Puisi: Dari Nami Island ke Everland (Karya Kinanthi Anggraini)

Puisi "Dari Nami Island ke Everland" karya Kinanthi Anggraini menggambarkan pengalaman seorang penulis yang melakukan perjalanan dari Pulau Nami ke ..
Dari Nami Island ke Everland
(: Lasinta Ari Nendra Wibawa)

Sindorim Station menyapaku, Annyonghaseyo
bersama papan wisata, bertuliskan Sharanghaeyo
kepala mengangguk dengan senyum tertunduk
musim gugur pulau Nami, yang nyaris mengetuk

Daun-daun di tanganku berubah berwarna pirang
berguguran di pulau kecil berbatas ribuan karang
kakiku bersilang di bawah ranting bersalju senja
sembari memakan Talkkalbi di pinggir dermaga

Inilah pasir yang merebut warna salem mutiara
milik satwa endemik, bergaya artis Seoul Korea
dengan ranjang langit yang menyamar biru samudra
tempat adegan penting, serial drama Winter Sonata

Akhirnya, Everland bertelur delapan belas celcius
ditemani racikan teh hijau dengan gula pasir digerus
terminum oleh genangan mata yang teramat haus
pada romantisnya picisan, tempat cinta berhumus.

Magetan, 11 Februari 2014

Sumber: Bunga-Bunga Bunuh Diri di Babylonia (2018)

Catatan:
Sindorim Station = nama terminal bus di Korea Selatan.
Talkkalbi 
makanan khas Pulau Nami.

Analisis Puisi:

Puisi "Dari Nami Island ke Everland" karya Kinanthi Anggraini menggambarkan pengalaman seorang penulis yang melakukan perjalanan dari Pulau Nami ke Everland, dua destinasi wisata terkenal di Korea Selatan. Melalui deskripsi yang kaya dan penggunaan simbol-simbol budaya Korea, puisi ini mengeksplorasi tema nostalgia, cinta, dan keindahan alam.

Struktur dan Gaya Bahasa

Puisi ini terdiri dari empat bait dengan masing-masing empat baris, yang menciptakan keseimbangan visual dan ritmis. Gaya bahasa yang digunakan oleh penulis mencerminkan sentuhan personal dan emosional melalui penggunaan deskripsi yang rinci dan metafora yang indah.

Sindorim Station menyapaku, Annyonghaseyo
bersama papan wisata, bertuliskan Sharanghaeyo
kepala mengangguk dengan senyum tertunduk
musim gugur pulau Nami, yang nyaris mengetuk

Pada bait pertama, penulis memperkenalkan Sindorim Station sebagai titik awal perjalanan. Sapaan "Annyonghaseyo" dan tulisan "Saranghaeyo" pada papan wisata mencerminkan keramahan dan cinta yang terasa di tempat tersebut. Kata-kata ini memperkuat nuansa budaya Korea yang kental. Musim gugur yang "nyaris mengetuk" memberikan latar belakang temporal yang menunjukkan keindahan alam yang berubah.

Daun-daun di tanganku berubah berwarna pirang
berguguran di pulau kecil berbatas ribuan karang
kakiku bersilang di bawah ranting bersalju senja
sembari memakan Talkkalbi di pinggir dermaga

Bait kedua menggambarkan perubahan musim melalui visualisasi daun-daun yang berubah warna menjadi pirang. Gambaran ini tidak hanya menunjukkan keindahan visual, tetapi juga membawa nuansa melankolis. Aktivitas sederhana seperti memakan Talkkalbi di pinggir dermaga menambah keintiman pengalaman dan menekankan pentingnya kenangan kecil dalam perjalanan.

Inilah pasir yang merebut warna salem mutiara
milik satwa endemik, bergaya artis Seoul Korea
dengan ranjang langit yang menyamar biru samudra
tempat adegan penting, serial drama Winter Sonata

Pada bait ketiga, penulis menggunakan metafora "pasir yang merebut warna salem mutiara" untuk menggambarkan keindahan alam Pulau Nami. Penyebutan "satwa endemik" dan "artis Seoul Korea" menghubungkan keunikan lokal dengan popularitas budaya Korea yang global. Referensi ke serial drama "Winter Sonata" menambah lapisan nostalgia dan menghubungkan pengalaman pribadi dengan fenomena budaya populer.

Akhirnya, Everland bertelur delapan belas celcius
ditemani racikan teh hijau dengan gula pasir digerus
terminum oleh genangan mata yang teramat haus
pada romantisnya picisan, tempat cinta berhumus

Bait terakhir membawa pembaca ke Everland, menggambarkan suhu yang dingin dan pengalaman menikmati teh hijau. "Terminumnya genangan mata yang teramat haus" adalah metafora yang kuat untuk menggambarkan rasa dahaga emosional yang terpenuhi melalui pengalaman ini. Akhirnya, puisi ini menutup dengan tema cinta yang berkembang di tempat-tempat romantis, mengikat keseluruhan perjalanan dengan benang merah perasaan cinta dan nostalgia.

Tema dan Makna

Puisi ini mengangkat beberapa tema utama:
  1. Nostalgia dan Kenangan: Setiap bait dipenuhi dengan kenangan dan referensi yang membawa penulis dan pembaca kembali ke momen-momen tertentu. Pulau Nami dan Everland bukan hanya tempat wisata, tetapi juga lokasi di mana kenangan pribadi dan budaya populer terjalin.
  2. Keindahan Alam: Deskripsi alam yang rinci menciptakan gambaran yang hidup tentang keindahan musim gugur di Korea Selatan. Dari daun yang berubah warna hingga pasir yang berkilauan, setiap elemen alam diperhatikan dengan detail.
  3. Budaya dan Identitas: Penggunaan bahasa Korea dan referensi budaya seperti "Winter Sonata" menekankan pentingnya budaya dan identitas dalam membentuk pengalaman penulis. Ini menunjukkan bagaimana tempat dan budaya dapat berperan besar dalam membentuk kenangan dan perasaan seseorang.
  4. Cinta dan Romantisisme: Tema cinta terlihat jelas melalui penggunaan bahasa yang penuh perasaan dan deskripsi momen-momen intim. Dari sapaan hangat di Sindorim Station hingga suasana romantis di Everland, puisi ini menggambarkan perjalanan emosional yang dipenuhi dengan cinta.
Puisi "Dari Nami Island ke Everland" adalah puisi yang kaya dengan deskripsi visual dan emosional. Kinanthi Anggraini berhasil menangkap esensi perjalanan dan menggabungkannya dengan elemen budaya dan alam Korea Selatan. Melalui tema nostalgia, keindahan alam, dan cinta, puisi ini membawa pembaca pada perjalanan yang indah dan mendalam, menunjukkan kekuatan kenangan dan perasaan dalam membentuk pengalaman manusia.

Kinanthi Anggraini
Puisi: Dari Nami Island ke Everland
Karya: Kinanthi Anggraini

Biodata Kinanthi Anggraini:
    Kinanthi Anggraini lahir pada tanggal 17 Januari 1989 di Magetan, Jawa Timur.

    Karya-karya Kinanthi Anggraini pernah dimuat di berbagai media massa lokal dan nasional, antara lain Horison, Media Indonesia, Indopos, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Basis, Sinar Harapan, Banjarmasin Post, Riau Pos, Lampung Post, Solopos, Bali Post, Suara Karya, Tanjungpinang Pos, Sumut Pos, Minggu Pagi, Bangka Pos, Majalah Sagang, Malang Post, Joglosemar, Potret, Kanal, Radar Banyuwangi, Radar Bojonegoro, Radar Bekasi, Radar Surabaya, Radar Banjarmasin, Rakyat Sumbar, Persada Sastra, Swara Nasional, Ogan Ilir Ekspres, Bangka Belitung Pos, Harian Haluan, Medan Bisnis, Koran Madura, Mata Banua, Metro Riau, Ekspresi, Pos Bali, Bong-Ang, Hayati, MPA, Puailiggoubat, Suara NTB, Cakrawala, Fajar Sumatera, Jurnal Masterpoem Indonesia, dan Duta Selaparang.

    Puisi-puisi Kinanthi Anggraini terhimpun di dalam buku Mata Elang Biru (2014) dan Bunga-Bunga Bunuh Diri di Babylonia (2018). Karya-karyanya juga diterbitkan dalam cukup banyak buku antologi bersama.

    Nama Kinanthi Anggraini tertulis dalam buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia (2017).
    © Sepenuhnya. All rights reserved.