Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Hujan Abu Gunung Kelud di Yogya (Karya Abdul Wachid B. S.)

Puisi "Hujan Abu Gunung Kelud di Yogya" karya Abdul Wachid B. S. mengajak pembaca untuk merenung tentang keindahan yang muncul di tengah-tengah ...
Hujan Abu Gunung Kelud di Yogya

di pagi ini seperti malam
meleleh abu di daun-daun
di rerumputan, di jalan-jalan
tidak ada sumbu yang

bisa dinyalakan menjadi terang
memutih semua dan segala
menutup pandang mata
menutup pintu dan jendela

tetapi di dalam rumah hati
justru semua pintu jendela membuka
menjadilah panorama
dibaca oleh mata cinta:

di pagi ini di setiap butiran debu
di setiap butiran hujan
menjadi kendaraan malaikat
untuk mendekatkan kembali

antara langit dan bumi
memberi salam kepada para nabi
membagi salam kepada para kekasih
lalu turunlah hujan yang membawa kebaikan

kau aku bersaksi dalam sahadat
kau aku merayakan shalawat
di pagi ini memang tidak ada burung-burung
tetapi hati kau aku yang

menerbangkan doa-doa dhuha
ke tahta yang
maha
hyang.

Jumat 14 Februari 2014

Analisis Puisi:
Puisi "Hujan Abu Gunung Kelud di Yogya" karya Abdul Wachid B. S. menciptakan gambaran indah dan mendalam tentang dampak letusan Gunung Kelud di Yogyakarta. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenung tentang keindahan yang muncul di tengah-tengah keterpurukan.

Gelapnya Pagi Sebagai Metafora Keterpurukan: Penyair memulai puisi dengan deskripsi "di pagi ini seperti malam," menciptakan atmosfer gelap dan suram. Melelehnya abu gunung Kelud di daun-daun dan rerumputan menciptakan gambaran kehancuran dan kekacauan yang menyelimuti lingkungan. Metafora gelapnya pagi menggambarkan kekacauan dan kesulitan yang melibatkan semua elemen di sekitar.

Kontras Antara Luar dan Dalam Rumah Hati: Meskipun di luar, segalanya tertutup dan tak berdaya oleh hujan abu, di dalam rumah hati terjadi kontras yang menarik. Penyair mengekspresikan bahwa di dalam hati, semua pintu dan jendela terbuka, menciptakan panorama yang dibaca oleh mata cinta. Ini mencerminkan kekuatan spiritual dan ketenangan yang ditemukan dalam keadaan sulit.

Kendaraan Malaikat dan Kebaikan Hujan: Puisi ini membawa unsur spiritualitas dengan menyebutkan hujan abu dan hujan sebagai kendaraan malaikat. Hujan menjadi medium yang mendekatkan kembali langit dan bumi, memberi salam kepada para nabi dan para kekasih. Pemikiran ini menciptakan nuansa kebaikan dan rahmat dalam keterpurukan.

Doa-Doa Dhuha dan Shalawat sebagai Bentuk Penghiburan: Penyair menyajikan gambaran indah di dalam hati yang menerbangkan doa-doa Dhuha dan merayakan shalawat. Ini menciptakan pemahaman bahwa di tengah keterpurukan, spiritualitas dan doa dapat menjadi sumber penghiburan dan kekuatan.

Kesaksian dalam Sahadat dan Terbanganya ke Tahta Hyang: Penutup puisi menyoroti kesaksian dalam sahadat, menciptakan pengalaman yang mendalam dan spiritual. Hati yang menerbangkan doa-doa dhuha diangkat ke tahta yang maha Hyang, memberikan kesan tentang keterhubungan spiritual yang mendalam.

Pemilihan Kata dan Gaya Bahasa yang Menawan: Penyair menggunakan kata-kata yang indah dan gaya bahasa yang menggambarkan kekayaan estetika dalam setiap bait. Pilihan kata-kata seperti "membagi salam kepada para kekasih" dan "hujan yang membawa kebaikan" menciptakan nuansa kelembutan dan kedamaian.

Puisi "Hujan Abu Gunung Kelud di Yogya" bukan sekadar cerita tentang letusan gunung dan kerusakan lingkungan. Puisi ini menghadirkan pandangan yang indah dan mendalam tentang keindahan spiritual yang muncul di tengah-tengah keterpurukan. Abdul Wachid B. S. dengan cemerlang menggambarkan bahwa bahkan dalam keadaan sulit, ada kekuatan spiritual dan keindahan yang dapat ditemukan, mengajak pembaca untuk merenung dan mencari keindahan dalam setiap situasi.

Abdul Wachid B. S.
Puisi: Hujan Abu Gunung Kelud di Yogya
Karya: Abdul Wachid B. S.
© Sepenuhnya. All rights reserved.