Oleh Laylatuz Zahra Ramadhani
Solo itu kecil, tapi punya fenomena sosial yang rasanya lebih cocok muncul di kota-kota besar, kota bayangan yang hanya ada kalau sore menjelang malam. Orang-orang menyebutnya macam-macam, tapi saya lebih suka menyebutnya Solo Bagian Lo Ghue.
Warganya? Agata (Anak Gaul Surakarta) yang aslinya orang Boyolali, Karanganyar, atau Sragen yang mepet perbatasan, tapi begitu masuk Solo langsung berubah persona seolah punya KTP Gladak sejak lahir, terutama ketika melewati kawasan Solsel (Solo Selatan) dan akhirnya mendarat di Slamet Riyadi, jalur utama berlampu rapi yang entah kenapa sukses membuat semua orang merasa 10% lebih urban dibanding 5 menit sebelumnya.
Slamet Riyadi: Catwalk Terbuka yang Tidak Pernah Sepi
Slamet Riyadi itu aneh. Siang bisa terlihat biasa saja, tapi sore berubah jadi semacam catwalk publik. Trotoarnya rapi, lampu jalannya cantik, dan setiap sudut seperti dipasang khusus untuk foto-foto yang nantinya diberi caption pendek macam “vibes” atau “random”. Bahkan kalau hanya duduk menghadap jalan sambil pura-pura mikir masa depan pun sudah cukup membuat seseorang merasa jadi warga kota penuh hak dan kewajiban moral untuk nongkrong. Tidak peduli rumahnya jauh, yang penting vibenya selaras.
Yang lucu justru warga Solo asli sering tidak ikut permainan ini. Mereka lewat saja tanpa niat selfie, tanpa gaya minimalis. Mungkin karena mereka memang sudah “anak kota” sejak lahir, jadi tidak merasakan kebutuhan untuk memamerkan apa pun. Tapi para “pendatang sore” inilah yang bikin Slamet Riyadi seperti kota kecil dalam kota. Belum lagi zona misterius di perempatan depan Novotel tempat yang hampir selalu ramai, tapi tidak ada yang bisa menjelaskan alasannya. Semua orang lewat, tapi tidak ada yang mengaku sengaja ke sana. Mistis.
Bahasa Lo Ghue: Paspor Masuk Kota Imajiner
Tiap kota punya identitas, termasuk bahasa. Di Solo Bagian Lo Ghue, bahasa resminya adalah lo ghue ala Solo. Tidak sekeras Jakarta, tidak semedok bahasa Jawa murni. Ini semacam bahasa hibrida yang lahir karena ingin terdengar urban, tapi tetap ada nuansa “ndesanya” yang disimpan rapat-rapat. Begitu seseorang memakai bahasa ini di kafe, seolah langsung naik level. Kayak dapat stempel “approved to enter metropolitan mode”. Lucu memang, tapi bahasa ini bekerja efektif, ia memisahkan kehidupan di kabupaten dan kehidupan “ketika sudah masuk kota”.
Dan biasanya semuanya dimulai dari satu percakapan sederhana:
“Lu dimana? kesinioo.
Sesingkat itu, tapi langsung mengaktifkan ritual nongkrong sore: ketemu, muter Slamet Riyadi, duduk sebentar, atau sekadar cari vibe sebelum pulang. Kota imajiner ini tidak dibangun lewat perda, tapi lewat bahasa dan gaya hidup.
Kota yang Tidak Dibangun Pemerintah, Tapi Dibangun Gaya
Solo Bagian Lo Ghue lahir dari keinginan orang untuk terlihat sedikit lebih keren dari hidup sehari-hari. Slamet Riyadi bukan cuma jalan besar, ia jadi panggung kecil tempat orang merasa lebih hidup. Dengan Lo Ghue, Solo seolah punya dua kehidupan yang berjalan berdampingan. Kadang kita tinggal di kabupaten. Kadang di kota. Dan ada sore-sore ketika kita tinggal di tempat di antaranya kota imajiner yang hidup di bawah lampu Slamet Riyadi. Itulah Solo Bagian Lo Ghue.
Biodata Penulis:
Laylatuz Zahra Ramadhani saat ini aktif sebagai mahasiswi di Universitas Sebelas Maret.