Oleh Nailun Najwa Alfajriah
Sering kali kita membayangkan keluarga bahagia sebagai sebuah lukisan yang statis. Namun, realitas sosiologis dan psikologis menunjukkan sebaliknya. Keluarga adalah sistem yang hidup, bergerak, dan terus berubah. Dalam pandangan saya, banyak konflik keluarga terjadi bukan semata karena hilangnya rasa cinta, melainkan karena kegagalan beradaptasi terhadap perubahan fase kehidupan. Di sinilah peran konselor menjadi sangat krusial, bukan sekadar sebagai "pemadam kebakaran" saat konflik meledak, tetapi sebagai navigator yang memahami peta perjalanan keluarga.
Mengapa Keluarga "Berguncang"?
Opini ini didasarkan pada Teori Perkembangan Keluarga (Family Development Theory). Teori klasik yang dipelopori oleh Evelyn Duvall (1977) ini memandang keluarga sebagai entitas yang bergerak melalui waktu dalam tahapan yang dapat diprediksi. Duvall membagi siklus hidup keluarga menjadi 8 tahap, mulai dari pasangan baru menikah (beginning families), keluarga dengan anak usia prasekolah, hingga keluarga di masa tua (aging families).
Setiap tahapan ini membawa apa yang disebut Duvall sebagai Tugas Perkembangan (Developmental Tasks). Kegagalan dalam memenuhi tugas di satu tahap dapat menyebabkan ketidakbahagiaan, penolakan sosial, dan kesulitan dalam menempuh tahap selanjutnya (Duvall,
1977). Berdasarkan kerangka teori ini, berikut adalah analisa mengenai peran strategis konselor dalam layanan Bimbingan dan Konseling (BK) Keluarga:
1. Konselor sebagai Edukator: Menormalisasi Stres Normatif
Banyak keluarga mengalami kecemasan berlebih saat menghadapi transisi. Misalnya, orang tua yang panik melihat perubahan drastis perilaku anak remajanya. Menurut Carter dan McGoldrick (2005) dalam buku seminal mereka The Expanded Family Life Cycle, keluarga menghadapi dua jenis stres: stres vertikal (warisan emosional/trauma masa lalu) dan stres horizontal (peristiwa perkembangan dan kejadian tak terduga).
Peran konselor di sini adalah memberikan psikoedukasi bahwa tekanan yang muncul saat transisi tahap (misalnya dari fase anak-anak ke fase remaja) adalah stres normatif atau wajar. Tanpa intervensi konselor yang menjelaskan peta ini, keluarga sering terjebak menyalahkan satu individu (mencari kambing hitam), padahal yang terjadi adalah friksi akibat pergeseran roda perkembangan.
2. Konselor sebagai Fasilitator "Restrukturisasi Batasan"
Setiap perpindahan tahap menuntut re-negosiasi aturan main atau boundaries. Mengutip jurnal dari Goldenberg dan Goldenberg (2013), fungsi utama konseling keluarga adalah membantu anggota keluarga mendefinisikan ulang peran mereka agar sistem keluarga tetap berjalan fungsional (homeostatis).
Contoh kasusnya adalah pada fase Launching Center (melepas anak dewasa). Orang tua harus mengubah peran dari "pengasuh aktif" menjadi "pendukung jarak jauh". Jika orang tua gagal melakukan letting go, akan terjadi konflik enmeshment (terlalu terikat) yang menghambat kemandirian anak. Konselor berperan memfasilitasi dialog untuk meruntuhkan aturan lama yang sudah usang dan membangun kesepakatan baru yang relevan dengan tahap perkembangan saat ini.
3. Konselor sebagai Detektor "Tugas yang Belum Tuntas"
Teori perkembangan menekankan kontinuitas. Masalah di satu tahap seringkali adalah residu dari tahap sebelumnya. Sebuah studi dalam Journal of Family Theory & Review oleh Rodgers dan White (1993) menekankan bahwa dinamika keluarga bersifat akumulatif. Jika pasangan gagal membangun komunikasi efektif di tahap awal pernikahan (Tahap 1), masalah tersebut tidak hilang, melainkan akan teramplifikasi saat hadirnya anak (Tahap 2).
Konselor yang kompeten menggunakan teori ini untuk melakukan asesmen mendalam. Mereka tidak hanya menyelesaikan pertengkaran hari ini, tetapi menggali akar masalah dari developmental tasks masa lalu yang belum tuntas, membantu keluarga "melunasi hutang" perkembangan tersebut.
Biodata Penulis:
Nailun Najwa Alfajriah saat ini aktif sebagai mahasiswa di UNS.