Puisi: Air Mata Palu dan Donggala (Karya A. Rahim Eltara)

Puisi "Air Mata Palu dan Donggala" menciptakan sebuah gambaran yang mengharukan dan penuh emosi terhadap tragedi gempa yang melanda Palu dan Donggala.
Air Mata Palu dan Donggala

Sore berzikir, orang-orang histeris belarian
di antara gelegar liang lahat dan amuk badai
mencari perlindungan di mana suara serine memanggil

rumah dan gedung pasrah
mengakhiri riwayat
tiang-tiang kehilangan akar
lupa akan tanah leluhur
teriakan dan tangis lahir
dari mata kepiluan

Sore itu,
melahirkan jeritan ibu-ibu, yang
kehilangan buah hati
pilu tangis anak-anak  yang
kehilangan ibu bapak

jiwa-jiwa yang retak
yang kehilangan teduh rumah
yang kehilangan damai
yang kehilangan gelak tawa
hanya air mata bercerita darah

di bawah langit kedukaan
air mata terus berguguran
menyaksikan ruh-ruh
melayang ke langit, yang
tak sempat pamit

senja yang menangis
perkampungan dan kota
menggelepar dalam genangan duka
hanyut dalam arus kepiluan

malam pun runtuh
perkampungan dan kota gerhana
kelam kotamu palu dan donggala
kelam pula jiwa-jiwa kami
suramnya nasip anak-anak piatu, yang
kehilangan asuhan
zikir dan doa tak pernah berhenti
beriring air mata.

Sumbawa, 2018

Analisis Puisi:

Puisi "Air Mata Palu dan Donggala" menciptakan sebuah gambaran yang mengharukan dan penuh emosi terhadap tragedi gempa yang melanda Palu dan Donggala. Dengan penggunaan bahasa yang kuat dan simbolisme yang mendalam, puisi ini mengajak pembaca untuk merenung atas penderitaan dan kehilangan yang dialami oleh korban bencana tersebut.

Zikir dan Kehisterisan: Puisi ini dibuka dengan gambaran suasana sore yang penuh zikir dan kehisterisan. Kata-kata seperti "belarian," "gelegar," dan "amuk badai" menggambarkan ketakutan dan kepanikan dalam menghadapi bencana alam yang dahsyat.

Gambaran Kehancuran: Puisi merinci kehancuran yang ditimbulkan oleh bencana gempa tersebut. Rumah dan gedung diakhiri, tiang-tiang kehilangan akar, dan lautan tangisan serta jeritan ibu-ibu menjadi latar belakang pahitnya kehilangan yang dirasakan oleh masyarakat.

Jeritan Jiwa dan Kehilangan: Puisi menggambarkan penderitaan yang mendalam, termasuk jeritan ibu-ibu yang kehilangan anak-anak, serta tangis anak-anak yang ditinggalkan tanpa ibu dan bapak. Kehilangan menjadi tema sentral yang menyentuh hati dan menyoroti tragisnya realitas.

Kehancuran Jiwa dan Kota: Simbolisme air mata yang berguguran di bawah langit kedukaan menggambarkan kesedihan yang tak terhentikan. Kota Palu dan Donggala yang gelap dan suram mencerminkan kegelapan jiwa dan nasib malang yang menimpa masyarakatnya.

Zikir dan Doa sebagai Pengiring Air Mata: Zikir dan doa disebutkan sebagai bagian yang tak pernah berhenti, menciptakan nuansa spiritualitas dan ketabahan di tengah tragedi. Hal ini menunjukkan ketahanan dan harapan masyarakat yang tetap bersatu dalam menghadapi ujian yang berat.

Gema Air Mata dan Duka yang Meresap: Air mata bukan hanya fisik, melainkan juga metafora bagi kepedihan dan duka yang meresap di hati masyarakat yang terkena dampak bencana. Senja yang menangis dan malam yang kelam menciptakan gambaran suram atas nasib yang dihadapi oleh kota-kota tersebut.

Puisi ini bukan hanya sekadar ungkapan kesedihan, tetapi juga sebuah pengingat akan kerapuhan manusia di hadapan alam. Dengan penggunaan bahasa yang indah dan puitis, penyair berhasil menggambarkan kepedihan dan ketabahan di tengah bencana yang melanda.

Puisi
Puisi: Air Mata Palu dan Donggala
Karya: A. Rahim Eltara
© Sepenuhnya. All rights reserved.