Oleh Sita Aishah Putri
Kehidupan modern saat ini, pertengkaran antara anak dan orang tua kerap berawal dari persoalan-persoalan sederhana, namun berkembang menjadi jarak emosional yang lebih dalam akibat komunikasi yang tidak berjalan secara efektif. Anak sering kali merasa tidak didengar dan kurang dipahami, sementara orang tua merasa perannya tidak dihargai, sehingga interaksi dalam keluarga menjadi kaku dan penuh ketegangan. Kondisi ini bertentangan dengan fungsi ideal keluarga sebagai ruang yang aman bagi setiap anggotanya untuk saling memahami, mengekspresikan perasaan, dan tumbuh bersama. Situasi inilah yang kemudian menuntut kehadiran bimbingan dan konseling keluarga sebagai sarana reflektif untuk membantu keluarga menata kembali pola komunikasi, memahami dinamika perkembangan masing-masing anggota, serta membangun hubungan yang lebih sehat dan saling mendukung.
Dalam kondisi keluarga yang sedang dilanda konflik, kehadiran konselor bukan untuk menghakimi atau langsung memberi solusi, tetapi menjadi pemandu refleksi bagi setiap anggota keluarga. Konselor membantu keluarga untuk menelaah kembali apa yang sebenarnya terjadi, apa yang dirasakan masing-masing pihak, dan bagaimana mereka bisa saling memahami tanpa saling menyalahkan. Proses ini dimulai dari mendengarkan sebuah langkah sederhana tetapi sangat penting agar setiap anggota keluarga merasa didengar dan diakui. Melalui pendekatan seperti ini, konselor membantu keluarga menyadari pola komunikasi yang selama ini tidak efektif dan mendorong mereka menemukan cara baru untuk membangun hubungan yang lebih sehat.
Memasuki masa remaja, individu mulai dihadapkan pada tahap pencarian identitas diri atau identity versus role confusion seperti yang dijelaskan oleh Erik Erikson. Pada fase ini, remaja berusaha memahami siapa dirinya, apa nilai-nilai yang ia pegang, serta bagaimana ia ingin dilihat oleh dunia. Proses ini sering kali disertai rasa ingin tahu yang besar dan keinginan untuk mencoba hal-hal baru. Tak jarang, upaya remaja dalam menemukan jati diri justru menimbulkan gesekan dengan orang tua yang masih memegang pola pikir dan aturan lama. Remaja cenderung ingin diakui oleh lingkungan sebayanya dan mengikuti tren zaman, sedangkan orang tua khawatir jika kebebasan itu justru membawa anak pada pengaruh negatif. Di sinilah muncul dilema yang cukup rumit terlalu protektif dapat membuat anak merasa terkekang dan kehilangan ruang untuk berkembang, sementara memberi kebebasan tanpa arahan juga berisiko jika remaja belum siap bertanggung jawab. Menurut Erikson, kegagalan melewati tahap ini dapat menyebabkan role confusion atau kebingungan identitas yang berdampak pada kesulitan memahami diri, kehilangan arah tujuan hidup, dan lemahnya kemampuan menjalin hubungan sosial yang sehat. Oleh karena itu, keluarga perlu belajar menyeimbangkan antara pengawasan dan kepercayaan, antara batasan dan kebebasan. Dalam situasi seperti ini, peran konselor keluarga menjadi penting untuk membantu kedua pihak, yaitu orang tua dan anak. Untuk memahami dinamika perkembangan remaja serta menemukan pola komunikasi yang lebih sehat dan saling menghargai.
Dalam layanan bimbingan dan konseling keluarga, konselor memiliki peran yang sangat penting sebagai penengah, pendengar, sekaligus pemandu perubahan dalam keluarga. Konselor tidak hanya hadir ketika masalah besar terjadi, tetapi juga berfungsi membantu keluarga memahami dinamika yang muncul dalam keseharian. Berdasarkan teori perkembangan Erik Erikson, setiap anggota keluarga melewati tahap perkembangan psikososial yang berbeda, anak-anak belajar percaya dan mandiri, remaja mencari identitas, sedangkan orang tua berperan dalam mengembangkan identitas diri remaja. Orang tua yang terlalu protektif, otoriter dan membatasi ruang gerak remaja akan berdampak pada remaja yang tidak akan mampu memaknai pribadinya secara utuh. Remaja akan mengalami kebingungan (confusion) untuk mencari pedoman atau acuan dalam menjalani masa remajanya (Solobutina, 2020). Perbedaan tahap ini sering kali memunculkan kesalahpahaman dan konflik, seperti remaja yang dianggap “membangkang” padahal sedang berproses menemukan jati diri. Di sinilah peran konselor menjadi penting: membantu keluarga melihat bahwa konflik bukan kegagalan, melainkan tanda bahwa ada hal yang perlu dipahami bersama.
Menurut Halimatussakdiah (2025), konselor keluarga membantu membangun kembali keharmonisan dengan menumbuhkan komunikasi yang terbuka, empati, dan saling menghargai di antara anggota keluarga. Konselor juga menolong orang tua belajar mendengarkan tanpa menghakimi serta mengajak anak mengekspresikan diri dengan cara yang sehat. Sementara itu, Putri, Silviany, Nadhirah, dan Sugandhi (2023) menjelaskan bahwa konselor keluarga berperan dalam memperbaiki sistem keluarga secara menyeluruh mulai dari memperkuat ketahanan keluarga, mengatur kembali peran dan tanggung jawab, hingga menumbuhkan kesadaran bahwa masalah satu anggota keluarga dapat memengaruhi kesejahteraan yang lain. Dalam prosesnya, konselor membantu keluarga belajar memulihkan hubungan, membangun kembali kepercayaan, dan menciptakan suasana rumah yang aman secara emosional bagi semua anggotanya. Dengan begitu, bimbingan dan konseling keluarga bukan hanya berfokus pada penyelesaian masalah, tetapi juga menumbuhkan kebersamaan, pengertian, dan cinta yang menjadi dasar kesehatan mental setiap anggota keluarga.
Konseling keluarga menjadi ruang penting bagi setiap anggota keluarga untuk kembali belajar memahami, mendengarkan, dan tumbuh bersama. Di tengah kehidupan modern yang serba cepat, banyak keluarga yang tanpa sadar kehilangan waktu untuk berkomunikasi secara hangat. Kehadiran konselor menjadi jembatan yang membantu mereka menemukan kembali makna kebersamaan. Konselor tidak hanya berperan dalam menyelesaikan konflik, tetapi juga menumbuhkan kesadaran bahwa keharmonisan keluarga lahir dari keterbukaan, rasa saling menghargai, dan kemauan untuk berubah. Keluarga yang bersedia terlibat dalam proses bimbingan dan konseling akan lebih mampu menghadapi tantangan hidup dengan tenang dan saling mendukung. Dengan demikian, peran konselor keluarga menjadi sangat berarti dalam menjaga keluarga agar tetap menjadi tempat yang aman, penuh kasih, dan menjadi sumber kekuatan bagi setiap anggotanya.
Daftar Pustaka:
- Halimatussakdiah. (2025). The Role of Counselors in Enhancing Family Harmony: A Review of Family Counseling Approaches. Socio-Economic and Humanistic Aspects for Township and Industry, 3(3), 601–207. https://doi.org/10.59535/sehati.v3i3.540
- Kamilla, K. N., Saputri, A. N. E., Fitriani, D. A., Zahrah, S. A. A., Andryana, P. F., Ayuningtyas, I., & Firdausia, I. S. (2022). Teori Perkembangan Psikososial Erik Erikson. Early Childhood Journal, 3(2), 77-87.
- Mokalu, V. R., & Boangmanalu, C. V. J. (2021). Teori Psikososial Erik Erikson: Implikasinya Bagi Pendidikan Agama Kristen Di Sekolah. Vox Edukasi, 12(2), 548423.
- Mokalu, V.R. and Boangmanalu, C.V.J. (2021) 'TEORI PSIKOSOSIAL ERIK ERIKSON: IMPLIKASINYA BAGI PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DI SEKOLAH,' VOX EDUKASI Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, 12(2), pp. 180–192. https://doi.org/10.31932/ve.v12i2.1314.
- Putri, A. D., Silviany, I., Nadhirah, N. A., & Sugandhi, N. M. The Role of Family Counseling in Developing Children's Mental Health. Psikoeduko: Jurnal Psikologi Edukasi dan Konseling, 3(2), 17-30.
Biodata Penulis:
Sita Aishah Putri saat ini aktif sebagai mahasiswa UNS.