Puisi: Pengakuan Pohon Merah (Karya Zen Hae)

Puisi: Pengakuan Pohon Merah Karya: Zen Hae
Pengakuan Pohon Merah (1)


setiap pagi aku bangkit dari mimpinya. seraya menggoyangkan rerantingku, lembar-lembar daunku membuka-menutup. plak, plak, plak…. lantas alun serunai dari kelopak bungaku memanggilnya ke taman itu. “inilah aubade penunda perang dan penuaan, nak.” ia lantas berlari-lari seriang anak kambing, menikmati guguran tubuhku, dan begitu lelah ia tidur di bawah timbunan dedaun merahku. sedang sebelumnya di atasnya adalah 1000 matahari, langit kosong hingga lapis ketujuh. putih melulu. guguran tubuhku pula yang memerahkan kertas putih ini dan membuat ia bermimpi tentang hujan merah yang menelan sebentang gurun. begitu air surut segalanya memang tampak mati. tapi segera kembaranku tumbuh di sana, berbiak banyak-banyak.

kini ia tahu kenapa sebatang pohon sepertiku lebih mulia ketimbang sebuah kitab suci. sebab telah ia sesap kelezatan buahku agar ia paham mengapa ia telanjang. mengunyah daunku membuat ia bermimpi tentang segala keajaiban. adapun getahku telah ia tenggak agar ia senantiasa awas di malam-malam buta. sedang kitab suci membuat ia jadi renta, bermimpi tentang perang dan neraka paling gila. menerakan dosa dan doa di mana ia bisa. pohon sepertiku mengisap semuanya dan mengembalikannya sebagai udara termurni di pangkal pagi.

di bawah guguran tubuhku ia segirang kitiran bambu yang terus berputar meski semesta angin telah menyimpan seluruh tenaga mereka untuk badai esok pagi. maka ia berdoa untuk segala kemerahanku, tuanku.


Pengakuan Pohon Merah (2)


pada mulanya aku hanyalah rangka bening. lebih bening dari ubur-ubur, lebih sia-sia dari arwah penasaran. sedang kau gumpalan getah merah yang mengambang dan pencemburu. kau mengembang seluas alam yang baru dicipta hingga rangkaku tersedot dan lebur di dalam merahmu. lantas aku tumbuh sebagai pohon merah dengan bebuah yang lezat dan mencerdaskan, tak tertandingi oleh pohon lain. akulah yang menggoda anak itu, juga ular pemalas itu, masuk ke taman ini. sebab ia dan kekasihnya terutama, kelewat lapar, terlalu ingin tahu.

lantas mereka terusir. aku kesepian. sekujur tubuhku gatal. bebuahku merana dalam keranuman….

iseng-iseng kudatangi seorang pelukis. kanvasnya seluas langit dan kuasnya sebatang pohon raksasa dengan bebulu dari hewan paling buas. kuminta, “rupakan aku.” sebatang pohon merah di ujung taman, atau mengambang di angkasa, akan tampak ajaib bukan? maka ia melukis dengan penuh hasrat dan kehati-hatian. ia berhasil menggambar tubuhku tapi merahku seperti enggan menampakkan diri. ia melukis bukan-pohon-merah, bukan-hutan- merah yang menyesaki langit dan bumi. lantas ia putus asa dan lari ke dalam hutan itu, mengutuk seluruh merah yang pernah dan masih ada, membenamkan diri ke dalam lumpur hitam.

aku adalah merah di atas kuasa kaum berkuas, tuanku.

kini aku tahu kenapa aku juga lebih mulia ketimbang kata. sebab pernah pula aku datangi seorang penganyam kata, yang kata-katanya bisa memindahkan sorga ke dunia. kataku, “katakan aku.” maka ia mengambil penanya dan mencelupkan ujungnya pada tinta hitam (kenapa tidak getahku?) dan mulai menulis. aku menunggu ia berlama-lama hingga tersusunlah kitab-kitabnya tentangku, tentang hutan dan pohon-pohon di seluruh dunia. kini aku tahu ia hanyalah seorang pemburu pikun yang gagal memerangkap aku meski dengan jaring dari mimpinya sendiri. ia terus menulis hingga penanya meneteskan api dan terbakarlah ia dan kitab-kitabnya.


Pengakuan Pohon Merah (3)


akulah biang kerok dari semua ini. jangan salahkan mereka yang kelewat lapar dan terlalu ingin tahu, tuanku. tapi kau telanjur telah mengusir mereka....


2009

Puisi: Pengakuan Pohon Merah
Puisi: Pengakuan Pohon Merah
Karya: Zen Hae
© Sepenuhnya. All rights reserved.