J.E. Tatengkeng (Jan Engelbert Tatengkeng) merupakan salah satu penyair produktif dalam Angkatan Pujangga Baru. Lahir di Kolongan, Sangihe, Sulawesi Utara, pada 19 Oktober 1907, dan meninggal dunia di Makassar pada 6 Maret 1968, Tatengkeng adalah sosok penyair yang memperkaya khazanah sastra Indonesia dengan puisi-puisinya yang bernuansa religius dan budaya daerahnya.
Latar Belakang dan Pendidikan
Tatengkeng berasal dari keluarga yang sangat religius. Ayahnya merupakan seorang penginjil sekaligus kepala sekolah di Zending, Kepulauan Sangihe Talaud. Pendidikan dasarnya ditempuh di HIS Manganitu, Sulawesi Utara, sebelum melanjutkan ke Christelijk Middakweekschool di Bandung dan Christelijk Hogere Kweekschool di Solo. Di Solo, ia mulai mengenal sastra Belanda, terutama gerakan Tachtigers yang kemudian mempengaruhi gaya penulisannya. Di kota ini pula ia menjabat sebagai pemimpin redaksi surat kabar Rindoe Dendam.
Kiprah dalam Dunia Sastra
Sejak di Solo, J.E. Tatengkeng aktif menulis puisi, esai, dan artikel sastra yang dipublikasikan di berbagai media, termasuk majalah Poedjangga Baroe, Soeara Oemoem, dan Soeloeh Kaoem Moeda. Kumpulan puisinya yang terkenal, Rindoe Dendam, pertama kali diterbitkan pada tahun 1934 dan kembali diterbitkan pada 1974 oleh Pustaka Jaya.
Sebagai bagian dari Angkatan Pujangga Baru, puisi-puisinya banyak mengusung bentuk puisi baru seperti soneta, distikon, tersina, kuartet, dan lainnya. Tatengkeng juga dikenal sebagai salah satu pelopor tipografi puisi yang tidak lazim di zamannya, seperti dalam puisi Lukisan yang berbentuk segitiga menyerupai pohon cemara serta Kuncup yang ditulis dalam baris-baris pendek.
Karier dan Peran dalam Pendidikan
Setelah menyelesaikan pendidikannya di HKS Solo pada 1932, Tatengkeng kembali ke Sangihe dan bekerja sebagai guru Bahasa Indonesia di HIS Tahuna. Di sana, ia memimpin surat kabar pemuda Kristen Tuwa Kona dan aktif berkontribusi di berbagai media lainnya. Setelah beberapa tahun mengajar di Pejati, Sumbawa, ia kembali ke Tahuna pada 1940 dan menjabat sebagai Kepala Schakeschool serta Kepala HIS Tahuna hingga masa perjuangan kemerdekaan.
Dalam perjuangan kemerdekaan, Tatengkeng aktif di bidang politik dan pendidikan. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Muda Pengajaran (1947), Menteri Pengajaran (1948), dan Perdana Menteri Negara Indonesia Timur (1949-1950). Setelah Indonesia kembali menjadi negara kesatuan pada 1950, ia diangkat sebagai Kepala Inspeksi Kebudayaan Provinsi Sulawesi Selatan di Makassar. Tatengkeng juga turut mendirikan Universitas Hasanuddin dan menjabat sebagai Dekan Fakultas Sastra.
Karya-Karya dan Pengaruhnya
Puisi-puisi J.E. Tatengkeng kerap mengandung unsur religius, reflektif, dan nasionalisme. Beberapa puisinya yang terkenal meliputi Hasrat Hati, Laut, O, Bintang, Petang, Sinar dan Bajang, dan Tangis. Puisinya tersebar di berbagai majalah sastra seperti Poedjangga Baroe, Boedaja, Pembangoenan, Zenith, Siasat, Indonesia, dan Sulawesi. Karyanya sering disejajarkan dengan penyair besar seperti Amir Hamzah, Armijn Pane, dan Sutan Takdir Alisjahbana.
H.B. Jassin, Ajip Rosidi, dan A. Teeuw menganggap Tatengkeng sebagai penyair yang penting dalam Angkatan Pujangga Baru. H.B. Jassin bahkan menyatakan bahwa jika Amir Hamzah tidak ada, maka Tatengkeng adalah sosok yang pantas menggantikannya.
J.E. Tatengkeng adalah salah satu penyair yang memiliki peran besar dalam perkembangan sastra Indonesia, khususnya dalam Angkatan Pujangga Baru. Dengan latar belakang religius yang kuat serta pengaruh sastra Belanda, ia menciptakan puisi-puisi yang unik dan berkesan. Selain sebagai penyair, ia juga dikenal sebagai pendidik dan politisi yang berperan aktif dalam perjuangan kemerdekaan dan perkembangan pendidikan di Indonesia. Karya-karyanya yang sarat makna masih terus dikenang dan menjadi bagian penting dari sejarah sastra Indonesia.
Sebagai bahan telaah, berikut kami sudah merangkum beberapa Contoh Puisi karya J. E. Tatengkeng untuk anda baca. Semoga bisa menjadi inspirasi dan bahan bacaan yang menyenangkan untuk melampiaskan rasa.