Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Petani Kata (Karya Agit Yogi Subandi)

Puisi "Petani Kata" karya Agit Yogi Subandi membawa kita menyelami perjalanan batin seorang petani, yang lebih dari sekadar seorang penggarap ...
Petani Kata

berkali-kali ia berjalan dengan hujaman tombak-tombak matahari di punggungnya, hingga legam lehernya menjadi semakin tebal dan kebal. di dalam perjalanan itulah ia mengumpulkan bibit-bibit tanamannya. bibit-bibit yang kerap menyusun dirinya menjadi serangkaian tumbuhan yang berubah-ubah di dalam keranjangnya. sering juga bibit-bibit itu menjalar ke kepalanya: meliliti dan menyusup ke dalam kepalanya. dan betapa takzimnya bibit-bibit itu di dalam kepalanya - setelah menyusup dalam ke liang-liang otaknya. dan petani itu lebih memilih diam ketimbang mencabutnya dari liang kepala. petani itu lebih memilih bersabar ketimbang tergesa-gesa mengembalikannya menjadi bibit yang semula diam. ya, ia tak ingin bibit-bibit itu mati dalam keranjangnya, maka ia biarkan hidup di dalam kepalanya.

setelah ia lepas sebentang petang di ketinggian - menengadahkan pandangannya ke matahari yang berwarna mirip tembaga - ia pulang dengan sekeranjang bibit yang menjalar dan menyusup di kepalanya. angin-angin berpusaran di dekat tubuhnya. perjalanan pulang seperti memasuki pintu-pintu yang seperti tak memiliki ruang. ruang-ruang menjadi bening, namun tak dapat melihat ruang yang lain setelah memasuki pintu-pintu itu. tapi apabila ia tak memasuki pintu-pintu yang separuh ilusi itu, ia tak akan menemukan jalan pulang. dan petani itu mencoba untuk menjarah seluruh ruang-ruang bening itu untuk menjadikan kebun kemudian menanamkan bibit-bibit itu. kebun yang hening, tanpa suara burung dan suara angin. petani itupun bisu.

ya, petani itu tak pernah mengharapkan apa yang akan tumbuh. tapi ia hanya menanamkannya di ruang-ruang itu, di kebun-kebun itu. ia tak pernah menamai kebunnya dengan kebun padma, atau kebun magnolia. sebab kata atau nama, harus memiliki tanda. sedangkan tanda di kebunnya kerap berubah-ubah, dan ia mulai menanamkan bibit-bibit itu. ia cabut bibit-bibit yang menyusup di kepalanya. darah-darah keluar, tangan-tangan penuh darah. kebun ditetesi darah: tanam - sambil membayangkan gelak tawa orang-orang di perjalanannya, gerimis yang malas, batu-batu yang menyerpih di jalanan, rumah-rumah berpintu bengis, jendela-jendela yang licik, beranda yang sedih, dan waktu yang memiliki ruangnya sendiri-sendiri, juga angin yang menembusi tubuhnya, desir angan untuk bekal tanaman-tanaman itu. setelah menanam, ia pun diam. dan ia tak tak ingin menjelaskan isi kebun itu untuk seseorang yang lewat. harapannya, ada yang memetik apapun yang tumbuh di kebunnya: kalaupun buah, maka seseorang itu akan mengunyahnya sendiri, dengan giginya yang tajam. kalaupun bunga, ia akan mencium dan memetiknya untuk di simpan di lubuk dadanya.

Tanjungkarang, 2009

Analisis Puisi:

Puisi "Petani Kata" karya Agit Yogi Subandi membawa kita menyelami perjalanan batin seorang petani, yang lebih dari sekadar seorang penggarap tanah, melainkan seorang petani kata yang menanam ide-ide, pemikiran, dan perasaan dalam ruang-ruang hening. Dalam puisi ini, Subandi menggambarkan proses penanaman yang lebih abstrak—penanaman bibit-bibit kata yang mengalir dalam kepala petani dan mengarah pada sebuah kebun makna yang tersembunyi. Puisi ini tidak hanya berbicara tentang petani yang bekerja dengan tanah, tetapi juga tentang cara kita merawat ide-ide dan perasaan yang ada dalam pikiran kita, serta tentang kesabaran, ketekunan, dan penerimaan terhadap kenyataan yang seringkali tak dapat diprediksi.

Perjalanan yang Penuh Makna: Metafora Kehidupan Seorang Petani

Puisi ini dimulai dengan gambaran tentang perjalanan seorang petani yang menanggung "hujaman tombak-tombak matahari" di punggungnya, sebuah metafora yang menggambarkan kesulitan hidup dan beban berat yang harus ditanggung oleh petani. "Legam lehernya menjadi semakin tebal dan kebal" menunjukkan bahwa petani ini telah melalui banyak penderitaan dan tantangan, namun ia tetap bertahan dan menjadi kuat. Dalam perjalanan ini, ia mengumpulkan bibit-bibit tanamannya, yang bisa dianggap sebagai ide-ide, pemikiran, atau bahkan perasaan yang ia bawa dalam hidupnya.

Bibit-bibit ini, yang "sering juga menjalar ke kepalanya," menjadi semacam metafora untuk proses internalisasi gagasan. Petani ini tidak hanya sekadar mengumpulkan benih fisik, tetapi juga memproses dan menyimpan ide-ide tersebut dalam pikirannya. Ia membiarkan bibit itu "menyusup ke dalam kepalanya," yang mengindikasikan bahwa ia dengan sabar membiarkan gagasan-gagasan tersebut tumbuh di dalam dirinya. "Betapa takzimnya bibit-bibit itu di dalam kepalanya" menunjukkan penghormatan dan kesabaran yang ia miliki terhadap ide-ide tersebut, bahkan jika mereka berdiam di ruang-ruang kepala yang gelap dan tak tampak.

Keheningan dan Ketidaktahuan: Menanam dalam Ruang yang Tak Terlihat

Setelah berjuang sepanjang hari, petani itu kembali dengan "sekeranjang bibit yang menjalar dan menyusup di kepalanya," yang menggambarkan bahwa proses internalisasi dan pemikiran yang mendalam tidak pernah berhenti. Ketika ia menengadahkan pandangannya ke matahari yang "berwarna mirip tembaga," kita bisa merasakan keheningan yang melingkupi dirinya, di mana ia mencoba memahami dunia dan makna yang ada di sekelilingnya.

Namun, perjalanan pulang petani ini tidak hanya tentang fisik, tetapi juga perjalanan batin yang rumit. "Pintu-pintu yang seperti tak memiliki ruang" dan "ruang-ruang menjadi bening, namun tak dapat melihat ruang yang lain setelah memasuki pintu-pintu itu" menggambarkan pengalaman yang ambigu dan tidak pasti, seolah-olah petani itu memasuki dunia yang tak terjangkau, dunia yang tampaknya hanya bisa dipahami setelah melewati pengalaman-pengalaman tertentu. Ini adalah gambaran tentang ketidakpastian hidup, di mana setiap langkah yang diambil membawa kita ke ruang baru yang tak bisa kita lihat sebelumnya.

Dengan "menjarah seluruh ruang-ruang bening itu untuk menjadikan kebun," petani tersebut berusaha menciptakan sebuah ruang untuk menanam bibit-bibitnya—sebuah ruang yang hening, "tanpa suara burung dan suara angin." Ini bisa diartikan sebagai gambaran tentang pencarian kedamaian dan ketenangan batin. Ketika petani itu menanam bibit-bibit ide, ia tidak mengharapkan suara-suara eksternal atau pengaruh dari luar, melainkan mencari ruang hening di dalam dirinya untuk memberi tempat pada gagasan-gagasan itu.

Makna Tanpa Nama: Menanam dan Membiarkan Tumbuh

Petani dalam puisi ini tidak mengharapkan buah atau hasil yang jelas dari kebunnya. Ia tidak menamai kebunnya dengan kata-kata yang pasti, seperti "kebun padma" atau "kebun magnolia," karena bagi petani tersebut, kata atau nama selalu mengandung "tanda" yang berubah-ubah. Tanda yang dimaksud di sini bisa diartikan sebagai penanda atau label yang kita berikan pada sesuatu, yang seringkali tidak bisa tetap sama seiring berjalannya waktu. Petani ini lebih memilih untuk membiarkan ruang itu berkembang sesuai dengan alirannya, tanpa terikat pada definisi atau ekspektasi tertentu.

Melalui proses ini, petani memaknai kebun-kebunnya sebagai tempat tanpa suara, tempat yang lebih dekat dengan keheningan dan refleksi batin. Ketika ia "menanamkan bibit-bibit itu," darah dan tangan yang penuh darah menjadi simbol dari perjuangan dan pengorbanan yang harus dilakukan untuk merawat pemikiran dan ide-ide. Tindakan menanam ini menjadi semacam bentuk perlawanan terhadap ketidakpastian hidup, meskipun hasil yang tumbuh belum tentu akan sesuai dengan yang diharapkan.

Kebun Tanpa Penjelasan: Menerima Hasil dengan Penuh Kerendahan Hati

Akhirnya, petani itu memilih untuk diam dan tidak menjelaskan isi kebunnya kepada orang lain. Ini adalah pernyataan tentang bagaimana setiap individu memiliki perjalanan batin yang tidak bisa dijelaskan secara gamblang kepada orang lain. Kebun itu, dengan segala keheningannya, menjadi simbol dari kehidupan yang penuh misteri, di mana hasil dari perjuangan tidak selalu bisa dipahami atau dihargai oleh orang lain.

Petani berharap ada orang yang akan "memetik apapun yang tumbuh di kebunnya," dan apabila yang tumbuh adalah buah, orang tersebut akan "mengunyahnya sendiri, dengan giginya yang tajam," atau jika bunga yang tumbuh, orang tersebut akan "mencium dan memetiknya untuk disimpan di lubuk dadanya." Ini menggambarkan harapan petani agar apa yang telah ia tanam dapat memberikan dampak pada orang lain, meskipun hasilnya tidak dapat diprediksi atau dijelaskan. Hasil dari kebun itu adalah sesuatu yang personal dan hanya bisa dirasakan oleh mereka yang benar-benar mengalami dan merasakannya.

Puisi "Petani Kata" karya Agit Yogi Subandi mengajak pembaca untuk merenung tentang arti sebuah perjalanan batin, tentang bagaimana kita menanamkan pemikiran dan ide-ide dalam hidup kita, serta bagaimana kita menerima hasil dari apa yang telah kita tanam. Seperti seorang petani yang dengan sabar menanam bibit di kebunnya, kita pun harus sabar dan menerima ketidakpastian yang ada dalam hidup, membiarkan gagasan tumbuh dengan cara yang tak terduga. Puisi ini juga mengingatkan kita bahwa makna kehidupan tidak selalu harus dijelaskan atau diberi nama, tetapi bisa saja berada dalam ruang hening yang hanya bisa dirasakan melalui pengalaman pribadi yang mendalam.

Agit Yogi Subandi
Puisi: Petani Kata
Karya: Agit Yogi Subandi
© Sepenuhnya. All rights reserved.