Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Papua (Karya Ahda Imran)

Puisi “Papua” karya Ahda Imran bercerita tentang hubungan antara masyarakat Papua—yang direpresentasikan melalui tokoh “Rumbewas”—dengan dunia luar ..
Papua

Lalu seluruh lembah mengeluarkan pekiknya
sakit yang sampai ke lubuk sungai. Pulau-pulau
karang berwarna toska, padang-padang rumput,
danau, dan pegunungan yang menjulang

Rumbewas mengunyah pinang, meludahkan
airnya pada batu, seperti percik darah
tubuhnya penuh hutan-hutan sagu
yang terbakar

Kapal mereka terus datang membawa beras,
perempuan dan minuman keras, lalu mengangkut
kami punya gaharu dan emas

Tapi ia terus memukul tifa
irama derap kaki dan bumi

Ratna, Jamal dan Alwy ramai-ramai
berfoto bersamamu untuk kenang-kenangan,
lalu kami mencari patung antik, tombak, tifa,
panah, dan membeli koteka sambil tertawa
di toko-toko milik orang Bugis

Di langit yang kosong
seekor burung melayang, menukik,
dan membenturkan tubuhnya ke batu karang
tapi Rumbewas terus menari, membuat
putaran dan jeritan. Bulu-bulu burung
kaswari di tubuhnya meneteskan darah,
dan hari yang selalu malam

Ketika purnama naik,
ketika orang-orang terus membakar
pohon-pohon di tubuh anaknya,
dengar pekiknya di lubuk sungai!

Lembah-lembah yang dingin,
pegunungan yang menjulang,

dan sebuah tarian perang.

2005

Sumber: Penunggang Kuda Negeri Malam (2008)

Analisis Puisi:

Puisi “Papua” karya Ahda Imran adalah sebuah teks kuat yang memadukan kekayaan lanskap alam Papua dengan luka sejarah, eksploitasi, dan pergulatan identitas masyarakatnya. Melalui figur simbolis “Rumbewas” dan suara lembah yang “mengeluarkan pekiknya”, puisi ini mengalir sebagai seruan protes, memori kolektif, sekaligus kesaksian atas penderitaan panjang.

Tema

Tema utama puisi ini adalah ketidakadilan, eksploitasi, dan luka sejarah yang dialami masyarakat Papua. Penyair menyoroti benturan antara kekayaan alam dan budaya Papua dengan proses pengambilan sumber daya oleh pihak luar. Tema sampingannya mencakup identitas budaya, perlawanan, dan jeritan alam yang turut menjadi saksi.

Puisi ini bercerita tentang hubungan antara masyarakat Papua—yang direpresentasikan melalui tokoh “Rumbewas”—dengan dunia luar yang datang membawa barang-barang konsumsi, namun mengambil hasil bumi paling berharga seperti gaharu dan emas. Dalam proses itu, masyarakat Papua mengalami luka, kehilangan, dan kehancuran ekologis.

Sementara itu, wisatawan atau pendatang digambarkan berfoto, membeli cendera mata, dan tertawa, tak menyadari (atau tak peduli) bahwa di balik budaya dan lanskap yang mereka nikmati, ada sejarah panjang penderitaan.

Puisi ini menampilkan dua dunia yang berjalan berdampingan namun sangat timpang:
  1. Dunia Rumbewas yang menari dengan tifa, menangis dalam perlawanan, dan berdarah bersama bulu-bulu kaswari.
  2. Dunia para pendatang yang mengonsumsi budaya Papua sebagai hiburan atau komoditas.

Makna Tersirat

Beberapa makna tersirat dalam puisi ini sangat kuat:
  1. Kekayaan alam Papua bukan berkah yang dinikmati warganya, tetapi menjadi sumber eksploitasi yang menyakitkan.
  2. Kedatangan orang luar membawa perubahan sosial, ekonomi, dan budaya yang meminggirkan masyarakat asli Papua, bahkan ketika mereka tampak datang dengan barang kebutuhan atau hiburan.
  3. Tarian dan budaya Papua bukan sekadar atraksi, tetapi ekspresi perlawanan dan kesedihan.
  4. Rumbewas yang menari sambil berdarah adalah metafora bagi perjuangan yang tak pernah berhenti.
  5. Alam Papua turut bersuara atas penderitaan masyarakatnya, seperti lembah yang mengeluarkan pekik, burung yang membenturkan diri ke batu, dan sungai yang menampung jeritan.
  6. Identitas Papua terus diancam oleh komersialisasi, simbolnya terlihat dari koteka, tifa, panah, tombak yang dijual di toko-toko milik pendatang.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang muncul sepanjang puisi adalah tegang, muram, pedih, dan penuh penderitaan. Ada rasa duka yang dalam ketika penyair menampilkan lembah yang berteriak, hutan sagu yang terbakar, darah yang menetes, dan burung yang mati menabrak karang. Semua itu menegaskan suasana tragis yang menyelimuti kehidupan masyarakat Papua.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Dari keseluruhan teks, beberapa pesan yang dapat dibaca:
  1. Kekayaan alam dan budaya Papua harus dihormati, bukan dieksploitasi.
  2. Perlakuan tidak adil yang menimpa masyarakat Papua perlu disadari dan dihentikan.
  3. Kita harus memandang budaya Papua bukan sebagai komoditas wisata, tetapi sebagai identitas yang hidup dan layak dihormati.
  4. Dengarkan suara Papua—baik suara manusia maupun alamnya—karena pekik penderitaan itu nyata.

Imaji

Ahda Imran menggunakan imaji visual, auditif, dan perasa yang sangat kuat, membuat pembaca seakan berdiri langsung di tengah lanskap Papua:

Imaji visual:
  • “pulau-pulau karang berwarna toska”
  • “bulu-bulu burung kaswari meneteskan darah”
  • “danau dan pegunungan yang menjulang”
Imaji auditif:
  • “lembah mengeluarkan pekiknya”
  • “ia terus memukul tifa”
Suara derap kaki dan bumi menambah kesan ritmis sekaligus perang.

Imaji perasa:
  • “hutan-hutan sagu yang terbakar”
  • “burung membenturkan tubuhnya ke batu karang”
Rasa perih dan sakit terasa di seluruh baris puisi.

Majas

Beberapa majas penting dalam puisi ini:

Personifikasi
  • “Lalu seluruh lembah mengeluarkan pekiknya” — lembah diperlakukan sebagai makhluk hidup yang berteriak.
  • “hari yang selalu malam” — hari dianggap memiliki identitas, sebagai metafora bagi gelap yang terus berlangsung.
Metafora
  • Darah yang menetes dari bulu kaswari menjadi metafora bagi luka yang ditanggung masyarakat Papua.
Simbolisme
  • Rumbewas melambangkan masyarakat Papua yang kuat, keras, namun terluka.
  • Tifa dan tarian perang melambangkan perlawanan dan identitas budaya.
  • Potret, koteka, tombak, dan patung antik melambangkan budaya yang dikomodifikasi.
Hiperbola
  • “hari yang selalu malam” menunjukkan penderitaan yang seakan tak berujung.
Melalui puisi “Papua”, Ahda Imran tidak sekadar membuat puisi tentang alam atau budaya. Ia menghadirkan sebuah jeritan—jeritan lembah, jeritan burung, dan terutama jeritan manusia Papua yang mengalami luka panjang akibat eksploitasi dan ketidakadilan. Dengan imaji tajam dan majas yang kuat, puisi ini mengajak pembaca untuk mendengarkan suara yang selama ini mungkin diabaikan.

Puisi ini menjadi pengingat bahwa Papua bukan hanya tanah yang indah, tetapi juga tanah yang terluka, dan pekik itu masih menggema hingga kini.

Ahda Imran
Puisi: Papua
Karya: Ahda Imran

Biodata Ahda Imran:
  • Ahda Imran lahir pada tanggal 10 Agustus 1966 di Baruah Gunuang, Sumatera Barat, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.