Kenapa Tuhan Menciptakan Rambut di Kepala Ibu
2025
Analisis Puisi:
Puisi “Kenapa Tuhan Menciptakan Rambut di Kepala Ibu” karya Ehfrem Vyzty adalah salah satu karya yang lahir dari ruang kemanusiaan yang paling pilu. Ditulis sebagai ungkapan empati dan duka untuk saudara-saudari yang terkena bencana, puisi ini menyuarakan pergulatan batin manusia ketika berhadapan dengan kehancuran, kesedihan, dan rasa bersalah atas kerusakan alam yang sering kali melibatkan peran manusia sendiri.
Lewat bahasa yang puitis, emosional, dan penuh simbol, penyair mengajak pembaca menyelam ke dalam perenungan mendalam tentang kemanusiaan, moral, dan kasih sayang Tuhan.
Tema
Tema utama puisi ini adalah penyesalan manusia terhadap kerusakan alam dan duka mendalam akibat bencana yang menimpa sesama, yang kemudian dihubungkan dengan simbol keibuan sebagai bentuk kasih sayang dan perlindungan Tuhan.
Tema lainnya yang tampak adalah:
- solidaritas dan empati terhadap korban bencana,
- introspeksi moral,
- hubungan manusia–Tuhan,
- serta kritik terhadap kelalaian manusia menjaga alam.
Puisi ini bercerita tentang duka yang dirasakan ketika bencana alam menimpa saudara-saudari sebangsa, membuat tubuh-tubuh yang dulu kuat kini tak berdaya. Penyair menggambarkan kesedihan kolektif yang “menangis deras melebihi gerimis mana pun”.
Namun lebih dari itu, puisi ini juga bercerita tentang kesadaran manusia bahwa kerusakan yang terjadi sering kali merupakan akibat dari sikap manusia sendiri yang “membabat habis rambut ibu”—sebuah metafora untuk merusak alam atau merusak kasih Tuhan.
Di akhir puisi, ada titik balik: sebuah permohonan ampun disertai pemahaman akan alasan Tuhan menciptakan “rambut” di kepala ibu, yakni simbol perlindungan, kelembutan, dan pengayoman.
Makna Tersirat
Puisi ini menyimpan makna tersirat yang kuat:
- Alam sebagai Ibu: “Rambut di kepala ibu” tersirat sebagai hutan, pepohonan, atau segala bentuk pelindung alam yang seharusnya melindungi manusia dari bencana. Ketika manusia merusaknya, manusia turut menciptakan malapetaka bagi diri sendiri.
- Kasih Tuhan yang ditafsir sebagai perlindungan: Rambut ibu juga bisa dimaknai sebagai rahmat Tuhan—sesuatu yang lembut, meneduhkan, dan melindungi. Manusia sering tidak menyadarinya sampai terlambat.
- Tanggung jawab moral manusia: Bencana dilihat tidak hanya sebagai peristiwa alam, tetapi juga sebagai refleksi atas dosa-dosa ekologi yang dilakukan manusia.
- Kesedihan kolektif sebagai pemantik perubahan: Duka seharusnya melahirkan kesadaran dan perbaikan, bukan sekadar ratapan.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini sangat duka, sendu, penuh penyesalan, dan berat oleh kesadaran moral. Setiap larik membawa nuansa:
- getir,
- muram,
- sedih yang menumpuk,
- dan perenungan spiritual.
Kata-kata seperti “jerit tangis”, “tak berdaya”, “gerimis”, “amukan semesta”, dan “mengoyak hati” memperkuat suasana tersebut.
Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi
Beberapa pesan penting yang dapat ditangkap:
- Manusia harus menjaga alam, karena kerusakan lingkungan akan kembali pada manusia sendiri.
- Bencana bukan hanya tragedi alam, tetapi juga alarm moral bagi manusia untuk kembali berbenah.
- Kesedihan harus melahirkan kesadaran, bukan hanya ratapan tanpa perubahan.
- Kasih sayang Tuhan selalu hadir, tetapi manusia harus menjaga anugerah tersebut, diibaratkan sebagai “rambut di kepala ibu”.
- Empati dan solidaritas sangat penting dalam menghadapi musibah yang menimpa saudara-saudari sebangsa.
Imaji dalam Puisi
Puisi ini dipenuhi imaji kuat yang membangun gambaran tragis bencana sekaligus kelembutan kasih Tuhan. Di antaranya:
Imaji visual:
- “denyut nadi ... menjerit tangis”,
- “menghantam duka”,
- “membabat habis rambut ibu”,
- “amukan semesta”.
Imaji auditif:
- “jeritan-jeritan itu melambung”,
- “menjerit tangis”,
memperkuat suasana mencekam.
Majas dalam Puisi
Beberapa majas yang tampak dalam puisi:
Personifikasi:
- “denyut nadi… menjerit tangis” – nadi dipersonifikasikan sebagai makhluk yang mampu menangis.
- “amukan semesta” – semesta digambarkan seperti makhluk hidup yang marah.
Metafora:
- “rambut di kepala ibu” – metafora untuk alam, pepohonan, atau rahmat Tuhan.
- “mengoyak hati” – kesedihan yang digambarkan sebagai sobekan fisik.
Hiperbola:
- “kami menangis deras melebihi gerimis mana pun” – ungkapan kesedihan yang sangat mendalam.
Repetisi:
- Pengulangan frasa “kami” dan “jeritan-jeritan” mempertegas kesedihan kolektif.
Puisi “Kenapa Tuhan Menciptakan Rambut di Kepala Ibu” adalah karya yang mengajak pembaca merenungi hubungan manusia dengan alam, dengan sesama, dan dengan Tuhan. Dengan tema duka, penyesalan, dan kesadaran, puisi ini menyampaikan pesan bahwa bencana tidak hanya mengajarkan kita tentang kehilangan, tetapi juga tentang pentingnya merawat semesta yang menjadi rumah kita bersama.
Biodata Ehfrem Vyzty:
- Ehfrem Vyzty lahir pada tanggal 9 Juni 2003 di Manggarai, Flores, NTT. Ia pernah mengikuti lomba cipta puisi di berbagai media dan pernah mendapat sertifikat sebagai Penulis Terbaik. Beberapa puisi maupun cerpennya telah dibukukan.
- Ehfrem Vyzty merupakan alumni SMAK Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo. Buku perdananya bertajuk “Melukismu dalam Aksara” telah diterbitkan beberapa waktu yang lalu oleh penerbit JSI. Buku berikutnya akan diterbitkan dalam waktu dekat.