun 1900-an, muncul sebelum kemerdekaan di wilayah Nusantara dan telah berkembang pesat lewat tradisi verbal dan tulisan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Bentuk-bentuknya seperti pantun, gurindam, syair, hikayat, legenda, dan cerita rakyat yang memiliki peranan penting sebagai sarana untuk menyampaikan nilai-nilai moral, pendidikan, pengajaran agama, serta menjaga kelestarian identitas budaya. Dalam konteks sejarah sastra di Indonesia, tahap sebelum kemerdekaan menjadi landasan yang menunjukkan kepanjangan pikiran bangsa sebelum sastra modern hadir, serta sekaligus menjadi basis yang terus berdampak pada evolusi sastra Indonesia di era selanjutnya. Periode ini juga terus mempengaruhi bentuk perkembangan sastra pada masa berikutnya.

Memasuki awal abad ke-20, perkembangan sastra ditandai dengan masuknya Balai Pustaka, merupakan intuisi penerbitan yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1917. Lembaga ini didirikan untuk mengawasi materi bacaan masyarakat pribumi dan menghentikan masuknya tulisan yang dapat memicu perlawanan terhadap Belanda. Ciri estetika generasi ini dapat dilihat dari tata bahasanya yang mudah dipahami, latar belakang daerah, alur yang jelas, dan pemanfaatan karakter yang datar. Beberapa tokoh Balai Pustaka, yaitu Marah Rusli, pengarang Siti Nurbaya, Abdul Muis melalui novel Salah Asuhan, dan ada Nur Sutan Iskandar dikenal sebagai penulis paling produktif pada periode ini. Meskipun berada di bawah kendali kolonial dan memonopoli bacaan masyarakat, Balai Pustaka menghasilkan karya-karya penting banyak di antaranya bernuansa adat dan dominan ditulis penulis Minangkabau yang hingga kini menjadi rujukan klasik dan menunjukkan bagaimana sastra dapat membentuk pola pikir masyarakat pada masanya.

Memasuki tahun 1933, muncul angkatan Pujangga Baru yang diawali dengan terbitnya majalah Poedjangga Baroe. Inisiatif ini digagas oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, dan Armijn Pane sebagai upaya untuk memperbaharui ekspresi yang terbatas pada era Balai Pustaka. Ciri khas dari penulisan angkatan ini, seperti penggunaan kata-kata yang lebih lembut dan menarik, tema nasionalisme, kebebasan individu, serta ide-ide progresif mengenai perkembangan negara. Beberapa tokoh yang berperan besar pada angkatan tersebut adalah tokoh sentralnya, termasuk Sutan Takdir Alisjahbana yang mengedepankan modernitas, Amir Hamzah yang menghasilkan puisi-puisi religius-romantik yang berkualitas tinggi, serta Armijn Pane yang memperkuat prosa modern lewat karyanya. Angkatan pujangga baru merupakan titik balik penting yang sedang menuju ke arah kematangan estetika dan kesadaran nasional.

Dalam fase dunia revolusi kemerdekaan, dunia sastra mengalami transformasi signifikan dengan munculnya Angkatan 45, yang menyatakan kebebasan dalam berkomunikasi serta semangat perlawanan melalui bahasa yang lebih jelas, dinamis, dan kaya keberanian. Ciri khas angkatan ini meliputi penggunaan bahasa yang tidak terikat oleh aturan kuno, topik tentang perjuangan, maut, kebebasan, serta perspektif hidup yang bersifat eksistensialis. Tokoh yang paling berpengaruh pada angkatan ini adalah Chairil Anwar, yang melalui puisi-puisi seperti “Aku” dan “Diponegoro” mengedepankan cara baru yang menjauhkan diri dari tradisi sastra klasik; bersama dengan tokoh lain seperti Rivai Apin, Asrul Sani, dan Idrus yang memberikan nuansa segar pada prosa dan puisi Indonesia.

Setelah periode stabilitas pasca kemerdekaan, sastra Indonesia memasuki era angkatan 66–98 yang tumbuh di tengah perubahan politik di era Orde Baru. Angkatan ini menunjukkan bagaimana sastra merespons tekanan politik, batasan terhadap kebebasan berpendapat, serta kondisi sosial yang tidak adil. Ciri-ciri penulisan ini dapat dilihat dari penggunaan gaya realisme sosial, satire, metafora politik, dan simbolisme sebagai metode untuk menyampaikan kritik tanpa berhadapan langsung dengan pengawasan negara. Tema yang diangkat mencakup ketidakadilan, kemiskinan, kekuasaan yang menindas, serta perjuangan identitas masyarakat perkotaan. Tokoh-tokoh penting yang terlibat di angkatan ini antara lain W. S. Rendra dengan “Puisi Pamflet”-nya yang tegas, Pramoedya Ananta Toer melalui karya Tetralogi Buru yang besar meskipun diciptakan saat terasing, Putu Wijaya dengan pendekatannya yang absurd, serta Taufiq Ismail yang menggambarkan kenyataan sosial dengan kekuatan puitis yang mendalam.

Memasuki era reformasi dan globalisasi, sastra di Indonesia memasuki tahap sastra modern (1988–sekarang), yang ditandai oleh kebebasan dalam mengekspresikan diri, variasi bentuk yang beragam, penjelajahan tema yang semakin bervariasi. Sastra kontemporer banyak mengangkat isu identitas, gender, budaya pop, urbanitas, trauma sejarah, teknologi, dan dinamika global. Selain publikasi cetak, sastra kontemporer juga menggunakan media digital, seperti blog, situs penulisan online, dan media sosial menciptakan penulis baru dan memperluas akses masyarakat terhadap karya sastra. Beberapa tokoh yang paling terkenal, seperti Ayu Utami lewat karya Saman, Seno Gumira Ajidarma dengan pendekatan jurnalistik-sastranya, Okky Madasari yang mengangkat isu sosial-politik saat ini, hingga penulis muda di media digital menunjukkan keragaman, dinamika, dan keterbukaan dalam sastra Indonesia. Seluruh perjalanan ini menggambarkan bahwa sastra Indonesia tetap eksis dan terus bertumbuh seiring dengan kemajuan zaman, serta berfungsi sebagai refleksi intelektual dan budaya bangsa.

Selama proses belajar di kelas, muncul berbagai wawasan baru yang memperluas perspektif terhadap karya sastra. Salah satu poin pentingnya adalah pengertian bahwa sastra tidak bisa dipandang sebatas teks kaku, melainkan selalu berhubungan erat dengan latar sosial dan politik pada masanya. Selain itu, melalui mata kuliah ini membuka cara pandang pada persepsi terhadap tokoh dan karya sastra. Penulis seperti Chairil Anwar, yang sebelumnya hanya dikenal melalui puisinya yang berjudul "Aku", sekarang dianggap sebagai individu yang revolusioner yang menghentikan tradisi sastra lama. Satu semester pembelajaran ini tidak hanya menyampaikan informasi faktual, tetapi juga meningkatkan kepekaan terhadap sastra sebagai elemen dari perkembangan kebudayaan.

Pemahaman mengenai latar belakang sejarah sastra dapat memudahkan siswa dalam menghargai karakter dan tema sastra dengan lebih mendalam. Pengajar bisa menghubungkan evolusi sastra dengan keadaan sosial-politik di setiap era, sehingga siswa menyadari bahwa sastra tidak sekadar teks, melainkan juga cerminan dari keadaan masyarakat. Selain itu, pemahaman tentang berbagai periode dapat meningkatkan kemampuan literasi kritis, karena siswa diajarkan untuk membandingkan gaya, ide, dan nilai yang terdapat dalam karya-karya dari zaman yang berbeda.

Perkembangan sastra dan literasi di era digital ini menghadirkan tantangan serta peluang yang perlu disikapi dengan kritis. Di satu sisi, platform digital seperti blog, media sosial, dan aplikasi membaca memberikan peluang besar bagi siapa saja untuk menciptakan dan menikmati karya sastra. Namun di sisi lain, banyak informasi yang sering kali menyebabkan kualitas pembacaan tidak terkontrol. Oleh karena itu, penting bagi pembaca untuk bersikap kritis terhadap suatu karya sastra.

Pembelajaran sejarah sastra Indonesia selama satu semester ini memberikan wawasan yang mendalam mengenai perubahan sastra dari masa ke masa. Refleksi ini menunjukkan bahwa sastra adalah perjalanan panjang yang berhubungan dengan masyarakat umum, perubahan sosial, dan sebagai media kritis untuk menyuarakan aspirasinya pada zaman penjajahan kolonial. Sampai saat ini sastra juga sering digunakan untuk berbagai tujuan penting yang mencakup aspek edukasi, budaya, sosial, dan hiburan. Pada akhirnya sastra bukan hanya cermin untuk memahami masa lalu dan masa kini, tetapi juga kompas untuk ​​​​arah kebudayaan Indonesia di masa depan. 

Biodata Penulis:

Millatu Tazkiya saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Negeri Surabaya, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

© Sepenuhnya. All rights reserved.