Oleh Olmpia Cleo Aray Fatasay
Masa remaja sering dianggap sebagai masa yang menyenangkan, penuh energi, dan kebebasan. Namun di balik itu, banyak remaja justru mengalami kebingungan, kelelahan batin, dan perasaan hampa yang sulit mereka jelaskan. Tidak sedikit siswa yang menjalani hari-hari sekolah hanya sebagai rutinitas tanpa benar-benar memahami tujuan hidup yang sedang mereka jalani. Fenomena ini kerap luput dari perhatian karena tidak selalu tampak dalam bentuk perilaku bermasalah.
Di sekolah, permasalahan remaja sering kali lebih difokuskan pada aspek akademik dan perilaku. Padahal, salah satu aspek penting yang memengaruhi kesejahteraan remaja adalah aspek spiritual. Ketika aspek spiritual tidak berkembang dengan baik, remaja dapat mengalami krisis makna hidup, merasa jauh dari Tuhan, kehilangan motivasi beribadah, dan tidak memiliki arah hidup yang jelas. Berdasarkan pengalaman pelaksanaan layanan bimbingan klasikal bertema “Pohon Spiritual” di SMA, terlihat bahwa banyak siswa sebenarnya menyimpan kegelisahan spiritual. Melalui refleksi tertulis, beberapa siswa mengungkapkan perasaan hampa, kebingungan akan tujuan hidup, serta menurunnya semangat menjalankan ibadah. Kegiatan ini membuka mata bahwa permasalahan spiritual bukanlah hal yang jarang dialami remaja, hanya saja sering tidak tersampaikan secara langsung.
Salah satu siswa, misalnya, mengungkapkan bahwa ia merasa hidupnya berjalan begitu saja tanpa makna. Sekolah, belajar, dan aktivitas sehari-hari dijalani hanya sebagai kewajiban, bukan kebutuhan yang disadari. Siswa tersebut juga merasa hubungannya dengan Tuhan semakin jauh, namun tidak tahu harus memulai dari mana untuk memperbaikinya. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa remaja tidak selalu membutuhkan nasihat, melainkan pendampingan yang membantu mereka menemukan makna hidupnya sendiri. Di sinilah konseling spiritual memiliki peran penting. Konseling spiritual tidak sekadar membahas ibadah, tetapi membantu siswa merefleksikan pengalaman hidup, mengenali nilai-nilai yang diyakini, serta membangun hubungan yang lebih bermakna dengan Tuhan dan dengan dirinya sendiri. Melalui pendekatan yang empatik dan tidak menghakimi, siswa diajak untuk memahami bahwa setiap pengalaman hidup memiliki makna dan dapat menjadi sarana pertumbuhan diri.
Hasil pendampingan melalui konseling spiritual menunjukkan perubahan awal yang positif. Siswa mulai menyadari bahwa perasaan hampa yang dialaminya bukanlah kelemahan, melainkan tanda bahwa ia sedang mencari makna hidup. Perlahan, siswa mulai mencoba kembali menjalankan praktik spiritual sederhana, melakukan refleksi diri, dan memandang hidup dengan sudut pandang yang lebih positif. Meskipun perubahan ini tidak terjadi secara instan, proses tersebut menjadi langkah awal yang sangat penting.
Pengalaman ini menunjukkan bahwa sekolah tidak hanya berperan sebagai tempat transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga sebagai ruang aman bagi siswa untuk bertumbuh secara utuh, termasuk dalam aspek spiritual. Layanan bimbingan dan konseling yang mengintegrasikan nilai-nilai spiritual dapat membantu siswa menghadapi krisis makna hidup yang sering muncul pada masa remaja.
Pada akhirnya, memperhatikan kesehatan spiritual siswa berarti membantu mereka menemukan arah hidup, ketenangan batin, dan harapan masa depan. Ketika remaja mampu memaknai hidupnya dengan lebih baik, mereka tidak hanya menjadi siswa yang lebih siap belajar, tetapi juga individu yang lebih kuat dalam menghadapi kehidupan.
Biodata Penulis:
Olmpia Cleo Aray Fatasay saat ini aktif sebagai mahasiswa, Bimbingan dan Konseling, di Universitas Sebelas Maret Surakarta.