Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Makanan Khas Wonogiri: Sederhana, Murah, tapi Bikin Kangen

Mari jelajahi kuliner Wonogiri yang merakyat—dari Tiwul hingga Jangan Lombok—makanan yang selalu berhasil memanggil rasa pulang.

Oleh Lintang Sabila Ramadhani

Ada satu hal yang sering dirasakan perantau dari Wonogiri: rindu makanannya. Bukan karena makanannya mewah atau penuh bumbu mahal, tapi justru karena ia sederhana, apa adanya, dan mengingatkan pada kehangatan rumah. Makanan-makanan khas Wonogiri tidak pernah berusaha tampil berlebihan. Ia hadir dengan cara yang paling jujur—murah, merakyat, tapi selalu berhasil membuat orang ingin pulang.

Sebut saja tiwul, makanan yang dulu dianggap sebagai “teman masa sulit”, sekarang justru dicari sebagai hidangan nostalgia. Tiwul dibuat dari gaplek, bahan yang diolah dengan sabar dan telaten. Rasanya manis-gurih kalau dimakan dengan gula merah atau kelapa. Banyak orang yang tumbuh dengan tiwul di meja makan rumahnya. Ada yang menyantapnya sebagai pengganti nasi, ada yang menjadikannya camilan sore. Setiap suapan sering kali memanggil kenangan lama—suara ayam sore hari, angin desa yang pelan, atau obrolan ringan di dapur. Tiwul bukan hanya makanan; ia memeluk ingatan.

Tiwul

1. Tiwul

Di samping itu, ada besengek yang tampil lebih berani. Warna kuahnya tebal, aromanya langsung menyapa dari kejauhan. Besengek biasanya dibuat dari tempe, ayam, atau jeroan, lalu dimasak dengan santan dan bumbu kacang. Hidangan ini sering muncul di acara-acara penting, dari syukuran sampai kenduri keluarga. Banyak orang mengingat besengek sebagai masakan ibu atau nenek—yang selalu sigap masak dari pagi demi menyiapkan satu panci besar untuk tamu. Rasa gurih dan pedasnya seperti menegaskan bahwa makanan tidak harus rumit untuk meninggalkan kesan.

Besengek

2. Besengek

Lalu ada jangan lombok, sayur santan yang sederhana sekali. Isinya hanya cabai besar, tempe, dan bumbu yang tidak macam-macam. Tapi kesederhanaannya justru membuat ia disukai. Banyak perantau yang pulang kampung dan langsung mencari jangan lombok sebagai hidangan penyambut. Rasanya sehangat sapaan pertama setelah lama tidak pulang. Makanan ini seperti bisikan kecil yang berkata, “Kamu sudah di rumah.”

Jangan Lombok

3. Jangan Lombok

Selain yang disajikan di meja makan keluarga, ada kuliner khas Wonogiri yang dikenal luas di luar daerah, misalnya bakso Wonogiri. Teksturnya kenyal tapi tidak keras, kuahnya ringan tapi gurih. Banyak penjual di kota besar memakai label “Wonogiri”, dan orang langsung tahu maksudnya: bakso yang rasanya aman, pas, dan bikin ketagihan. Tetapi bagi orang Wonogiri sendiri, bakso bukan hanya soal rasa. Ada kenangan nongkrong di warung kecil, makan bareng teman sekolah, atau sekadar numpang ngobrol dengan pemilik warung yang ramah seperti tetangga sendiri.

Bakso Wonogiri

4. Bakso Wonogiri

Untuk teman sarapan, ada cabuk rambak yang murah meriah tapi tidak pernah gagal membuat orang tersenyum. Ketupat kecil yang disiram saus wijen lalu dimakan dengan karak gurih—kombinasi sederhana yang bikin banyak orang terkejut karena rasanya unik. Cabuk rambak sering dijumpai di pasar, menjadi camilan sambil jalan pagi atau teman minum teh hangat. Makanan ini tidak heboh, tidak viral, tapi selalu punya tempat di hati warganya.

Cabuk Rambak

5. Cabuk Rambak

Hal yang membuat makanan khas Wonogiri terasa berbeda bukan hanya rasanya, tapi cara ia hadir dalam kehidupan sehari-hari. Makanan-makanan ini lahir dari kebiasaan, dari tradisi yang diwariskan, dan dari tangan-tangan yang memasak tanpa tergesa. Sederhana sejak dulu, dan tetap sederhana sampai hari ini. Justru karena kesederhanaan itu, ia menjadi pengingat tentang rumah, tentang keluarga, dan tentang masa kecil yang berjalan pelan.

Di luar sana, dunia kuliner berubah cepat. Banyak makanan baru bermunculan dengan tampilan menarik dan harga selangit. Tapi ketika rindu mendekat, yang dicari tetap makanan seperti tiwul, jangan lombok, besengek, dan teman-temannya. Makanan yang tidak berpretensi apa-apa, tapi bisa mengisi perut sekaligus menghangatkan perasaan.

Mungkin itulah alasan mengapa makanan khas Wonogiri selalu dirindukan. Ia tidak mencoba memikat dengan kemewahan. Ia memikat dengan kejujuran. Murah, sederhana, tapi selalu punya cara untuk membuat orang ingin kembali. Dan di tengah hidup yang serba cepat, makanan seperti ini menjadi pengingat bahwa hal-hal paling berarti sering kali justru yang paling sederhana.

Biodata Penulis:

Lintang Sabila Ramadhani saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Sebelas Maret.

© Sepenuhnya. All rights reserved.