Oleh Aisyah Labibah
Pemalang sering hanya dianggap sebagai tempat singgah di jalur Pantura. Daerah yang cepat dilewati truk, bus malam, dan para peloncong yang dikejar waktu. Tapi kalau kamu mau berhenti sebentar, Pemalang menyambut dengan suasana yang berbeda, aroma laut yang lembut, angin sawah yang tenang, sampai wangi kuah panas dari warung pinggir jalan yang langsung menggugah selera.
Di sini, makanan bukan sekadar urusan kenyang. Kuliner jadi cara Pemalang bercerita tentang Sejarah, budaya, dan kebiasaan masyarakatnya. Dari makanan berkuah yang hangat sampai jajanan manis yang diwariskan turun-temurun, semuanya menyimpan kisah yang layak ditemukan oleh siapa pun yang berkunjung.
1. Nasi Grombyang: Hidangan Legendaris yang “Menari” dalam Kuah
| Sumber: jatengprov.go.id |
Nasi Grombyang Adalah kuliner yang paling melekat dengan identitas Pemalang. Nama “grombyang” merujuk pada gerakan kuahnya yang terlihat bergoyang ketika mangkuk diangkat, karena jumlah kuahnya lebih banyak dari nasinya. Jika kamu terbiasa dengan soto atau rawon, Grombyang berada di antara keduanya. Kuahnya hitam kecokelatan seperti rawon, tetapi terasa lebih ringan dan segar.
Rahasia kuahnya ada pada kluwek dan rempah, yang menghasilkan aroma hangat dan cita rasa gurih. Potongan daging sapi yang kecil-kecil memudahkan kita menyendok tanpa harus memotong lagi. Biasanya, seporsi Grombyang disajikan bersama sate babat atau daging yang dibakar manis dan gurih, kombinasi yang membuat pengalaman makan semakin lengkap.
Di Pemalang, Grombyang bukan sekadar makanan. Ini Adalah identitas, kebanggaan, dan memori kolektif. Banyak warga percaya bahwa seseorang belum “sah” singgah di Pemalang kalau belum mencicipi hidangan bergoyang ini.
2. Lontong Dekem: Kuah Kuning Hangat yang Memeluk Lidah
| Sumber: Instagram | @jajananiin |
Lontong Dekem adalah kuliner yang jarang ditemukan di daerah lain, sehingga membuatnya terasa Istimewa. Nama “dekem” punya dua versi cerita, ada yang bilang lontongnya ‘ndekem” atau tenggelam dalam kuah, ada juga yang bilang berasal dari kebiasaan penjual zaman dulu yang duduknya bersila (ndekem) saat melayani pelanggan. Apa pun asal-usulnya, Lontong Dekem tetap menjadi sajian yang melekat di hati warga Pemalang.
Kuah santan kuning yang gurih menjadi ciri utama sajian ini. Bumbunya kuat tetapi tidak enek, membuatnya cocok disantap kapan saja, baik pagi, siang, atau malam. Lontongnya dipotong besar-besar dan benar-benar terendam dalam kuah, sehingga menyerap rasa dengan sempurna. Isian lain seperti suwiran ayam, tauge segar, serundeng, bawang goreng, dan kerupuk mie memberikan tekstur yang berlapis-lapis.
Setiap suapan memberikan rasa hangat yang menenangkan, seperti pelukan setelah perjalanan jauh di jalur pantura yang panas dan berdebu. Lontong Dekem adalah hidangan yang membuat kamu merasa “pulang”, meski baru pertama menginjakkan kaki di Pemalang.
3. Kue Kamir: Perpaduan Budaya Arab-Jawa dalam Bentuk Camilan Manis
| Sumber: Instagram | @resepresepkue |
Kamir adalah kue bulat berwarna cokelat yang berasal dari akulturasi budaya Arab dan Jawa di Comal, Pemalang. Sekilas, bentuknya mirip pancake, tetapi rasanya punya karakter tersendiri. Terbuat dari adonan tepung, telur, gula, ragi, dan tape singkong, Kamir memiliki aroma wangi yang khas, tekstur empuk, dan rasa manis yang halus dengan sedikit asam dari tape.
Proses pembuatannya cukup menarik, yakni adonan difermentasi terlebih dahulu, kemudian dipanggang perlahan di atas wajan datar hingga bagian luar berwarna kecokelatan tetapi dalamnya tetap lembut. Kini, kamir memiliki banyak variasi rasa, seperti cokelat, keju, kacang, bahkan pisang, tetapi rasa original tetap punya tempat paling Istimewa.
Kamir bukan hanya soal rasa. Ia membawa cerita. Makanan ini lahir dari pertemuan budaya, menunjukkan bagaimana pendatang Arab dan masyarakat lokal saling berbagi kebiasaan hingga menghasilkan kuliner baru yang kini menjadi ikon Comal.
4. Apem Comal: Kue Tradisi yang Menenangkan Hati
| Sumber: visitjawatengah.jatengprov.go.id |
Kue Apem adalah salah satu kuliner tradisional Pemalang yang memiliki makna mendalam, terutama saat bulan Ramadhan. Kata “apem” dipercaya berasal dari kata Arab ‘afuan yang berarti “ampunan”, sehingga kue ini sering menjadi simbol permohonan maaf menjelang Hari Raya.
Bahan-bahannya sederhana, yakni tepung beras, santan, gula, dan ragi. Namun, proses pembuatannya memerlukan ketelatenan untuk mendapatkan tekstur yang lembut dan cita rasa manis yang tidak berlebihan. Apem tidak menggunakan bahan pengawet, sehingga hanya bertahan sehari. Seolah mengajarkan bahwa kebaikan dan niat tulus harus segera disampaikan, tidak boleh ditunda.
Biasanya, apem disantap bersama pisang rebus, menghasilkan kombinasi manis, lembut, dan sedikit asam yang menenangkan. Bagi banyak keluarga di Pemalang, Apem Comal bukan sekedar makanan, melainkan bagian dari tradisi, kebersamaan, dan kehangatan yang muncul setiap Ramadhan.
Keempat kuliner tersebut mungkin berbeda bentuk, rasa, dan waktu penyajiannya, tetapi semuanya punya benang merah, kejujuran pada bahan, kedekatan dengan masyarakat, dan cerita yang tumbuh dari kehidupan sehari-hari.
Pemalang membuktikan bahwa makanan tidak hanya soal rasa, tetapi juga tentang pengalaman, memori, dan identitas budaya. Jadi, jika suatu hari kamu melintas di jalur Pantura, jangan terburu-buru. Berhentilah sebentar, cicipi kuliner Pemalang, dan biarkan makanan-makanan ini bercerita kepada kamu, perlahan, hangat, dan penuh rasa.
Biodata Penulis:
Aisyah Labibah saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Sebelas Maret. Penulis bisa disapa di Instagram @syahlabeeb