Analisis Puisi:
Puisi "Malam di Surau Kecil" karya Gunoto Saparie adalah karya yang sarat dengan nuansa religius, introspektif, dan penuh penyesalan manusia terhadap perjalanan hidup yang fana. Dengan pilihan diksi yang sederhana namun tajam, penyair berhasil menghadirkan suasana spiritual yang menyentuh, terutama ketika manusia merenungkan kesalahan-kesalahan hidupnya di hadapan Sang Pencipta.
Tema
Tema utama puisi ini adalah perenungan spiritual dan penyesalan manusia atas dosa-dosa masa lalu. Penyair menyoroti kefanaan dunia dan kesia-siaan hidup yang dipenuhi oleh fatamorgana duniawi, lalu mengajak pembaca untuk kembali pada kesadaran religius.
Puisi ini bercerita tentang suasana malam di sebuah surau kecil dan tua, di mana tokoh lirik bersama jamaah lain bersimpuh dalam sembahyang penuh penyesalan. Mereka merenungi perjalanan hidup yang banyak diwarnai kelalaian, dosa, dan lupa pada Tuhan. Surau tua menjadi simbol tempat kembali, di mana manusia akhirnya sadar bahwa kehidupan dunia hanyalah permainan yang sia-sia.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik terhadap manusia yang terlalu larut dalam urusan duniawi hingga lupa pada tujuan akhir hidupnya. Melalui suasana surau kecil yang remang, penyair ingin menegaskan bahwa sekuat apa pun hasrat manusia, semua itu hanyalah kesementaraan. Surau tua hadir sebagai lambang kesederhanaan sekaligus ruang pertaubatan, tempat manusia kembali pada jati dirinya sebagai makhluk fana yang membutuhkan ampunan.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini adalah hening, muram, dan penuh penyesalan. Keheningan malam di surau kecil, selembar tikar kumuh, dan air mata yang jatuh menggambarkan suasana batin yang menyesakkan sekaligus penuh keinsafan. Ada nuansa spiritual yang khusyuk, namun juga getir karena penyesalan atas dosa yang telah dilakukan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat yang terkandung dalam puisi ini adalah bahwa hidup di dunia hanyalah sementara, jangan sampai manusia terbuai oleh fatamorgana duniawi hingga melupakan ibadah dan makna sejati kehidupan. Penyair mengingatkan bahwa pada akhirnya semua manusia akan kembali pada Tuhan, sehingga penting untuk senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya sebelum terlambat.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji visual dan emosional. Beberapa imaji yang menonjol antara lain:
- “selembar tikar kumuh” → menghadirkan visual sederhana surau kecil.
- “air mata dan luka-luka” → imaji emosional yang melukiskan penyesalan batin.
- “sepotong bulan di langit kelam pucat” → imaji visual yang mempertegas suasana muram malam.
- “seonggok tubuh tak berguna” → imaji yang kuat menggambarkan kefanaan manusia.
Imaji tersebut membantu pembaca merasakan langsung atmosfer religius dan kesedihan yang ingin disampaikan penyair.
Majas
Gunoto Saparie menggunakan beberapa majas untuk memperkaya puisinya, di antaranya:
- Majas metafora → “dunia hanya panggung sandiwara” melambangkan bahwa hidup hanyalah permainan semu.
- Majas personifikasi → “hujan yang melukis bumi dengan genangan” menghadirkan kesan alam hidup dan berperan.
- Majas hiperbola → “puluhan tahun hanya memburu fatamorgana” sebagai ungkapan berlebihan tentang sia-sianya hidup yang mengejar hal semu.
- Majas simbolik → surau kecil dan tua melambangkan kesederhanaan serta ruang kembali untuk bertobat.
Puisi "Malam di Surau Kecil" karya Gunoto Saparie merupakan refleksi mendalam tentang kefanaan hidup, penyesalan atas dosa, dan kerinduan manusia untuk kembali mendekatkan diri pada Tuhan. Dengan tema religius yang kuat, puisi ini menyampaikan pesan moral agar manusia tidak terjebak dalam kesenangan duniawi yang sementara, melainkan selalu ingat akan kehidupan akhirat. Imaji dan majas yang digunakan semakin memperkuat suasana muram dan khusyuk, sehingga pembaca dapat merasakan kedalaman perenungan spiritual yang ingin disampaikan penyair.
Karya: Gunoto Saparie
Gunoto Saparie. Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan Akademi Uang dan Bank Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), dan Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018).
Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004).
Ia pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Puisi-puisinya terhimpun dalam berbagai antologi bersama para penyair Indonesia lain, termasuk dalam Kidung Kelam (Seri Puisi Esai Indonesia - Provinsi Jawa Tengah, 2018).
Saat ini ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta) dan Tanahku (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang). Sempat pula bekerja di bidang pendidikan, konstruksi, dan perbankan. Aktif dalam berbagai organisasi, antara lain dipercaya sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah (FKWPK), dan Pengurus Yayasan Cinta Sastra, Jakarta. Sebelumnya sempat menjadi Wakil Ketua Seksi Budaya dan Film PWI Jawa Tengah dan Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jawa Tengah.
