Puisi: Kalangan Ronggeng (Karya W.S. Rendra)

Puisi "Kalangan Ronggeng" menyoroti kesulitan, penolakan, keputusasaan, dan keinginan untuk menemukan arti di tengah kehidupan yang penuh dengan ...
Kalangan Ronggeng


Bulan datang, datanglah ia!
dengan kunyit di wajahnya
dan ekor gaun
putih panjang
diseret atas kepala-kepala
dirahmati lupa.
Atas pejaman hati
yang rela
bergerak pinggul-pinggul bergerak
ronggeng palsu yang indah
para lelaki terlahir dari darah.
Wahai manis, semua orang di kalangan
tahu apa bahasa bulan!

Kabur bulan adalah muka-muka
adalah hidup mereka
menggelepar bayang-bayang
ikan-ikan ditangguk nasibnya.
Gamelan bertahta atas nestapa
kuda di padang berpacuan
mengibas sepi merangkul diri,
angin tak diharapkan
cari sarang dan tersia.
Ditolaknya sandaran nestapa
betapa gila ditolaknya!
dan bila bertumbuk ke langit
terpantul kembali ke bumi.

Lalu di jagoan bersorak
pada harap adalah gila yang lupa.
Penyaplah, penyap,
nestapa yang hitam ditolaknya.
Balik pula.
Pada ditolaknya.
Dan selalu ditolaknya.

Wahai. Manis, semua orang di kalangan
tahu apa derita bulan.


Sumber: Kisah (November, 1955)

Analisis Puisi:
Puisi "Kalangan Ronggeng" karya W.S. Rendra merupakan sebuah karya yang menggambarkan kompleksitas kehidupan masyarakat, menggunakan metafora dan simbolisme yang dalam, dengan fokus pada peran budaya dan realitas sosial di masyarakat.

Metafora Budaya Ronggeng: Puisi ini dimulai dengan membawa gambaran seorang ronggeng, yang dalam budaya Jawa merupakan penari perempuan yang memainkan peran sebagai hiburan. Metafora tentang bulan yang datang dengan kunyit di wajahnya dan seragam putih panjang di kepala para penari ronggeng membentuk bayangan yang kaya dan berwarna.

Realitas Sosial Masyarakat: Puisi ini menggunakan ronggeng sebagai metafora untuk menggambarkan masyarakat pada umumnya. Hal ini ditunjukkan melalui frasa "ronggeng palsu yang indah", yang mungkin merujuk pada realitas yang palsu atau dipertontonkan di masyarakat.

Keinginan Terpendam dan Ketidakpuasan: Di bait selanjutnya, puisi menggambarkan perjuangan dan ketidakpuasan di antara anggota masyarakat, yang ditandai oleh keinginan untuk menolak nasib dan realitas yang ditentukan.

Simbolisme Dalam Alunan Musik: Simbolisme gamelan dalam puisi bisa mewakili alunan musik kehidupan yang terus berlanjut meski penuh dengan nestapa (penderitaan). Hal ini menandakan bahwa hidup tidak selalu menyenangkan, dan dalam kehidupan, kegagalan dan ketidakpuasan selalu ada.

Perasaan Penolakan dan Kesendirian: Puisi ini juga menyoroti perasaan penolakan, kesendirian, dan kekecewaan di antara orang-orang dalam "kalangan". Mereka merasakan ketidakmampuan untuk mencapai kebahagiaan atau penerimaan dalam masyarakat, yang tercermin dalam frasa "nestapa yang hitam ditolaknya".

Kekecewaan dan Keputusasaan: Puisi ini menekankan tentang keputusasaan, kekecewaan, dan penderitaan yang ada dalam masyarakat ("Wahai manis, semua orang di kalangan tahu apa derita bulan."). Keseluruhan puisi menyoroti ketidakmampuan untuk mendapatkan kesenangan atau kebahagiaan dalam realitas yang ada.

Penolakan Realitas dan Sosial Kritis: Puisi ini bisa diinterpretasikan sebagai penolakan terhadap realitas yang ada, dan merupakan kritik terhadap masyarakat yang mungkin menolak bagian yang paling gelap dalam hidup.

Puisi "Kalangan Ronggeng" karya W.S. Rendra adalah karya yang penuh simbolisme dan metafora, menggambarkan realitas sosial dan budaya dalam masyarakat dengan gambaran ronggeng sebagai simbol kehidupan yang kompleks. Puisi ini menyoroti kesulitan, penolakan, keputusasaan, dan keinginan untuk menemukan arti di tengah kehidupan yang penuh dengan penderitaan dan realitas yang tidak selalu menguntungkan.

Puisi W.S. Rendra
Puisi: Kalangan Ronggeng
Karya: W.S. Rendra

Biodata W.S. Rendra:
  • W.S. Rendra lahir pada tanggal 7 November 1935 di Surakarta (Solo), Jawa Tengah.
  • W.S. Rendra meninggal dunia pada tanggal 6 Agustus 2009 (pada usia 73 tahun) di Depok, Jawa Barat.
© Sepenuhnya. All rights reserved.