Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Lonjakan Coffee Shop di Solo Ubah Pola Nongkrong Warga Kota

Yuk rasakan budaya nongkrong baru di Solo! Coffee shop modern hadir menyemarakkan kota, tempat berkumpul, bekerja, dan berbagi cerita.

Oleh Esterlin Merrinov Putri Dewanti

Solo berubah cepat dalam beberapa tahun terakhir. Kota yang dulu identik dengan wedangan kini menjadi kota penuh coffee shop. Perubahan ini tidak terjadi pelan. Pertumbuhan kedai kopi berlangsung masif. Deretan kafe baru muncul di hampir setiap sudut kota. Fenomena ini ikut mengubah pola nongkrong warga, terutama generasi muda.

Dalam dua tahun terakhir, jumlah coffee shop di Solo meningkat signifikan. Pertumbuhan terbesar terlihat di sekitar Slamet Riyadi, Manahan, Laweyan, dan Jajar. Kawasan itu kini menjadi koridor kopi yang hidup hingga malam hari.

Lonjakan Coffee Shop di Solo Ubah Pola Nongkrong Warga Kota

Pengunjung coffee shop juga semakin beragam. Bukan hanya warga lokal, tetapi juga mahasiswa dan pekerja dari luar kota yang beraktivitas di Solo. Tren kerja fleksibel dan tugas kuliah berbasis daring membuat kafe menjadi tempat yang nyaman untuk menyelesaikan pekerjaan.

Gen Z menjadi kelompok yang paling sering memadati ruang kopi. Mereka menggunakan coffee shop sebagai tempat belajar, bekerja, dan berkumpul. Suasana tenang dan interior estetik membuat mereka betah berlama-lama. Banyak yang memilih tempat dengan pencahayaan baik, musik lembut, dan fasilitas internet stabil.

Preferensi ini mendorong pemilik kedai kopi menyajikan konsep yang unik. Ada kafe bertema minimalis Jepang, ada yang menonjolkan nuansa Jawa modern, hingga kafe yang menggabungkan studio foto dengan ruang nongkrong. Semua berlomba menjadi spot pilihan anak muda yang gemar mencari tempat nyaman dan menarik.

Jalan Slamet Riyadi menjadi contoh paling mencolok. Kawasan yang dulu didominasi perkantoran kini dipenuhi barisan kafe dengan berbagai konsep. Saat malam tiba, kursi teras kafe hampir selalu terisi. Aktivitas berlangsung hingga larut, menunjukkan betapa pentingnya kafe sebagai ruang publik baru.

Pertumbuhan coffee shop juga menggerakkan ekonomi lokal. Banyak pelaku usaha kecil ikut terlibat dalam ekosistem kopi, mulai dari produsen pastry, roastery lokal, hingga pembuat furnitur dan dekorasi interior. Beberapa kafe bahkan menggandeng UMKM makanan tradisional sebagai mitra.

Di sisi lain, fenomena kopi keliling juga semakin terlihat. Gerobak kopi sederhana bermunculan di berbagai kawasan permukiman dan titik keramaian. Harganya yang terjangkau membuatnya diminati anak muda yang ingin suasana santai tanpa harus ke kafe besar.

Meski begitu, muncul pertanyaan tentang posisi wedangan di tengah perkembangan kafe modern. Apakah budaya tradisional itu tersisih? Banyak pengamat meyakini bahwa wedangan dan coffee shop memiliki fungsi berbeda. Wedangan tetap menjadi ruang interaksi yang akrab, sementara coffee shop dipilih untuk bekerja, belajar, atau melepas penat. Keduanya berjalan berdampingan dan memperkaya ruang sosial kota.

Tren ini juga memengaruhi mobilitas anak muda. Mereka banyak menghabiskan waktu di luar rumah, berpindah dari satu kafe ke kafe lain. Aktivitas harian sering terbagi di antara rumah, kampus atau kantor, lalu coffee shop. Ruang kopi pun menjadi bagian penting dari rutinitas.

Perubahan ini turut menghidupkan kawasan yang sebelumnya sepi. Bangunan lama diberi sentuhan baru lalu disulap menjadi kafe bertema industrial atau modern. Ruang-ruang kecil di gang sempit berubah menjadi tempat berkumpul yang nyaman.

Namun, pertumbuhan yang cepat membawa tantangan. Persaingan ketat membuat tidak semua kafe dapat bertahan lama. Banyak yang harus menghadirkan inovasi agar tidak ditinggalkan pengunjung. Konsumen muda cenderung cepat berpindah tempat, sehingga kualitas layanan dan konsistensi pengalaman menjadi kunci.

Solo kini memasuki era baru budaya nongkrong. Banyak pekerja kreatif dari kota lain memilih Solo sebagai tempat singgah untuk bekerja sambil menikmati suasana yang lebih tenang. Ini membuat kota semakin terbuka dan dinamis.

Fenomena ini menunjukkan bahwa perubahan gaya hidup berjalan selaras dengan perkembangan ruang kota. Solo tidak hanya dikenal sebagai kota seni dan tradisi, tetapi juga sebagai kota perjumpaan dan ruang kreatif. Coffee shop menjadi simbol perubahan tersebut, hadir sebagai bagian dari aktivitas harian warga.

Pada akhirnya, pertumbuhan kafe memberi gambaran tentang bagaimana masyarakat beradaptasi dengan kebutuhan zaman. Mereka membutuhkan ruang yang nyaman untuk bekerja, belajar, dan berbagi cerita. Coffee shop menjawab kebutuhan itu. Dari Slamet Riyadi hingga Laweyan, kedai kopi telah menjadi bagian dari denyut Kota Solo.

© Sepenuhnya. All rights reserved.