Nama Z. Pangaduan Lubis memang tak selalu terdengar nyaring dalam percakapan sehari-hari seputar dunia sastra Indonesia. Namun, bagi siapa pun yang bersentuhan dengan karya-karya sastra Indonesia, khususnya yang berasal dari Sumatera Utara, nama ini hadir sebagai satu tapal batas penting dalam pembentukan identitas kultural sekaligus kebudayaan sastra daerah yang mampu berbicara dalam bahasa nasional.
Lahir di Muarasipongi, Tapanuli Selatan, pada 16 Februari 1938, Z. Pangaduan Lubis hidup di masa penuh gejolak: masa pasca-kolonial, era pembentukan identitas bangsa, dan masa perubahan sosial-budaya yang besar. Ia menyerap dinamika zaman itu dalam karya-karyanya, menjadikan puisi sebagai alat untuk memahami, mengkritisi, dan merayakan kehidupan.
Yang paling menarik dari Z. Pangaduan Lubis adalah bagaimana ia dengan sadar menganyam nilai-nilai tradisional Mandailing dan Batak ke dalam puisi-puisinya, tanpa mengorbankan daya jangkau universal. Ia tak hanya menyuarakan identitas lokal, tetapi juga menghadirkannya dalam bentuk puitik yang bisa dipahami oleh siapa pun. Inilah bukti bahwa karya sastra yang lahir dari tanah dan akar budaya tertentu, jika ditulis dengan ketulusan dan penghayatan mendalam, bisa berbicara kepada siapa saja—melintasi suku, bahasa, dan bahkan zaman.
Gaya puisinya khas: tenang, padat, dan mengandung kontemplasi yang dalam. Ia tidak gegap-gempita seperti Chairil Anwar, tidak pula melankolis seperti Amir Hamzah, tetapi menghadirkan suara yang khas: suara seorang anak kampung yang tumbuh menjadi juru bicara bagi nilai-nilai moral dan spiritual masyarakatnya.
Z. Pangaduan Lubis juga merupakan bagian dari generasi sastrawan Sumatra Utara yang menyumbangkan kontribusi besar terhadap perkembangan kesusastraan daerah ini. Ia sejajar dengan nama-nama seperti N.A. Hadian atau Sori Siregar dalam membangun fondasi sastra yang tidak hanya berorientasi ke pusat (Jakarta), tetapi kuat berakar di daerah. Ia adalah bukti bahwa sastra daerah bukan sekadar pelengkap atau pinggiran, melainkan pusat wacana alternatif yang membongkar dominasi narasi tunggal dalam sastra nasional.
Z. Pangaduan Lubis juga menunjukkan bahwa menjadi penyair tidak harus menjadi selebritas sastra. Ia berkarya dalam diam, dalam kesetiaan terhadap kata dan makna, dan dalam cinta terhadap budaya dan masyarakatnya. Kesetiaan semacam itu, dalam dunia yang semakin tergoda pada kemilau popularitas instan, adalah sebuah keteguhan langka.
Setelah ia meninggal dunia pada 19 Januari 2011, gaung namanya memang tak sehebat saat ia hidup. Namun bagi mereka yang pernah membaca puisinya, Z. Pangaduan Lubis adalah suara yang masih terus bergema. Ia tidak pergi dalam senyap, karena puisinya hidup dalam jiwa pembacanya. Dan bukankah itu tujuan paling luhur seorang penyair—untuk tetap hidup dalam kata dan rasa?
Kita membutuhkan lebih banyak Z. Pangaduan Lubis dalam dunia sastra kita—orang-orang yang tidak menjadikan puisi sebagai kendaraan untuk kemasyhuran pribadi, tetapi sebagai jembatan antara masa lalu dan masa kini, antara yang lokal dan universal, antara rasa dan makna. Ia adalah penyair sejati: yang tidak mengejar cahaya, tapi justru memancarkannya.
Sebagai bahan telaah, berikut kami sudah merangkum beberapa Contoh Puisi karya Z. Pangaduan Lubis untuk anda baca. Semoga bisa menjadi inspirasi dan bahan bacaan yang menyenangkan untuk melampiaskan rasa.