Puisi: Sembilan Burung Camar Tuan Yusuf (Karya Taufiq Ismail)

Puisi "Sembilan Burung Camar Tuan Yusuf" karya Taufiq Ismail menggambarkan dengan puitis dan historis kehidupan Tuan Yusuf, ulama dan pejuang yang mem
Sembilan Burung Camar Tuan Yusuf


Di desa Macassar (kawasan Faure), Cape Town, Afrika Selatan, di atas sebuah bukit berdirilah sebuah bangunan kecil, luasnya 7 x 5 meter, dengan atap kubah hijau. Dari kejauhan dia tampak seperti masjid.

Di sinilah Syekh Maulana Yusuf atau Syekh Yusuf, atau Tuan Yusuf, dimakamkan. Tuan Yusuf mendarat di Afrika Selatan pada 2 April 1494, berlayar dengan kapal 'De Voetboog' dengan istri, putra-putri, alim ulama dan sejumlah pimpinan pasukannya sebanyak 48 orang. Tuan Yusuf dibuang karena dianggap mengganggu kestabilan penjajahan Belanda yang menjalankan perdagangan imperialistik VOC. Umur beliau waktu itu sudah 68 tahun.

Selepas konflik bersenjata sekitar 8 tahun dengan Belanda di Banten, Tuan Yusuf ditangkap secara khianat pada 1686. Dibawalah dia dengan kapal dari Cirebon ke Batavia dan ditahan di sana. Takut karena pengaruhnya yang sangat besar pada rakyat sebagai ulama besar, dia dibuang ke Ceylon. dari Ceylon dipindahkan pula ke Cape, yang dalam peta disebut sebagai Tanjung Harapan, tapi tentu lebih tepat disebut Tanjung Penindasan.

Tanjung itu adalah Tanjung Harapan bagi penjajah Portugis melalui penemunya Bartholomeus Dias (1487) yang menamainya Cabo da Boa Esperanza, yang didarati oleh nakhoda VOC Jan van Riebeek pada 6 April 1652. Bagi Tuan Yusuf, Tuan Guru dan pejuang-pejuang kemerdekaan yang menjalani pembuangan serta penduduk yang ditindas dipaksa bekerja ke benua sejauh itu, Tanjung itu patut diganti nama dan adalah Tanjung Penindasan.

Rombongan tahanan Tuan Yusuf diasingkan di Zandfliet, dekat False Bay atau Teluk Palsu. Isolasi ini tidak berhasil karena karisma Tuan Yusuf menyebar ke kampung-kampung lain. Secara rahasia mereka melaksanakan ibadah, dan walaupun VOC disamping mengeksploitir tenaga juga gencar melakukan Kristenisasi dikalangan pekerja-paksa itu, usaha itu tak pernah berhasil. Pada waktu itu agama Kristen identik dengan penindasan Belanda yang sangat mereka benci.

Sesudah lima tahun dalam tahanan, Tuan Yusuf wafat pada usia 73 tahun. Di samping ulama dan pejuang, Tuan Yusuf adalah seorang sufi dan pengarang. Sufinya dari kelompok Khalwatiyyah. Menurut Suleman Essop Dengor (tesis MA, Universitas Durban Westville, 1981), sejumlah 15 judul buku telah ditulis Tuan Yusuf dalam bahasa Arab, Bugis dan Melayu. Dia menguasai bahasa Arab karena mulai usia 18 tahun sampai usia matang.

Tuan Yusuf menuntut ilmu di Makkah. Diduga sebagian dari karya-karya itu ditulis di Desa Macassar, Afrika Selatan. Buku-buku itu masih tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden.

Karena permintaan yang kuat dari Raja Goa Abdul Jalil, akhirnya Belanda menyetujui pemindahan jenazah Tuan Guru ke Goa. Penjemputan tiba 5 April 1705 dan keesokannya dilaksanakan penguburannya di Lakiung, Sulawesi Selatan.

Dalam setiap percakapan dengan orang Muslim Cape tentang Tuan Yusuf, mereka selalu bertanya apakah benar ada kubur Tuan Yusuf di Indonesia. Mereka tidak yakin bahwa jenazah tersebut sudah dipindahkan. Ziarah kubur wali-wali atau yang disebut Keramat yang berjumlah 7 buah, berfrekuensi tinggi di Cape Town. Demikianlah total isolasi itu. Saya pun menjelaskan berkali-kali.

Penghormatan pada Tuan Yusuf tidak saja dari kaum Muslimin Melayu, tapi juga dari kaum Muslimin seluruh Afrika Selatan. Dalam literatur tentang Islam di Afrika Selatan, Tuan Yusuf selalu disebut "yang pertama-tama menanamkan akar Islam di bagian benua ini."

Pertama saya membaca karangan orang Indonesia yang pernah ziarah ke kubur Tuan Yusuf ini adalah tulisan Renville Almatsir 19 tahun lalu dalam Intisari, 1974. Saya terkesan dan selalu ingat pada laporan Renville, dan sering bertanya pada diri sendiri bisakah saya pada suatu waktu berziarah ke Desa Macassar dekat Tanjung Penindasan itu.

Sekarang bayangkanlah saya memegang terali kubur pertama Tuan Yusuf, dan memandang bekas tumpuk bumi yang pernah menating jenazahnya. Kemudian lihatlah saya keluar bangunan itu, pergi ke-4 kuburan dengan nisan berjajar, tidak diberi nama tapi diukir dengan kaligrafi Asmaul Husna. Di situ berkubur 4 orang dari rombongan tahanan, mungkin ulama, mungkin juga komandan pasukan Tuan Yusuf, berasal dari Bugis atau Banten.

Kemudian bayangkanlah sebuah meriam bercat hitam, menunjuk ke cakrawala langit Afrika. Kemudian ikutilah saya mengingat-ingat jalan pertempuran yang dipimpin Tuan Yusuf bertahun-tahun di Banten.

Angin bertiup waktu itu, mungkin dari dua samudera yang bersalam-salaman di ujung tanjung, mungkin juga angin dari Kutub Selatan. Lihatlah dedaunan musim rontok pada pepohonan mengitari teluk, yang bermerahan berganti warna.

Kemudian bayangkanlah Tuan Yusuf, seorang sufi yang cendekia, zikir membungkus tubuhnya, karangan-karangan mengalir melalui kalam terbuat dari sembilu bambu dengan dawat berwarna hitam dan merah menjadi 15 buku dalam 3 bahasa, seorang lelaki yang cendekia dan berani.

Lantas fantasikan tulang-tulang seorang pemberani tersusun dalam peti berlayar 11.000 lebih kilometer lewat dua samudera, suara angin dari barat menampar-nampar tujuh layar, di pesisir Sulawesi buang jangkar, lalu orang-orang bertangisan menurunkan Tuan Yusuf penuh hormat ke dalam bumi tempat ibunya Aminah dahulu melahirkannya.

Wahai, sukar bagiku mereka-reka garis-garis wajahmu ya Syekh karena rupa tuan tidak direkam dalam fotografi hari ini, tidak juga dibuat lukisan pesanan pemerintah dalam potret cat akrilik lima warna. Namun kubayangkan sajalah kira-kira wajah seorang tua yang ikhlas, berjanggut tipis, bersuara dalam, bertubuh langsing dan fasih berbahasa Bugis, Arab dan Melayu.

Orang-orang Tanah Rendah itu takut pada Tuan. Dan sebenarnya, di lubuk hati Gubernur dan manajer-manajer maskapai dagang VOC yang gemar menyalakan meriam dan mesiu itu, mereka kagum pada Tuan. Tapi mereka mesti membuang Tuan sebelas ribu kilometer ke benua ini karena mereka tak mau tergaduh dalam pengumpulan uang emas disusun rapi dalam peti-peti terbuat dari kayu jati. Aku pernah baca kutipan catatan mereka. Apa format dan inti keikhlasan dan keberanianmu, ya Syekh?

Perhatikan kini kabut meluncur cepat dari Bukit Meja yang memandang dua samudera. Aku merasakan angin musim gugur bulan April berkata, kau merdeka hari ini karena tiga abad yang lalu Syekh Yusuf telah membabat hutan rotan dan menyibakkan ilalang berduri untukmu. Aku mendengar zikir mengalir lewat sembilan burung camar yang sayapnya seperti berombak bernyanyi.


Cape Town, 26 April 1993

Sumber: Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (2000)

Analisis Puisi:
Puisi "Sembilan Burung Camar Tuan Yusuf" karya Taufiq Ismail adalah karya sastra yang merangkum dan menggambarkan kisah hidup dan pengasingan Tuan Yusuf, seorang ulama dan pejuang kemerdekaan yang berjasa dalam menyebarkan Islam di Tanah Rendah (Afrika Selatan).

Lokasi dan Konteks Sejarah: Puisi membuka dengan latar belakang geografis di desa Macassar, Cape Town, Afrika Selatan, tempat Tuan Yusuf dimakamkan. Konteks sejarahnya melibatkan pengasingan dan konflik dengan penjajahan Belanda, yang memberikan landasan untuk pemahaman lebih dalam tentang perjuangan Tuan Yusuf.

Kehidupan Tuan Yusuf: Puisi memberikan gambaran kehidupan Tuan Yusuf, mulai dari kedatangannya di Afrika Selatan hingga pemindahannya ke Tanjung Penindasan. Konflik bersenjata dan pengasingannya mencerminkan perjuangan dan pengabdian Tuan Yusuf dalam menyebarkan ajaran Islam.

Kematian dan Pemakaman: Puisi mencatat kematian Tuan Yusuf pada usia 73 tahun setelah lima tahun dalam tahanan. Penggambaran pemakaman dan pemandangan sekitarnya memberikan nuansa keagungan dan keabadian dalam warisan spiritualnya.

Pengarang dan Karya Tulis Tuan Yusuf: Tuan Yusuf dihadirkan sebagai sufi dan pengarang yang produktif. Penggunaan bahasa Arab, Bugis, dan Melayu dalam karya tulisnya mencerminkan kemampuan bahasa yang luas. Pengakuan tentang buku-bukunya yang disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden menambahkan dimensi keilmuan dan kecendekiaan Tuan Yusuf.

Pentingnya Ziarah: Puisi menekankan pentingnya ziarah kubur Tuan Yusuf dan ketidakyakinan sebagian orang Muslim Cape tentang pemindahan jenazahnya ke Goa. Ziarah dianggap sebagai bentuk penghormatan dan keberlanjutan pengaruh spiritual Tuan Yusuf.

Pengakuan dari Masyarakat: Puisi menyoroti pengakuan dan penghormatan terhadap Tuan Yusuf, bukan hanya dari Muslim Melayu tetapi juga dari seluruh masyarakat Afrika Selatan. Tuan Yusuf disebut sebagai tokoh yang pertama-tama menanamkan akar Islam di wilayah tersebut.

Fantasi dan Imajinasi: Penggunaan imajinasi dan fantasi dalam puisi memberikan dimensi artistik. Bayangan tentang wajah Tuan Yusuf, perjalanan panjangnya, dan pengaruh spiritualnya terwujud melalui kata-kata dan gambaran visual.

Simbolisme Alam dan Suara Angin: Simbolisme angin dari dua samudera, dedaunan musim rontok, dan suara angin dari barat menambahkan elemen alam dalam puisi. Ini menciptakan suasana yang mendalam dan melibatkan pembaca dalam pengalaman yang lebih luas.

Puisi "Sembilan Burung Camar Tuan Yusuf" karya Taufiq Ismail adalah sebuah karya yang menggambarkan dengan puitis dan historis kehidupan Tuan Yusuf, ulama dan pejuang yang memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Afrika Selatan. Melalui kata-kata indah, puisi ini memberikan penghargaan kepada tokoh tersebut dan merayakan warisan spiritualnya yang abadi.

Puisi Taufiq Ismail
Puisi: Sembilan Burung Camar Tuan Yusuf
Karya: Taufiq Ismail

Biodata Taufiq Ismail:
  • Taufiq Ismail lahir pada tanggal 25 Juni 1935 di Bukittinggi, Sumatera Barat.
  • Taufiq Ismail adalah salah satu Sastrawan Angkatan '66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.