Puisi: Ballada Ibu yang Dibunuh (Karya W.S. Rendra)

Puisi "Ballada Ibu yang Dibunuh" karya W.S. Rendra menciptakan narasi yang kuat tentang ketidakadilan, pengorbanan, dan kenyataan hidup dalam ....
Ballada Ibu yang Dibunuh

Ibu musang di lindung pohon tua meliang
bayinya dua ditinggal mati lakinya.

Bulan sabit terkait malam memberita datangnya
waktu makan bayi-bayinya mungil sayang.

Matanya berkata pamitan, bertolaklah ia
dirasukinya dusun-dusun, semak-semak, taruhan harian
atas nyawa.

Burung kolik menyanyikan berita panas dendam warga desa
menggetari ujung bulu-bulunya tapi dikibaskannya juga.

Membubung juga nyanyi kolik sampai mati tiba-tiba
oleh lengking pekik yang lebih menggigilkan pucuk-pucuk daun
tertangkap musang betina dibunuh esok harinya.

Tiada pulang ia yang mesti rampas rejeki hariannya
ibu yang baik, matinya baik, pada bangkainya gugur pula
dedaun tua.

Tiada tahu akan merataplah kolik meratap juga
dan bayi-bayinya bertanya akan bunda pada angin Tenggara.

Lalu satu ketika di pohon tua meliang
matilah anak-anak musang, mati dua-duanya.

Dan jalannya semua peristiwa
tanpa dukungan satu dosa. Tanpa.

Sumber: Ballada Orang-Orang Tercinta (1957)

Analisis Puisi:
Puisi "Ballada Ibu yang Dibunuh" karya W.S. Rendra adalah sebuah karya sastra yang menyentuh tema kehidupan, kekerasan, dan pengorbanan. Melalui gambaran seekor musang dan anak-anaknya, penyair menggambarkan kejamnya kenyataan hidup di alam liar dan bagaimana peristiwa tragis yang terjadi dalam dunia binatang juga mencerminkan kenyataan dalam masyarakat manusia.

Gambaran Alami yang Menyentuh: Puisi ini dimulai dengan gambaran ibu musang yang melindungi bayi-bayinya di bawah pohon tua. Meskipun dalam konteks alam liar, gambaran ini menggambarkan naluri dan kelembutan seorang ibu yang melindungi anak-anaknya. Ini adalah ilustrasi universal tentang kasih sayang ibu.

Datangnya Maut: Penyair menggunakan gambaran bulan sabit untuk mengindikasikan datangnya waktu makan bayi-bayi musang. Bulan sabit juga dapat dipandang sebagai simbol kematian dan perubahan. Puisi ini secara halus merujuk pada siklus kehidupan dan kematian yang ada dalam alam.

Permainan Bunyi dan Rasa: Puisi ini menggunakan permainan bunyi dan ritme dalam penggunaan kata-kata seperti "matanya berkata pamitan," yang memberikan nuansa dalam menjalani peristiwa tragis. Penggunaan bunyi-bunyi seperti "nyanyi kolik" dan "lengking pekik" juga menciptakan suara alam yang menggambarkan perasaan dan suasana.

Perumpamaan Kehidupan Manusia: Meskipun puisi ini menggunakan gambaran binatang, tema dan pesannya berlaku juga dalam konteks manusia. Puisi ini merangkum pengorbanan, ketidakadilan, dan kejahatan dalam masyarakat manusia. Musang yang dibunuh dan anak-anaknya mencerminkan kekerasan dan tragedi yang bisa terjadi di dunia manusia.

Kritik Terhadap Kekerasan dan Ketidakadilan: Puisi ini menyiratkan ketidakadilan dan kekerasan yang berlaku di masyarakat manusia. Pemilihan kata-kata seperti "matilah anak-anak musang, mati dua-duanya" menciptakan efek emosional yang kuat. Ini bisa diartikan sebagai kritik penyair terhadap ketidakadilan dan kebrutalan dalam masyarakat.

Pesan Tentang Kehidupan dan Keberpihakan: Puisi ini tidak hanya bercerita tentang kehidupan alam, tetapi juga mengandung pesan moral yang lebih dalam. Penyair mungkin ingin mengingatkan pembaca tentang keberpihakan yang perlu dilakukan terhadap mereka yang lemah dan tindakan untuk mencegah ketidakadilan.

Puisi W.S. Rendra
Puisi: Ballada Ibu yang Dibunuh
Karya: W.S. Rendra

Biodata W.S. Rendra:
  • W.S. Rendra lahir pada tanggal 7 November 1935 di Surakarta (Solo), Jawa Tengah.
  • W.S. Rendra meninggal dunia pada tanggal 6 Agustus 2009 (pada usia 73 tahun) di Depok, Jawa Barat.
© Sepenuhnya. All rights reserved.