Oleh Nabila Rahma Wardani
Karya-karya Habiburrahman El Shirazy yang lebih dikenal sebagai Kang Abik selalu hadir sebagai bacaan yang ditunggu pencinta novel bernuansa religius. Dalam ranah romansa bernapaskan Islam, beliau konsisten menghadirkan kisah cinta yang tidak hanya sentimental, tetapi juga menuntun pembaca pada pemahaman religius dan refleksi moral. Di antara karya-karya besarnya yaitu "Bidadari Bermata Bening" yang secara konsisten menawarkan narasi romansa yang berakar kuat pada nilai-nilai keislaman dan realitas sosial. Karya ini tidak hanya menyajikan kisah cinta yang memikat, tetapi juga berfungsi sebagai kajian filosofis mendalam mengenai relasi antara kehendak manusia (ikhtiar) dan ketetapan Ilahi (takdir). Latar kehidupan Pesantren Kanzul Ulum menjadi jendela untuk melihat pergulatan emosional, spiritual, serta sosial yang dialami seorang santriwati, di mana persoalan cinta berdampingan dengan konflik moral, ketimpangan sosial, dan ujian keteguhan iman.
Dalam novel ini, kisah dibuka tentang gadis muda cantik yang Bernama Ayna seorang santriwati cerdas dan sederhana yang tumbuh sebagai santriwati sekaligus khadimah di Pesantren Kanzul Ulum. Ayna hidup seorang diri, sebab ia sudah tidak memiliki kedua orang tua lagi (yatim piatu) dan juga berstatus sebagai khadimah (pembantu), justru hal itu menjadi fondasi kekuatannya. Pada bab awal secara tegas membentuk citra Ayna dengan sosok yang ulet, sabar, dan memiliki kecantikan batin yang tak tertandingi bahkan ia meraih nilai UN tertinggi se-Jawa Tengah. Namun, di tengah kesibukannya mengabdi dan belajar, keikhlasan Ayna diuji secara bertubi-tubi, tidak hanya oleh cemoohan teman-teman, tetapi juga oleh fitnah mengenai asal-usulnya. Dalam kondisi tersebut, ia tetap berpegang pada prinsip bahwa ridha Allah serta kepatuhan kepada guru adalah hal terpenting. Pesan moral ini ditegaskan penulis melalui narasi yang menunjukkan bahwa kecantikan hakiki bukan terletak pada paras, melainkan keluasan hati dalam menerima ketentuan Tuhan.
Konflik utama dan yang paling menggugah dalam novel ini adalah melalui perjodohan yang melibatkan tiga lamaran yang datang kepada Ayna, masing-masing menjadi simbol ujian keimanan dan pilihan moral yang berbeda. Lamaran pertama datang dari Gus Afif, putra Kyai Sobron yang saleh dan cerdas, yang melambangkan Cinta Ideal yang harus diuji oleh waktu dan kesiapan diri.. Kedua, lamaran dari Kyai Yusuf seorang duda anak dua yang mewakili pengabdian dan harapan Bu Nyai, sehingga Ayna mempertimbangkannya melalui istikharah meski hatinya belum sepenuhnya condong. Dan yang paling menguji adalah lamaran Haryono (Yoyok), seorang pengusaha kaya yang melambangkan godaan duniawi dan paksaan dari pamannya yang serakah. Penerimaan Ayna terhadap Yoyok (meski terpaksa) menjadi titik terberat, tetapi sekaligus bentuk kepatuhan yang diuji. Saat Yoyok berusaha meyakinkannya dengan kemewahan, "Ayna, kamu ini beruntung sekali. Saya akan belikan perhiasan paling mahal di Jakarta," Ayna membalas dengan keteguhan iman, "Maaf, Mas Yoyok. Saya tidak menikah untuk perhiasan. Jika niat pernikahan hanya untuk duniawi, cepat atau lambat, ia pasti akan hancur." Dialog tersebut memperlihatkan ketegasannya dalam menjaga kemurnian niat, sekaligus menegaskan bahwa setiap lamaran yang hadir merupakan gambaran konkret dari dilema moral yang harus diselesaikan melalui doa dan istikharah.
Kisah ini juga memanfaatkan kegagalan pernikahan Ayna dan Yoyok yang terjerat kasus korupsi, sebagai penegasan mengenai konsep takdir (qada dan qadar). Peristiwa pahit tersebut bukan digambarkan sebagai bencana, melainkan sebagai proses penyaringan Ilahi menuju ketentuan terbaik. Perpisahan selama enam tahun antara Ayna dan Gus Afif menjadi periode penting bagi keduanya untuk mematangkan diri. Selama masa itu, cinta mereka tetap suci, dikuatkan oleh keyakinan mendalam. Keyakinan ini tercermin dalam ucapan Gus Afif kepada ibunya: "Saya percaya, jika memang kami ditakdirkan, seberapa jauh pun kami berpisah, Allah akan memutar dunia ini untuk menyatukan kami kembali." Penyatuan kembali mereka di akhir cerita berfungsi sebagai resolusi teologis yang indah, menegaskan bahwa cinta yang didasari oleh iman, kesabaran dalam menghadapi ujian, dan ikhtiar yang benar akan selalu menemukan jalannya, membuktikan bahwa Allah telah menyiapkan jodoh yang terbaik setelah hamba-Nya lulus dari serangkaian ujian keimanan dan keteguhan hati.
Dalam Pendekatan Sosiologi Sastra, yang memposisikan karya sebagai refleksi realitas sosial dan struktur nilai (Sumardjo, 1999: 78), novel Bidadari Bermata Bening berfungsi sebagai pemantul hubungan antara tradisi pesantren dan tantangan modernitas. Sejalan dengan teori Lucien Goldmann, yang menyebutkan bahwa sastra mencerminkan "pandangan dunia" (world vision) dari kelompok sosial tertentu (Goldmann, 1975: 35), Ayna dihadapkan pada persimpangan tiga representasi sosial yang mencerminkan pilihan pandangan hidup: (1) kesalehan institusi pesantren dan kecerdasan religius (melalui Gus Afif), (2) tuntutan moral konvensional (melalui Kyai Yusuf), dan (3) daya pikat kapitalisme modern yang materialistis (melalui Yoyok). Ketiga representasi ini menggambarkan pilihan yang umum dihadapi individu dalam masyarakat yang semakin kompleks. Kasus korupsi yang menjerat Yoyok bukan hanya menjadi puncak naratif, tetapi juga kritik sosial terhadap nilai materialisme yang kontradiktif dengan prinsip kejujuran dan spiritualitas pesantren. Penggunaan tokoh Yoyok yang gagal secara moral berfungsi sebagai kritik terhadap struktur sosial yang rapuh akibat orientasi material tanpa pijakan agama (Ratna, 2004: 151).
Sebagai penutup, novel ini tidak sekadar menghadirkan kisah cinta yang manis, tetapi juga penegasan bahwa kekuatan iman dan keikhlasan merupakan bekal utama dalam menjalani hidup. Tiga lamaran yang diterima Ayna menjadi cerminan ujian moral dan spiritual yang perlu ditempuh setiap individu demi menemukan ketentuan terbaik dari Allah. Akhir cerita ketika Ayna dipertemukan kembali dengan Gus Afif setelah melalui serangkaian ujian hidup menjadi bukti bahwa takdir yang terbaik akan datang pada waktu yang paling tepat bagi mereka yang bersabar dan bertawakal. Karya ini menempatkan sosok perempuan santri sebagai figur yang kuat, teguh, dan independen secara spiritual, serta memperkaya khasanah sastra religius Indonesia dengan pesan mendalam bahwa jodoh adalah rahasia Ilahi yang hanya dapat diraih melalui keteguhan iman dan ketulusan hati.
Daftar Pustaka:
- El Shirazy, H. (2017). Bidadari bermata bening. Republika Penerbit.
- Goldmann, L. (1975). Toward a sociology of the novel. Tavistock Publication.
- Ratna, N. K. (2004). Teori, metode, dan teknik penelitian sastra. Pustaka Pelajar.
- Sumardjo, J. (1999). Catatan kecil tentang sosiologi sastra. ITB Press.
Biodata Penulis:
Nabila Rahma Wardani saat ini aktif sebagai mahasiswa, Program Studi Tadris Bahasa Indonesia, di UIN K.H Abdurrahman Wahid Pekalongan (UIN Gus Dur).