Puisi: Mantel Hujan Dua Kota (Karya Afrizal Malna)

Puisi "Mantel Hujan Dua Kota" menggambarkan perasaan kesepian, kebingungan, dan keindahan yang terkandung dalam kehidupan perkotaan modern.
Mantel Hujan Dua Kota

Kota itu telah jadi Semarang sejak air laut ingin
 mendaki bukit, dan pesta tahun baru di ruang dalam
 
bangunan-bangunan kolonial. Minum persahabatan 
dan melukis fotomu pada dinding musim hujan. 
Sepanjang malam ia mengenakan mantel dari listrik: 
kota yang mengapung 45 derajat di atas sejarah. 
Dalam mantelnya, rokok kretek dan kartu ATM. 
Mahasiswa bergerombol di warung kopi, mengambil 
ilmu sastra, ilmu komunikasi, antropologi dan 
jam-jam belajar dari pecahan kaca. Akulah anak
 
muda yang bisa memainkan bas elektrik, blues
 
dengan sisa-sisa kerusuhan dan sisir yang patah. Aku 
telah banjir di lapangan kerja dan kenaikan gaji 
pegawai negeri. Para arsitek yang membuat desain
 
kota bersama air laut dan hujan.

Biarlah aku sampai ke batas tepi ini, untuk jejak yang 
membuat lubangnya sendiri.

Kereta keluar dari mulut stasiun Yogyakarta, bau
 tembakau dari pesta seni rupa dan sapi goreng. Aku
 
kembali bernapas setelah ribuan billboard kota 
adalah mataku yang terus berputar, waktu yang 
terasa perih. Rel kereta api masih menyimpan saham-
saham VOC sampai Semarang. Tanah keraton yang
 
menyimpan telur ayam, mantel biru masih
 
menyanyikan keroncong Portugis. Bau tebu, bau padi, 
bata merah yang dibakar. Aku telah Yogyakarta 
setelah berhasil menjadi orang sibuk tidak mandi 2 
hari, menggunakan excel untuk agenda-agenda
 
padat. Dan bir dingin di antara janji-janji. 
Aku telah dua kota dalam perjalanan dua jam
 
bersambung sepeda 6 jam pagi. Biarlah aku sampai
 
ke batas tepi ini. Sebuah kota yang terbuat dari jam
 
6 pagi, dan aku mempercayainya seperti genta yang 
berbunyi tanpa berbunyi, bayangan gunung sebelum 
biru dan sebelum kelabu dan sebelum di sini.

Sumber: Museum Penghancur Dokumen (2013)

Analisis Puisi:

Puisi "Mantel Hujan Dua Kota" karya Afrizal Malna adalah sebuah penggambaran yang kompleks tentang dua kota, Semarang dan Yogyakarta, serta pengalaman individual dalam konteks urbanisasi, sejarah, dan identitas budaya.

Tema Utama

  • Identitas Kota: Puisi ini mengeksplorasi identitas dua kota, Semarang dan Yogyakarta, melalui gambaran-gambaran yang khas dari kehidupan kota. Penyair menggunakan detail-detail seperti aroma, suasana, dan aktivitas sehari-hari untuk membentuk citra yang kuat dari masing-masing kota.
  • Urbanisasi dan Modernitas: Ada penekanan pada proses urbanisasi dan modernisasi yang terjadi di dua kota tersebut. Penggunaan gambaran-gambaran seperti warung kopi, mahasiswa, dan billboard kota mencerminkan dinamika perkotaan modern yang dipengaruhi oleh arus globalisasi dan perkembangan teknologi.
  • Hubungan Individual dengan Kota: Penyair menciptakan pengalaman individual yang kuat melalui narasi tentang pengalaman pribadi dalam kota-kota tersebut. Ini mencakup perasaan kesepian, kegelisahan, dan ketidakpastian di tengah-tengah hiruk pikuk kehidupan kota yang sibuk.

Gaya Bahasa

  • Imaji: Afrizal Malna menggunakan gambaran-gambaran yang kaya untuk membentuk citra yang kuat dari kedua kota. Dia menggambarkan aroma tembakau, pesta seni rupa, bau tebu, dan lainnya untuk membawa pembaca ke dalam pengalaman sensorik dari kota-kota tersebut.
  • Metafora dan Personifikasi: Mantel hujan dan mantel biru digunakan sebagai metafora untuk mewakili identitas dan karakteristik unik dari masing-masing kota. Mereka juga dapat dianggap sebagai personifikasi dari kota-kota itu sendiri, dengan kepribadian dan sifat yang unik.
Puisi "Mantel Hujan Dua Kota" merupakan sebuah refleksi yang dalam tentang hubungan manusia dengan lingkungan perkotaan dan kompleksitas identitas kota. Melalui gambaran-gambaran yang kaya dan pengalaman individual yang kuat, penyair berhasil menggambarkan perasaan kesepian, kebingungan, dan keindahan yang terkandung dalam kehidupan perkotaan modern.

Puisi Afrizal Malna
Puisi: Mantel Hujan Dua Kota
Karya: Afrizal Malna

Biodata Afrizal Malna:
  • Afrizal Malna lahir pada tanggal 7 Juni 1957 di Jakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.