Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Tetap Berteman Tanpa Kehilangan Keyakinan

Mari belajar memahami konflik spiritual remaja dan pentingnya ruang konseling yang aman untuk menjaga iman sekaligus kesehatan mental.

Oleh Laila Khoiriyyah

Di masa remaja, pertemanan sering kali menjadi ruang paling penting untuk merasa diterima. Kita ingin dianggap “nyambung”, tidak berbeda, dan tidak tertinggal dari lingkungan sekitar. Namun, dari pengalaman mendampingi seorang siswa SMA dalam proses konseling spiritual, saya belajar bahwa pergaulan juga bisa menjadi ruang yang diam-diam menguji keyakinan dan ketenangan batin seseorang. Siswa tersebut berasal dari keluarga religius dan sejak kecil terbiasa menjalankan ibadah. Masalah muncul bukan karena ia melakukan perilaku yang menyimpang, melainkan karena ia sering berada di lingkungan pertemanan yang nilai-nilainya tidak sejalan dengan keyakinannya. Teman-temannya terbiasa mengabaikan ibadah, berbicara kasar, dan melakukan hal-hal yang menurutnya bertentangan dengan ajaran agama. Ia tidak ikut melakukannya, tetapi tetap merasa bersalah, cemas, dan tidak tenang.

Tetap Berteman Tanpa Kehilangan Keyakinan

Di sinilah saya menyadari satu hal penting yaitu konflik spiritual tidak selalu muncul karena kesalahan perilaku, tetapi karena benturan nilai. Banyak remaja yang sebenarnya ingin menjaga keyakinannya, namun bingung bagaimana caranya tetap diterima secara sosial tanpa harus mengorbankan nilai spiritual yang diyakini. Tekanan terbesar yang dirasakan siswa tersebut bukan datang dari teman-temannya secara langsung, melainkan dari dalam dirinya sendiri. Ia takut dianggap tidak asyik, takut dijauhi, dan pada saat yang sama takut kehilangan ketenangan batin. Akibatnya, ia lebih sering memendam perasaan, overthinking, dan merasa ibadahnya tidak lagi setenang dulu. Kondisi ini membuatnya lelah secara emosional dan spiritual.

Melalui proses konseling, muncul pemahaman penting bahwa menjaga nilai spiritual tidak harus selalu berarti menjauh dari lingkungan sosial. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk mengenali batas diri. Seseorang tetap bisa berteman, berinteraksi, dan bersikap baik tanpa harus ikut dalam perilaku yang tidak sejalan dengan keyakinannya. Menjadi berbeda dalam nilai bukanlah sebuah kesalahan, dan tidak selalu berarti menutup diri dari pergaulan. Saya juga belajar bahwa banyak remaja merasa bersalah hanya karena berada di lingkungan yang “tidak ideal”, padahal rasa bersalah itu sering kali muncul bukan karena dosa, melainkan karena ketidakmampuan menerima diri sendiri. Padahal, proses menjaga spiritualitas adalah perjalanan personal yang bertahap, bukan tuntutan untuk selalu sempurna. Ketika seseorang mampu menerima dirinya dengan jujur, ketenangan batin justru lebih mudah hadir.

Dari pengalaman ini, saya percaya bahwa peran bimbingan dan konseling spiritual sangat penting di sekolah. Konseling bukan untuk menghakimi pilihan pergaulan siswa, tetapi untuk membantu mereka memahami konflik batin yang mereka alami dan menemukan cara yang lebih sehat dalam menyikapi perbedaan nilai. Remaja perlu ruang aman untuk berbicara tentang kebingungan iman, rasa bersalah, dan kecemasan tanpa takut dicap lemah atau kurang religius. Pada akhirnya, menjaga nilai spiritual di tengah pergaulan bukan soal menjauh atau melawan, tetapi soal kesadaran diri. Ketika seseorang mengenal apa yang ia yakini, memahami batasannya, dan mampu bersikap jujur pada dirinya sendiri, ia tidak hanya menjaga hubungannya dengan Tuhan, tetapi juga menjaga kesehatan mentalnya. Dan itulah yang seharusnya menjadi tujuan utama dari pendampingan spiritual bagi remaja.

Biodata Penulis:

Laila Khoiriyyah saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Sebelas Maret, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Program Studi Bimbingan dan Konseling.

© Sepenuhnya. All rights reserved.